Warga penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) menunjukkan uang tunai yang diterima di Bank Kalteng, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Minggu (31/5/2020). Penyaluran BLT tahap ke-1 dari dana APBD Pemerintah Provinsi Kalteng berupa uang tunai Rp500 ribu per Ke | Makna Zaezar/ANTARA FOTO

Opini

Perlindungan Sosial Berkelanjutan

Perlu perlindungan sosial berkelanjutan untuk menjaga kesejahteraan menghadapi pandemi.

TASMILAH, Statistisi pada BPS Kota Malang

Berdasarkan rilis BPS terbaru, pandemi Covid-19 yang menimpa Indonesia mengakibatkan kenaikan jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 hingga 1,63 juta orang. Tingkat kemiskinan di Indonesia meningkat dari 9,22 persen menjadi 9,78 persen dalam enam bulan.

Tidak hanya jumlah penduduk miskin yang meningkat, tetapi kemiskinan juga dalam. Kenyataan ini menyentak perhatian pemerintah, mengingat pandemi Covid-19 saat itu baru berlangsung satu bulan, yakni pada Maret.

Perlu perlindungan sosial berkelanjutan untuk menjaga kesejahteraan penduduk, dalam menghadapi kemungkinan pada masa yang akan datang.

Pandemi Covid-19 berdampak paling besar di perkotaan, ditunjukkan dengan meningkatnya penduduk miskin hingga 1,3 juta orang, sedangkan di perdesaan 333,9 ribu orang.

Dampak lebih besar terjadi di perkotaan karena penduduknya bergantung pada sektor industri pengolahan, transportasi, perdagangan, penyediaan makan minum, dan jasa. Sektor ini terdampak paling besar ketika guncangan ekonomi akibat pandemi.

 
Pandemi Covid-19 juga menghantam sektor informal di Indonesia, padahal banyak penduduk rentan miskin yang bekerja pada sektor ini.
 
 

Selain itu, kebutuhan hidup dan garis kemiskinan di perkotaan lebih tinggi daripada perdesaan. Terlebih lagi, bagi perantau yang masih mengontrak tempat tinggal. Di kota besar seperti DKI Jakarta, penduduk tinggal di rumah sewa/kontrak mencapai 36,36 persen.

Pandemi Covid-19 juga menghantam sektor informal di Indonesia, padahal banyak penduduk rentan miskin yang bekerja pada sektor ini. Penduduk rentan miskin di Indonesia pada Maret 2019 mencapai 19,91 juta orang dengan 61,03 persen bekerja pada sektor informal.

Bahkan, untuk perkotaan seperti DKI Jakarta, penduduk hampir miskin di sektor informal mencapai 75 persen. Kelompok hampir miskin bekerja sebagai ojek daring, pedagang kaki lima, penyedia makan dan minum skala mikro terdampak pandemi Covid-19. 

Pandemi Covid-19 mengakibatkan kenaikan tingkat kemiskinan di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Kenaikan terbesar di Pulau Jawa dengan peningkatan tertinggi tingkat kemiskinannya di DKI Jakarta, yaitu 1,11 persen poin.

Demikian juga, dengan ketimpangan pengeluaran di DKI Jakarta meningkat paling tinggi dibandingkan provinsi lain. Ketimpangan semakin lebar karena pengeluaran pada kelompok ekonomi bawah lebih cepat penurunannya, daripada kelompok ekonomi atas.

Akibatnya, DKI Jakarta tak lagi menduduki peringkat kemiskinan terendah di Indonesia. Saat ini posisi tersebut digantikan Provinsi Bali dengan tingkat kemiskinan 3,78 persen.

Penurunan kemiskinan

Pandemi Covid-19 ini menorehkan sejarah dalam upaya penurunan kemiskinan. Dalam 50 tahun terakhir, tingkat kemiskinan di Indonesia turun dari 60 persen pada 1970 menjadi 9,78 persen pada  2020.

Sebelumnya, kemiskinan meningkat cukup tinggi pada 1998 dan 2005. Kenaikan jumlah penduduk miskin pada 1998 karena krisis moneter, hingga 49,50 juta orang atau meningkat 15,49 juta jika dibandingkan tahun 1996.

Kondisi perekonomian 1998 minus 13,68 persen. Demikian juga, inflasi yang mencapai 77,63 persen dengan inflasi tertinggi pada kelompok bahan makanan, 118,37 persen. Ini inflasi tertinggi dalam sejarah Indonesia. 

 
Tidak hanya penduduk miskin, tetapi juga kelompok hampir miskin dan rentan miskin, perlu dianalisis mendalam berdasarkan karakteristik sosial ekonominya.
 
 

Tingkat kemiskinan 1998 mencapai 24,20 persen, lalu turun 15,97 persen pada 2005. Namun, hasil penghitungan 2006, penduduk miskin naik 4,2 juta orang menjadi 39,30 juta jiwa karena kenaikan harga beras dan BBM yang memicu inflasi hingga 17,11 persen.

Krisis dalam berbagai bentuk dan penyebabnya akan berulang pada masa depan. Karena itu, perlu kesiapan untuk menjaga kesejahteraan penduduk. Salah satunya, dengan perlindungan sosial berkelanjutan yang sesuai kebutuhan penduduk miskin.

Tidak hanya penduduk miskin, tetapi juga kelompok hampir miskin dan rentan miskin, perlu dianalisis mendalam berdasarkan karakteristik sosial ekonominya. Jadi, ketika pandemi, bencana, ataupun krisis ekonomi, penyelamatan diprioritaskan bagi mereka.

Untuk itu, verifikasi dan validasi penduduk miskin harus rutin sebagai database kokoh dan antisipasi krisis. Kebijakan bisa cepat diambil tanpa tumpang tindih data ataupun terlewat dalam penerimaan bantuan. Keterlambatan penyaluran bantuan, dapat dihindarkan.

Untuk di perkotaan, yang mengalami dampak terbesar di setiap krisis ekonomi, perlu peningkatan kesadaran masyarakat memutakhirkan data kependudukan. Gunanya, memetakan kondisi sosial ekonomi.

Selain itu, sektor pertanian harus diperkuat karena terbukti menjadi tulang punggung. Pada krisis 1998, pertumbuhan ekonomi minus 13,68 persen dengan semua sektor ekonomi tumbuh negatif, kecuali pertanian yang tumbuh 0,2 persen.

Pangan menjadi kebutuhan utama penduduk, terutama pada masa krisis ketika semua produsen membatasi ekspor pangannya. Dengan jumlah penduduk 268 juta jiwa, tentu Indonesia harus mampu memproduksi pangan untuk seluruh penduduknya.

Apalagi, sektor pertanian masih menjadi kantong kemiskinan. Sebanyak 49,41 persen rumah tangga miskin menggantungkan hidupnya pada sektor ini.

Memberikan perhatian terhadap produktivitas pertanian dan harga komoditas di tingkat petani, akan meningkatkan kesejahteraan petani. Pada akhirnya, akan mengurangi jumlah penduduk miskin di Indonesia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat