Perempuan Bosnia mendoakan kerabanya yang jadi korban pembantaian Srebrenica. | EPA-EFE/FEHIM DEMIR

Tajuk

Mengenang Srebrenica

Seandainya, negara-negara besar dunia, tak ikut campur urusan negara lain, tentu tak ada konflik tak berkesudahan.

Sabtu, 11 Juli 2020, warga Bosnia mengenang kembali peristiwa pahit yang pernah mereka alami. Dunia, juga mengingat lagi peristiwa yang telah berlalu 25 tahun itu, sebanyak 8.000 Muslim Bosnia dewasa dan anak-anak harus kehilangan nyawa. 

Pasukan Serbia, yang dipimpin Ratco Mladic menguasai Srebrenica, sebuah kota yang masuk zona aman PBB dalam Perang Bosnia yang berlangsung 1992-1995. Pada 11 Juli 1995,  pasukan Mladic menewaskan 8.000 warga Bosnia. Sebuah genosida terjadi. 

Pada November 2017, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) di Den Haag, Belanda memutuskan Mladic sebagai penjahat perang dan melakukan genosida. Akhir pekan lalu,  Menlu AS Mike Pompeo menyampaikan dukacita kepada warga Bosnia. 

Pompeo menuturkan, “Kami turut berdukacita bersama keluarga yang tak lelah mencari keadilan bagi 8.000 orang yang kehilangan nyawa,” katanya seperti dikutip laman berita Reuters. Kita tentu berharap kejadian Srebrenica tak terulang. 

Termasuk peristiwa serupa, seperti konflik yang melahirkan banyak korban jiwa juga pengungsi, juga isolasi yang menyebabkan banyak orang menderita. Maka, kita juga sebenarnya berharap pernyataan dan sikap Pompeo disampaikan pula kepada warga Gaza, Palestina.

Sampai saat ini, warga Gaza masih harus mengalami isolasi. Mereka tak bisa bebas keluar dan mendatangkan bahan kebutuhan pokok dari luar. Mobilisasi terbatas, lapangan kerja langka, dan kemiskinan pun merajalela. Bahkan, Gaza dianggap penjara terbesar di dunia.

Juga warga Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem, yang terus dihantui rasa takut atas nyawa dan lahan milik mereka. Maka, alangkah baik jika di kemudian hari ada perubahan kebijakan AS yang lebih ramah terhadap Palestina. 

Di sisi lain, kita pun tentu mendesak negara-negara adidaya yang memiliki sumber dana dan senjata bisa menahan diri. Maksudnya, mereka tak memasok dana dan senjata ke salah satu pihak berkonflik. 

Pasokan mereka, telah melahirkan kenestapaan di sejumlah negara. Lihat saja Suriah, negeri ini porak poranda akibat konflik internal yang ditunggangi negara lain. Ribuan orang kehilangan nyawa. 

Bahkan, pengungsi akibat konflik di Suriah, tak hanya memproduksi pengungsi di dalam negeri, tetapi juga menyebar ke wilayah lain, Eropa misalnya. Ini melahirkan persoalan baru bagi negara-negara Eropa, rasa ingin membantu dan pertimbangan beban ekonomi.

Coba, seandainya, negara-negara besar dunia, tak gatal untuk ikut campur tangan urusan negara lain, tentu tak ada konflik tak berkesudahan semacam ini. Selain itu, kita menginginkan negara-negara Muslim yang kuat dan kompak.

Kekayaan dan kekuatan mereka, bisa menjaga nyawa dan kehidupan warga Muslim dunia. Sehingga, persoalan Rohingya tak terkatug-katung seperti sekarang ini. Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) belum mampu menindak Myanmar bertindak opresif terhadap Rohingya.

Padahal, Muslim Rohingya terusir dari tanah kelahirannya dan kini masih bertahan di negara orang, di kamp pengungsian Cox’s Bazar Bangladesh. Mereka tak tahu, entah sampai kapan berada di kamp kemudian kembali ke kampung halaman.

Maka, solidaritas dan kekuatan negara-negara Muslimlah yang bisa mencegah terjadinya genosida seperti di Srebrenica dan juga pengusiran Rohingya dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat