Kepala sekolah SMP N 4 Bawang Mulud Sugito mengantar lembar tugs ke rumah murid, Selasa (2/6). | ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra

Opini

Visi Pendidikan Masa Depan

Jangan sampai, kebijakan pendidikan cenderung bias perkotaan dan kelas sosial ekonomi menengah atas, seperti selama ini.

ANGGI AFRIANSYAH, Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

Presiden Joko Widodo pada rapat terbatas dengan berbagai instansi membahas peta jalan pendidikan tahun 2020-2035. Presiden memberikan empat arahan untuk pendidikan di Indonesia. Pertama, cara bekerja pada masa depan jauh berbeda dengan hari ini.

Kedua, SDM unggul yang ingin dibangun adalah yang berkarakter, juga berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai budaya Indonesia dan Pancasila. Ketiga, ada target terukur.

Keempat, Presiden mengingatkan soal kemampuan melakukan reformasi, tak hanya ditentukan satu kementerian, Kemendikbud, tapi juga memerlukan dukungan komunitas pendidikan (setneg.go.id, 4/6/2020).

Arahan ini penting sebab transformasi pendidikan tak bisa ditawar. Pendidikan adalah salah satu fundamen untuk membangun masa depan. Namun, hingga saat ini, janji manis pendidikan tersebut tidak sepenuhnya dicapai.

Untuk konteks Indonesia, ada berbagai pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan secara bertahap. Menyimak yang disampaikan Presiden, ada beberapa catatan ketika membangun peta jalan pendidikan dalam jangka relatif panjang.

 
Pendidikan adalah salah satu fundamen untuk membangun masa depan. Namun, hingga saat ini, janji manis pendidikan tersebut tidak sepenuhnya dicapai.
 
 

Pertama, akses dan mutu pendidikan, misalnya, masih prioritas. Upaya struktural penting untuk membangun akses setara. Akses dan mutu pendidikan perlu diimbangi akses dan mutu bidang kesehatan. Keberpihakan kepada siswa keluarga miskin sangat utama.

Kedua, bangunan trisentra ala Ki Hadjar Dewantara yang memosisikan arena pendidikan pada keluarga, perguruan, alam pemuda, atau masyarakat masih sangat relevan. Di sisi lain, arena digital perlu menjadi perhatian.

Kita tahu di dunia digital, jika anak tak siap dengan daya kritisnya, mereka terjerumus ke rimba berita palsu dan provokasi tanpa henti. Kapasitas tersebut tidak dapat dimiliki anak jika ada ragam keterbatasan di berbagai arena pendidikan.

Keempat, selain memperhatikan konteks global, pendidikan harus memperhatikan kondisi Indonesia yang beragam. Jangan terjebak narasi yang begitu canggih, seperti jargon Revolusi 4.0 atau Society 5.0.

Sementara itu, wilayah di Indonesia begitu luas dan beragam serta masih sulit mengakses teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Contohnya, fokus pada penggunaan teknologi selama pembelajaran jarak jauh, sementara banyak siswa kesulitan mengakses TIK.

Kondisi tersebut, jelas memarginalisasi anak-anak dari keluarga miskin yang minim akses.

 
Jangan sampai, kebijakan pendidikan cenderung bias perkotaan dan kelas sosial ekonomi menengah atas, seperti selama ini. 
 
 

Bangunan pendidikan, perlu didasarkan pada kondisi Indonesia yang multikultural sehingga memperhatikan konteks lokal, pembangunan wilayah berbasis potensi wilayah dan ragamnya, adat, kelas sosial, agama, dan variabel lainnya.

Jangan sampai, kebijakan pendidikan cenderung bias perkotaan dan kelas sosial ekonomi menengah atas, seperti selama ini. Sehingga yang terjadi adalah marginalisasi dan melupakan janji pendidikan untuk mentransformasi anak bangsa.

Perhatian pada kelompok miskin dan mereka yang tinggal di daerah remote (3T) menjadi sangat utama.

Kelima, pembangunan pendidikan berbasis data dan kolaborasi antarberagam elemen seperti yang disampaikan Presiden sangat penting. Ukuran-ukuran secara kuantitatif dan kualitatif harus ada, baik di level pusat maupun daerah.

Peran daerah sangat sentral karena anggaran pendidikan diberikan ke daerah. Dengan begitu, daerah harus punya visi pembangunan pendidikan berbasis daerah yang sangat berkontribusi bagi pembangunan di wilayahnya.

Keenam, jika berdasarkan pengalaman, sering operasionalisasi berbagai kebijakan jangka panjang tak efektif karena pergantian siklus politik. Kebijakan pendidikan merupakan kebijakan politik yang rentan diganti ketika bergantinya estafet kepemimpinan.

Di bidang pendidikan, beberapa peta jalan, rencana aksi, dan berbagai dokumen jangka panjang terbengkalai dan tidak jelas implementasinya.

Hal yang perlu dijawab oleh kita bersama adalah persoalan praktikal atau implementasi dari setiap kebijakan. Bagaimana menurunkan kebijakan tersebut menjadi sangat operasional dan mudah diimplementasikan di lingkungan sekolah.

 
Visi pendidikan masa depan, harus menempatkan manusia Indonesia sebagai subjek yang harus dimanusiakan. 
 
 

Selain enam poin itu, yang paling penting komitmen pemerintah mematuhi yang sudah dibuat dan dijadikan kesepakatan bersama. Tujuan dibuatnya kebijakan harus berbasis kebutuhan dan kepentingan rakyat.

Seperti yang pernah disampaikan Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah upaya membuat rakyat kuat.

Di luar catatan tersebut, konteks kejadian luar biasa akibat pandemi Covid-19 juga patut menjadi perhatian. Hal paling mendasar adalah adaptabilitas menghadapi berbagai risiko. Sebab itu, perlu perhatian terhadap beberapa hal mendasar.

Pertama, birokrasi pendidikan harus berpihak pada kepentingan anak bangsa. Mereka harus humanis, efisien, cepat, fleksibel, dan transparan untuk menyikapi kondisi serba-tak ajek. Tanpa birokrasi andal dan keberpihakan, pendidikan kita akan kian tertinggal.

Kedua, kolaborasi berbagai pihak sangat krusial, guna memperjuangkan kesetaraan akses, infrastruktur (teknologi informasi, jaringan, gawai) yang menunjang pendidikan tetap berlangsung.

Visi pendidikan masa depan, harus menempatkan manusia Indonesia sebagai subjek yang harus dimanusiakan. Visi yang mengarusutamakan hak anak bangsa agar tidak tertinggal, siapa pun mereka dan di mana pun mereka berada.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat