Tersangka Francois Abello Camille dalam gelar perkara eksploitasi seksual terhadap anak di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (9/7/2020). | Adam Bariq/Antara

Kabar Utama

KPAI: Dalami Kasus Predator 305 Anak

Kasus predator anak ini perlu didalami apakah bagian dari jaringan internasional,

JAKARTA – Seorang tersangka pelaku eksploitasi seks komersial anak (ESKA) dengan jumlah korban diduga ratusan anak tewas dalam tahanan di tahanan Polda Metro Jaya. Pihak kepolisian diminta tetap mendalami kasus tersebut demi perlindungan para korban.

Tersangka yang merupakan warga negara asing (WNA) asal Prancis bernama Francois Abello Camille (FAC) alias Frans dinyatakan tewas pada Ahad (12/7) setelah dibawa ke RS Polri Kramat Jati. "Yang kita sayangkan, sekaligus kita pertanyakan adalah kematian dari pelaku, konon tunggal, FAC ini. Kami ingin tahu monitoring di tahanan dengan kasus kekerasan seksual dengan situasi khusus itu seperti apa," kata Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Trafficking dan Eksploitasi Ai Maryati Solihah kepada Republika, Selasa (14/7).

Ai menilai peristiwa ini tidak boleh terulang lagi. Sebab, keterangan tersangka berusia 65 tahun itu sangat dibutuhkan untuk mengetahui identitas 305 anak yang diduga menjadi korban. Menurut Ai, saat ini polisi baru mengidentifikasi 19 orang anak, setelah pada 10 Juli lalu teridentifikasi 17 anak.

"Adakah misalnya, petunjuk lainnya, karena ini kan berbasis di data laptop, bukan 305 anak ini by name by address-nya ada. Tapi memperlihatkan gambar-gambar seputar ESKA yang dilakukan oleh orang ini," kata Ai.

KPAI terus mendorong kepolisian untuk melakukan percepatan proses identifikasi. Selanjutnya, anak-anak tersebut bisa segera dijangkau untuk dilakukan perlindungan. Ia juga menyerukan dibentuk tim terpadu dengan respons luar biasa karena yang terjadi adalah peristiwa besar. 

Saat ini, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) menjangkau 6 anak dari 19 yang sudah teridentifikasi. Selanjutnya, Ai mengatakan, akan dilakukan asesmen untuk menentukan bentuk-bentuk perlindungan yang tepat.

Selain itu, lanjut Ai, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga sedang mencatat kerugian fisik, materi dan psikologis. "Itu yang pasti kita lihat sebagai dampak signifikan untuk anak-anak ini apakah ada trauma, karena itu tidak mudah dan tidak murah," kata dia lagi.

Berdasarkan keterangan polisi, eksploitasi pada anak dalam kasus ini dilakukan melalui cara child sex groomer, yakni pendekatan emosional dan bujuk rayu tersangka. Anak dirayu agar lebih dekat secara emosional kemudian dilakukan tindakan eksploitasi seksual. "Anak ditawari untuk jadi foto model, kemudian diajak ke hotel, didandanin supaya terlihat menarik dan berakhir hingga persetubuhan," kata Ai.

Polda Metro Jaya melansir penangkapan Frans pada Kamis (9/7) lalu. Berdasarkan informasi yang diperoleh kepolisian, mereka menangkap tangan Frans di sebuah hotel di Tamansari, Jakarta. 

Berdasarkan pemeriksaan awal, Frans disebut melakukan aksi bejatnya itu sejak Desember 2019 hingga Juli 2020. Namun, polisi menduga kejahatannya dimulai jauh sebelum masa itu. Tersangka juga diketahui merekam tindakan pelecehan seksual tersebut. Sebanyak 305 anak di bawah umur berhasil direkam Frans saat ia cabuli.

 
Kita mempertimbangkan banyak hal, sehingga kehati-hatian menjadi kunci, kerahasiaan menjadi kunci untuk menghindarkan anak-anak ini mengalami stigma atau tekanan tambahan dari kasus yang sedang dihadapi mereka ini.
 
 

Wakil Direktur Tahanan dan Barang Bukti ( Wadir Tahti) Polda Metro Jaya, Kompol Ervin mengatakan, pihaknya tidak menaruh curiga bahwa Francois Abello Camille akan melakukan bunuh diri. Menurut Ervin, warga negara asal Prancis itu tidak menunjukkan sikap atau tindakan yang aneh sebelum dimasukan ke sel tahanan. "Enggak ada (kelakuan) yang aneh," kata Ervin saat dihubungi, Selasa (14/7).

Selain itu, sambung dia, tersangka Frans juga tidak menunjukan tanda-tanda depresi saat digiring ke rumah tahanan Polda Metro Jaya. "Enggak ada (kelihatan depresi)," ia menambahkan.

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan, pihaknya tengah melakukan pemeriksaan terhadap petugas yang melakukan penjagaan di Rumah Tahanan (Rutan) Polda Metro Jaya. "Tindakan yang sudah dilakukan, pertama melakukan pemeriksaan petugas jaga tahanan pada saat itu," kata Yusri.

Dari hasil rekonstruksi, diketahui kabel yang digunakan oleh Frans untuk bunuh diri, letaknya sangat tinggi di dalam sel tahanannya dan sulit dijangkau. Namun, menurut kepolisian, karena tersangka memiliki postur tubuh yang cukup tinggi, ia mampu menggapai kabel itu dengan cara menaiki tembok kamar mandi. 

"Kemudian dia naik ke atas dengan ketinggiannya, dia meloncat, menarik kabel tersebut. Kemudian itu yang dililitkan (ke leher)," kata Yusri. Frans sempat dilarikan ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur dan menjalani perawatan medis selama tiga hari. Namun, ia meninggal dunia, Ahad (12/7) malam.

Lindungi korban

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) mengatakan pihaknya mengedepankan kehati-hatian dan kerahasiaan menangani kasus kekerasan seksual pada anak. Hal ini berkaitan dengan penanganan 305 anak korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh Warga Negara Asing (WNA) asal Prancis.

"Kita mempertimbangkan banyak hal, sehingga kehati-hatian menjadi kunci, kerahasiaan menjadi kunci untuk menghindarkan anak-anak ini mengalami stigma atau tekanan tambahan dari kasus yang sedang dihadapi mereka ini," kata Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen-PPPA, Nahar pada Republika, Selasa (14/7).

Ia menjelaskan, pemerintah ingin memastikan perlindungan dan pendampingan para korban dalam proses peradilan. Saat ini hal ini sedang dijajaki dengan memperhatikan kondisi korban.

Nahar menjelaskan, bisa saja kondisi korban nantinya tidak memungkinkan untuk dihadirkan dalam pemeriksaan lebih lanjut. "Kita mempertimbangkan untuk tidak menghadirkan atau melalui mekanisme yang lebih, sehingga anak-anak ini tidak menagalami tekanan selanjutnya," kata Nahar menambahkan.

Sesuai Undang-undang Perlindungan Anak, Nahar menjelaskan terdapat empat langkah yang sudah dilakukan untuk korban anak kekerasan seksual. Pertama, adalah penanganan cepat termasuk rehabilitasi medis yang sudah dilaksanakan.

Selanjutnya, kata Nahar, rehabilitasi sosialnya juga diperhitungkan. Menurut Nahar, rehabilitasi sosial ini sudah dikomunikasi kepada Kementerian Sosial dan telah disanggupi. Saat ini, para korban yang sudah teridentifikasi sebanyak 19 orang dan dijangkau enam orang.

photo
Warga Australia yang menjadi terdakwa kasus pedofilia, Robert Andrew Fiddes Ellis (kiri) digiring petugas kejaksaan sebelum mengikuti sidang putusan hukuman di Pengadilan Negeri Denpasar, Selasa (18/10). Jaksa penuntut umum sebelumnya terdakwa dihukum 16 tahun penjara karena dinilai terbukti bersalah melakukan pencabulan terhadap belasan anak di Bali - (ANTARA FOTO)

Para korban yang telah dijangkau saat ini masih di tempat tinggal mereka masing-masing. "Jadi belum membutuhkan layanan khusus memindahkan anak ke satu tempat khusus. Masih bisa dipantau dan kita dampingi," kata dia.

Langkah selanjutnya adalah bantuan sosial atau dukungan spesifik yang sedang dijajaki bersama Kemensos dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Termasuk juga hak-hak korban anak yang akan dijajaki untuk mungkin diusulkan skema pemenuhan kebutuhannya. 

Sebelumnya, seorang warga negara asal Prancis itu ditangkap atas kasus pelecehan seksual terhadap 305 anak di bawah umur pada Kamis (9/7). Tudingan itu berdasarkan 305 video yang direkam Frans dengan korban berbeda-beda yang ditemukan polisi di dalam laptop miliknya. Dia kemudian meninggal dunia setelah sebelumnya melakukan percobaan bunuh diri pada Ahad (12/7). 

Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengingatkan bahwa memang aksi bunuh diri di kalangan pelaku lebih tinggi daripada masyarakat umum. "Bunuh diri di kalangan pelaku memang tinggi. Sekitar 180 kali lebih tinggi daripada bunuh diri pada masyarakat umum," ujar Reza dalam keterangan tertulisnya yang diterima Republika, Senin (13/7).

Menurut Reza, kondisi ini memberikan pemahaman bahwa aparat penegak hukum perlu memperlakukan pelaku kejahatan serupa dengan pendekatan khusus. Maka harus diwaspadai jangan sampai sampai pelaku lainnya, termasuk pelaku WNA melakukan aksi fatal serupa.

Sementara untuk korban eksploitasi berhak memperoleh perlindungan khusus dari negara dan restitusi atau ganti rugi dari pelaku. Tapi kalau pelaku tidak mampu, misalnya karena mati, sejumlah negara memberlakukan kompensasi. Kewajiban membayar ganti rugi dialihkan kepada negara. "Ini merupakan bentuk sanksi atas kegagalan negara melindungi warganya, dalam hal ini adalah anak-anak," ungkapnya.

Karena itu, Reza mengatakan, perlu menyikapi pelaku eksploitasi seksual anak bukan sebagai lone wolf. Melainkan sebagai bagian dari jaringan pedofilia internasional, maka perlu dipastikan pelaku bukan dibunuh. Dibunuh oleh sindikat internasional tersebut.

Jika mereka menggunakan cryptocurrency sebagai alat transaksi, kemungkinan penelusurannya tidak mudah. "Tapi semoga kepolisian tetap bisa membongkar lebih jauh pergerakan jaringan jahat internasional dan sebagainya," tutup Reza.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat