Warga penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) menunjukkan uang tunai yang diterima di Bank Kalteng, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Ahad (31/5) | Makna Zaezar/ANTARA FOTO

Opini

Negara Kesejahteraan Usai Pandemi

Struktur kelembagaan negara kesejahteraan usai pandemi tak hanya bersifat universal.

TAUCHID KOMARA YUDA, Research Associate di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM Yogyakarta

Upaya bertahun-tahun Pemerintah Indonesia membangun sistem negara kesejahteraan inklusif ternyata tak semudah dibayangkan.

Namun hebatnya, kemunculan wabah Covid-19 seakan ‘berhasil’ mendorong pemerintah, bahkan di negara yang sebelumnya menolak ide negara kesejahteraan seperti AS, berusaha mewujudkan skema perlindungan sosial lebih murah hati daripada negara sosial-demokratis, seperti Denmark, Norwegia, dan Swedia.

Diketahui, ciri khas penyelenggaraan kebijakan sosial di negara-negara tersebut didasarkan pada prinsip “dekomodifikasi”. Istilah ini dipopulerkan sosiolog berkebangsaan Denmark bernama Gøsta Esping-Andersen (1990).

 

 
Dalam konteks saat ini, banyak negara mulai mengarahkan kebijakan sosialnya, terutama perlindungan kesehatan, mengikuti model kesejahteraan universal.
 
 

 

Istilah itu bermakna, yakni komitmen politik pemerintah melepas ketergantungan masyarakat dari mekanisme pasar dalam mengelola risiko sosialnya. Sebagai gantinya, risiko sosial masyarakat dikelola melalui skema jaminan sosial berbasis negara, yang didasarkan pada logika redistribusi, bukan kemampuan membayar.

Dengan logika redistribusi, setiap orang dijamin kesejahteraannya sebagai wujud pemenuhan hak sosial.  Dalam konteks saat ini, banyak negara mulai mengarahkan kebijakan sosialnya, terutama perlindungan kesehatan, mengikuti model kesejahteraan universal.

Berbagai studi (Larsen 2007; Rothstein 2005; Rothstein & Uslaner 2005) menunjukkan, perlakuan nondiskriminatif dalam pelayanan sosial terbukti dapat meningkatkan kepercayaan dan dukungan masyarakat pada realisasi program pemerintah.

Sementara itu, pengurangan kemiskinan dan ketidaksetaraan lebih berhasil apabila pendekatan universal digunakan. Jika kita melihat ke belakang, bukan pertama kalinya Indonesia mengalami krisis sebesar ini. Di setiap krisis, selalu ada tantangan dan peluang berinovasi.

Sebagaimana masa setelah krisis ekonomi 1998 dan 2008, saat pemerintah meningkatkan jumlah orang yang dicakup dalam program sosial, berikut nominal manfaat bantuan sosial yang mereka terima.

Pada saat yang sama, tuntutan masyarakat atas sistem perlindungan sosial lebih baik dalam mengatasi risiko sosial dan ketidakpastian meluas.

Hasilnya, krisis ekonomi 1998 menstimulasi “upaya pertama” dalam sejarah perkembangan negara kesejahteraan di Indonesia. Manfaat jaminan sosial ditargetkan secara selektif untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah diberikan secara intensif.

 

 
Pada saat yang sama, tuntutan masyarakat atas sistem perlindungan sosial lebih baik dalam mengatasi risiko sosial dan ketidakpastian meluas.
 
 

 

Krisis finansial 2008, mengarahkan pemerintah mengambil keputusan lebih reformis dalam skema perluasan perlindungan sosial yang lebih universal. Bahkan, dana untuk jaminan sosial meningkat karena melonjaknya jumlah pengangguran dan kemiskinan.

Sebagaimana peningkatan alokasi untuk bantuan sosial, seperti BLT, Raskin, PKH, PNPM-Mandiri berikut skema kredit mikro masyarakat menengah ke bawah dari yang sebelumnya hanya Rp 40,1 triliun pada 2006, menjadi Rp 77,8 triliun pada 2011.

Sementara itu, injeksi dana transfer dari pusat ke desa Rp satu miliar per desa digelontorkan masif mulai 2014, bersamaan diterapkannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang menyediakan asuransi kesehatan, pensiun, kompensasi kematian dan kecelakaan kerja.

Meskipun begitu, sistem asuransi sosial ini tidak kedap terhadap kritik. Itu karena manfaat dari sistem kesejahteraan universal faktanya hanya dinikmati mereka yang terlibat dalam aktivitas produksi di sektor formal.

Setelah Covid-19

Krisis ekonomi akibat pandemi saat ini dinilai jauh lebih parah daripada krisis sebelumnya karena kebijakan penutupan pusat bisnis dan sekolah telah menghentikan aktivitas produktif di seluruh lapisan distribusi pendapatan.

 
Desain ide negara kesejahteraan setelah pandemi harus membentuk struktur kelembagaan yang tidak hanya universal, tetapi juga lebih sensitif terhadap keberadaan populasi rentan.
 
 

Di Indonesia, pandemi mengakibatkan setidaknya lebih dari 1,4 juta pekerja diberhentikan atau dirumahkan. Belajar dari pengalaman sebelumnya, krisis, bagaimanapun telah merangsang banyak negara di dunia melakukan inisiatif yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Sebagaimana Indonesia, yang pada akhirnya mengadopsi skema unemployment benefit dengan nama Program Kartu Prakerja lebih cepat dari waktu yang dijadwalkan.

Terlepas dari permasalahan program, mulai dari relevansi, transparansi, sampai kurikulum pelatihan yang dianggap tidak efektif, inisiatif ini dapat dilihat sebagai penanda baik bagi gelombang ketiga reformasi negara kesejahteraan Indonesia yang lebih menjanjikan.

Dari krisis kali ini, kita belajar pandemi memberikan kesempatan bagi negara kita, juga negara lain mengevaluasi ulang dan membenahi sistem perlindungan sosial yang ada.

Ini sekaligus memberikan kesempatan bagi Indonesia ‘memformat’ ulang sistem distribusi ‘hak-hak sosial’ kelompok masyarakat di luar sektor pasar ketenagakerjaan formal, yang selama ini kerap terabaikan, baik dalam kondisi normal maupun genting.

Untuk mengatasi persoalan ini, desain ide negara kesejahteraan setelah pandemi harus membentuk struktur kelembagaan yang tidak hanya universal, tetapi juga lebih sensitif terhadap keberadaan populasi rentan.

Hal itu dapat diaktualisasikan dengan penyesuaian ulang manfaat kesejahteraan dengan kebutuhan aktual dari masing-masing kelompok, yang bisa jadi memiliki kebutuhan yang lebih dari sekadar uang tunai atau pelatihan kerja. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat