Pemandangan dari udara Hagia Sophia di Istanbul, Turki. | AP Photo/STR

Kisah Mancanegara

'Hagia Sophia Terbuka untuk Semua Agama' 

Pintu Hagia Sophia tetap terbuka bagi semua agama.

OLEH RIZKY JARAMAYA, MUHYIDDIN

Setelah 85 tahun difungsikan sebagai museum, bangunan Hagia Sophia di Istanbul, Turki, kembali dijadikan sebagai masjid. Walau bakal menjadi tempat ibadah umat Islam, Pemerintah Turki menegaskan, Hagia Sophia terbuka bagi pengunjung dari semua agama dan semua kalangan yang ingin mengunjungi bangunan bersejarah itu. 

Perubahan status Hagia Sophia menuai polemik. Tak sedikit negara-negara yang protes dengan keputusan tersebut. Namun, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Turki Hami Aksoy mengatakan, tidak ada yang dapat mengganggu hak kedaulatan Turki dalam perubahan status Hagia Sophia. 

Aksoy menekankan, status Hagia Sophia adalah masalah internal dan merupakan properti milik Turki. Dia meminta semua pihak menghormati perubahan status Hagia Sophia. "Dan, Hagia Sophia akan terus merangkul semua orang dengan status barunya, melestarikan warisan budaya bersama umat manusia," ujar Aksoy dikutip dari Anadolu Agency, Selasa (14/7). 

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sebelumnya juga telah menyampaikan, meski telah berubah menjadi masjid, pintu Hagia Sophia akan tetap terbuka bagi semua kalangan, termasuk orang asing dan non-Muslim. Erdogan menambahkan, umat Islam, Kristen, dan Yahudi hidup dalam damai di Istanbul sejak penaklukannya. Selain itu, seluruh warga Turki juga menghormati tempat-tempat ibadah non-Muslim.

Pengadilan Turki membatalkan dekret Kabinet 1934 yang mengubah Hagia Sophia di Istanbul menjadi museum. Langkah ini membuka jalan bagi Hagia Sophia agar digunakan kembali sebagai masjid setelah 85 tahun.

Hagia Sophia digunakan sebagai gereja selama berabad-abad di bawah pemerintahan Kekaisaran Bizantium. Kemudian, bangunan itu berubah menjadi masjid setelah penaklukannya atas Istanbul pada tahun 1453. Pada 1935, Hagia Sophia diubah menjadi museum.

Sejarah Hagia Sophia sangat terkait dengan sejarah penaklukan Turki Usmani atas wilayah kekuasaan Romawi, yaitu pada masa Sultan Muhammad II Fatih ibn Murad II (1451-1481). Sultan Turki yang lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Al Fatih (sang penakluk) ini berhasil menguasai Konstantinopel, ibukota kerajaan Romawi pada 1453.

Sejarawan Islam Universitas UIN Sunan Kaliajaga Yogyakarta, Dudung Abdurahman mengatakan, Konstantinopel pada masanya sebagai pusat ilmu pengetahuan dan pusat agama Kristen Ortodoks, memiliki kedudukan yang sangat strategis yang dapat menghubungkan secara langsung antara Eropa dan Asia, dan ketika itu diwarisi serta diteruskan peranannya oleh Utsmani.

Seiring penaklukan Konstantinopel tersebut, selain diubahnya menjadi Istanbul sebagai ibu kota Usmani pada 28 Mei 1453, Muhammad Al Fatih juga mengubah gereja Hagia Sophia menjadi masjid. Di samping itu, ia membangun masjid dengan nama Masjid Muhammad sebagai peringatan bagi keberhasilannya dalam menundukkan kota itu.

“Meskipun demikian, kebebasan beragama dijamin, dan orang-orang Yahudi dan Kristen diorganisasi dalam kelompok yang otonom,” ujarnya kepada Republika, Selasa (14/7).

photo
Seorang pria menangis di depan Hagia Sophia selepas mengetahui keputusan Dewan Rakyat Turki mengembalikan status bangunan itu sebagai masjid, Jumat (10/7). - (EPA-EFE/ERDEM SAHIN)

Semenjak itu, sensibilitas Usmani tecermin di dalam seni arsitektur. Sejumlah masjid dan perguruan Usmani mengekspresikan besarnya perhatian Usmani terhadap ajaran Islam, bahkan Usmani juga merancang kubah tunggal yang sangat besar, menara-menara yang tinggi menjulang, sejumlah bangunan tiang yang menyangga ruang tengah istana. Ini menunjukkan pengaruh kuat model Aya Sophia, gereja Byzantium yang terbesar.

Seperti itulah, masjid-masjid Usmani memperagakan pola gereja-gereja timur yang terbesar, misalnya "Kubah Batu" di Yerussalem, dan mengekspresikan ketinggian Islam dalam persaingannya dengan Kristen. Khoja Sinan (1490-1578) adalah tokoh terbesar dalam bidang seni arsitektur ini.

Mengutip Encyclopedia Britannica,  masjid Hagia Sophia berubah menjadi museum pada 1935. Perubahan ini terjadi pada masa Musthafa Kemal Ataturk, pendiri Turki Modern atau Republik Turki sekarang, yang berkuasa dari 1924-1939. Kemal mengembangkan Turki sebagai negara sekuler. Karena itu, perubahan masjid menjadi museum itu sangatlah mungkin sebagai salah satu implementasi dari proyek sekularisasi yang ia canangkan. 

“Kini Turki dalam kepemimpinan Erdogan, yang kebijakan-kebijakan politiknya banyak mengarahkan pada islamisasi Turki modern, mengingatkan kegigihan Muhammad Fatih pada masa penaklukan Konstantinopel dan membangun Turki Usmani sebagai pusat peradaban Islam,” kata Dudung.

Jauh sebelum perbuahan status terjadi, seorang ulama pernah membacakan Alquran di dalam di Hagia Sophia untuk pertama kalinya dalam 85 tahun pada 2015. Tahun berikutnya, otoritas keagamaan Turki mulai menyiarkan bacaan ayat suci Alquran selama bulan suci Ramadhan dan suara adzan berkumandang ketika memperingati wahyu pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

 
Kini Turki dalam kepemimpinan Erdogan, yang kebijakan-kebijakan politiknya banyak mengarahkan pada islamisasi Turki modern, mengingatkan kegigihan Muhammad Fatih pada masa penaklukan Konstantinopel.
 
 

Alunan ayat pertama Alquran kembali terdengar pada akhir Maret 2018. Ketika itu, Presiden Erdogan yang melantunkan ayat Alquran untuk membuka pembukaan festival seni di tempat tersebut. Kini, setelah Pengadilan Tinggi Turki membatalkan dekret Kabinet 1934 yang mengubah Hagia Sophia di Istanbul menjadi museum pada 10 Juli 2020, Hagia Sophia sedang bersiap untuk menggelar pelaksanaan ibadah shalat Jumat pada 24 Juli mendatang.

Perjalanan Hagia Sophia kembali menjadi masjid cukup panjang. Sebuah kelompok bernama Asosiasi untuk Perlindungan Monumen Bersejarah dan Lingkungan telah berkomitmen untuk menjadikan Hagia Sophia kembali menjadi masjid. Mereka telah menekan Pengadilan Turki beberapa kali dalam 15 tahun terakhir untuk membatalkan dekrit Ataturk.

Dalam gerakan terbaru, kelompok tersebut mengatakan kepada Pengadilan Tinggi Turki bahwa pemerintah Ataturk tidak memiliki hak untuk mengesampingkan keinginan Sultan Mehmet. Bahkan mereka menyatakan tanda tangan presiden pada dokumen itu dipalsukan.

Argumen itu didasarkan pada ketidaksesuaian dalam tanda tangan Ataturk pada dekrit yang disahkan pada waktu yang sama ketika menggunakan mengambil nama belakangnya. Rujukan ini melihat dari tanda tangannya pada dokumen-dokumen berikutnya.

Selain desakan kelompok tersebut, Erdogan telah memperjuangkan nilai Islam dan ketaatan beragama selama 17 tahun berkuasa. Dia mendukung gerakan agar Muslim bisa kembali melakukan ibadah di Hagia Sophia. Upaya ini pun sesuai dengan keinginan pendukung pemilih partainya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat