Seorang murid sekolah dasar mengerjakan soal Ujian Akhir Semester (UAS) Genap di rumahnya di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (8/6). | ARNAS PADDA/ANTARA FOTO

Opini

Belajar dari Rumah

Guru yang selama ini abai terhadap penguasaan teknologi harus segera menyadari tidak hanya menggunakan pola konvensional.

Oleh HENDARMAN

HENDARMAN, Kepala Pusat Penguatan Karakter, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Keputusan bersama empat kementerian dalam menyikapi tahun ajaran dan akademik baru pada masa pandemi Covid-19, jelas meluruskan tugas masing-masing pihak. Salah satunya, keputusan pembukaan sekolah tak jadi kewenangan mutlak dari kepala daerah atau kepala dinas terkait.

Pengambilan keputusan dilakukan secara penjenjangan, tetapi tidak sebagai "hierarchical". Masing-masing elemen, mempunyai kekuatan sama untuk menentukan dan mengambil keputusan, bahkan sampai pada tingkat orang tua.

Implikasi keputusan bersama tersebut, yaitu mengajak berbagai pihak untuk sama-sama berpikir dan bekerja sama sesuai tugas yang mampu dilakoni.

Secara prinsip, harus ada suatu tatanan distribusi tugas yang "berimbang dan berkesetaraan" sebagai suatu prinsip kompromi ekosistem yang ada antara sekolah, orang tua atau keluarga, dan masyarakat.

 
Terbuka kemungkinan isu "pembukaan sekolah" disalahtafsirkan sejumlah pemimpin daerah sebagai indikator keberhasilan kinerja kepemimpinan. 
 
 

Persepsi yang berkembang

Terbuka kemungkinan isu "pembukaan sekolah" disalahtafsirkan sejumlah pemimpin daerah sebagai indikator keberhasilan kinerja kepemimpinan. Mereka bisa berasumsi, tak menyegerakan pembelajaran tatap-muka sebagai  kegagalan janji kepada masyarakat.

Harusnya, dalam situasi yang penuh ketidakpastian, kompromi "hati dan jiwa" dari berbagai pemangku kepentingan menjadi pilihan utama dalam pengambilan kebijakan di daerah. Prinsip kesehatan dan keselamatan, mungkin menjadi basis pembuatan kebijakan yang terbaik pada saat ini.

Selama beberapa bulan belajar dari rumah (BDR), muncul keluhan pihak sekolah yang mengindikasikan belum optimalnya peran serta keluarga atau orang tua dalam proses pendampingan.

Kendala yang dihadapi nyaris identik, baik mereka yang tinggal di perkotaan, perdesaan, maupun daerah terpencil. Apakah semua orang tua di perkotaan tidak mengalami hambatan penguasaan teknologi ketika mendampingi anak-anaknya belajar?

 
Jelas terlihat, komponen ekosistem pendidikan yang ada masih belum siap menghadapi situasi pembelajaran bukan tatap-muka.
 
 

Apakah semua orang tua di perkotaan mampu mendukung pemenuhan belanja paket pulsa? Apakah orang tua yang bekerja tidak memiliki waktu untuk mendampingi anak-anaknya dibandingkan orang tua yang tidak bekerja? 

Jelas terlihat, komponen ekosistem pendidikan yang ada masih belum siap menghadapi situasi pembelajaran bukan tatap-muka. Umumnya, orang tua masih terpaku pada paradigma bahwa sekolah bertanggung jawab sepenuhnya atas pendidikan anak-anak.

Ditengarai, hal tersebut terjadi karena belum terwujudnya komunikasi atau dialog yang mengangkat isu "siapa melakukan apa?"

Pentingnya kompromi

Keluhan-keluhan yang muncul, mengindikasikan masih banyak dari kita yang belum siap berubah, yang sering disebut milenial sebagai belum bisa move on. Banyak yang lebih menyukai hal-hal bersifat "kenyamanan".

Keluhan para orang tua diduga karena selama ini, mereka mendapatkan tingkat kenyamanan atau luxurious luar biasa. Urusan anak-anak sepenuhnya diserahkan, dipercayakan, dan dimandatkan kepada pihak sekolah.

Bagi orang tua, yang penting atau pokoknya sudah menyelesaikan kewajiban membayar uang sekolah. Menarik ketika orang tua mengeluhkan betapa susahnya berinteraksi dengan anak sendiri.

 
Guru yang selama ini abai terhadap penguasaan teknologi alias gagap teknologi, harus segera menyadari.
 
 

Mereka baru menyadari, beban guru yang harus menghadapi keberagaman karakter siswa, juga banyak guru mengeluhkan berbagai keterbatasan, yaitu di samping amanah sebagai orang tua kedua bagi anak-anak, juga beban yang sifatnya administratif terkait profesinya.

Belajar dari rumah memberikan banyak pembelajaran banyak hal kepada kita. Orang tua, suka atau tidak, harus mengambil sebagian peran guru. Peran tersebut tidak saja mendampingi, tetapi sekaligus dapat "bersahabat dan berdamai" dengan teknologi.

Sejauh mana orang tua dapat melakukan peran-peran dimaksud akan berimplikasi terhadap tingkat keluhan dan tingkat stres.  

Guru yang selama ini abai terhadap penguasaan teknologi alias gagap teknologi, harus segera menyadari. Guru tidak hanya menggunakan pola konvensional sehingga harus melakukan kunjungan rumah (home-visit) selama masa pandemi.

Manusia baru berkompromi

Belajar dari rumah mengajarkan kita untuk mau menjadi "manusia baru", salah satu maknanya, kita harus cepat berkompromi terhadap berbagai perubahan. Cara berpikir, ‘’kalau dulu’’ atau ‘’seharusnya’’ begini dan begitu, harus segera ditinggalkan dan ditanggalkan.

Mampukah proses kompromi itu dilakukan? Menarik untuk  mengutip Tryon Edwards (1809-1894), seorang teolog dari Amerika Serikat, mengenai kompromi dan kegagalan kompromi.

Edwards mengatakan, ‘’Kompromi adalah pengorbanan dari satu hak atau kewajiban dengan harapan mempertahankan yang lain, tapi terlalu sering berakhir dengan hilangnya keduanya.’’ (Asli: Compromise is but the sacrifice of one right or good in the hope of retaining another - too often ending in the loss of both)

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat