cover | cover-republika

Halaman 9

Seputar Serangan Belanda ke Yogya

Oleh Seputar Serangan Belanda ke Yogya

photo

Apakah pemerintah dan tentara tidak mengetahui Belanda akan menyerang Yogya?
Tentara sudah mencium niat jahat Belanda untuk menyerang Yogyakarta. Mereka belajar dari Agresi Militer I Belanda 1947. Sejak pertengahan 1948, sudah disusun bermacam skenario bila terjadi penyerangan ulang dari Belanda di tengah gencatan senjata. Pada akhir November, keyakinan Panglima Soedirman dan kawan-kawan bahwa Belanda akan menyerang lagi makin kuat. Dibuatlah skenario perlawanan gerilya di kota dan di daerah-daerah. Termasuk opsi mengungsikan para pemimpin nasional ke sejumlah lokasi. Sementara, para pemimpin sipil menilai Belanda tidak akan nekad menyerang Yogyakarta karena sedang ada peninjauan Komisi Tiga Negara ke Yogyakarta pada saat itu.

Apa pertimbangan tentara Indonesia saat itu untuk tidak mempertahankan Kota Yogyakarta mati-matian?
Keputusan ini sesuai dengan kajian para petinggi militer nasional saat itu. Bahwa dengan kekuatan tentara republik saat itu, lebih efektif dan efisien untuk tidak mempertahankan Kota Yogyakarta secara linear. Sebaliknya keuntungan perang gerilya akan maksimal bila dilakukan di kantong-kantong kota kecil sambil terus melakukan serangan gerilya dadakan.

Mengapa para pemimpin nasional tidak ikut mengungsi bersama Panglima Soedirman?
Jawabannya terletak pada sidang kabinet dadakan di Ahad 19 Desember setelah para pemimpin sipil tahu Yogyakarta diserang. Namun, sidang kabinet ini berlangsung tanpa satu pun pihak militer. Panglima Soedirman menunggu di dalam Istana bersama dengan Komodor Soerjadarma dan Kolonel TB Simatupang. Sehingga, keputusan pun diambil tanpa pertimbangan pihak militer: Pemimpin sipil akan menyerah, namun Panglima Soedirman dkk harus tetap bergerilya.


Keputusan ini mengagetkan dan mengecewakan pihak militer. Sebab, sebelumnya, dalam berbagai pidato, pemimpin sipil menegaskan bila Belanda menyerang lagi akan siap bergerilya dengan tentara rakyat. Bahkan militer mengklaim sudah ada konsensus bahwa saat Yogya diserang, sipil-militer bahu-membahu bergerilya. Kolonel Zulkifli Lubis, kepala intelijen militer saat itu mengatakan rute pelarian Bung Karno cs sudah disiapkan dan akan berbasis di daerah Wonosari. Sebanyak 17 andong pun siaga untuk mengungsikan pemimpin sipil.

Apa pertimbangan pemimpin sipil tak ikut bergerilya bersama Soedirman?
Dari berbagai literatur yang mengisahkan detik-detik serangan ke Yogyakarta 1948 itu, ada dua faktor utama yang dipertimbangkan para pemimpin sipil untuk tidak berangkat bersama Soedirman. Pertama adalah masih adanya tiga anggota Komisi Tiga Negara (KTN) beserta staf di Yogyakarta ditawan Belanda. Kehadiran KTN ini bisa menjadi amunisi diplomasi pemerintah Indonesia di luar negeri. Karena serangan dilakukan saat gencatan senjata dan KTN melihat langsung aksi sepihak Belanda. Tekanan politis internasional atas Belanda diyakini bisa menguat bila semua memilih ditawan bersama. Hal yang terbukti tepat, meski menimbulkan pihak militer Indonesia meradang.


Pertimbangan kedua adalah kesiapan militer mengawal pemimpin sipil. Bung Karno cs menilai, butuh pasukan besar untuk mengawal para pemimpin sipil dan Panglima Soedirman secara terpisah. Sementara, ketika itu pasukan republik belum dalam kondisi lengkap karena usai menggelar operasi memberantas PKI di Madiun. Karena itu, kurang taktis bila kekuatan militer yang belum pulih dipaksa untuk mengawal berbagai pemimpin sipil dan militer. Namun, tanggapan ini dikritik oleh militer, yang dengan tegas menyatakan mereka sudah menyiapkan pasukan dan sudah amat siap untuk bergerilya bersama pemimpin sipil. Sebaliknya, aksi menyerahnya pemimpin sipil kepada Belanda dianggap sebagai faktor yang bisa melemahkan perjuangan gerilya militer.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat