Sejumlah perawat melaksanakan aksi simbolis pada Hari Perawat Internasional untuk menghormati kolega yang gugur karena Covid-19 di Esplanada dos Ministerios, Brasilia, Brasil, Selasa, (12/5). | EPA-EFE/Joedson Alves

Kabar Utama

Tenaga Kesehatan Gugur, Santunan Belum Tiba

Insentif yang diterima tenaga kesehatan tak merata.

OLEH DADANG KURNIA, RR LAENI SULISTYAWATI

Tak hanya insentif bagi tenaga kesehatan (nakes) yang menangani Covid-19 yang penyalurannya ternyata tersendat. Pihak-pihak di daerah juga mengadukan santunan kematian bagi nakes yang belum kunjung cair.

Hal itu disayangkan sehubungan kabar kematian nakes yang terus bermunculan. Salah satu yang terkini adalah Sulastri, seorang perawat di Rumah Sakit Islam (RSI) Wonokromo, Surabaya. Ia berpulang pada Rabu (1/6) kemarin setelah dirawat lima hari dan dinyatakan positif Covid-19.

Ketua DPW Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jatim, Prof Nursalam mengatakan, dengan meninggalnya Sulastri, hingga saat ini ada 11 perawat di Jawa Timur yang meninggal akibat terpapar Covid-19. "Yang bersangkutan meninggal positif Covid-19. Total perawat terkonfirmasi positif ada 146 orang," ujar Nursalam dikonfirmasi Republika, Rabu (1/7).

Ia juga menyampaikan, seluruh perawat yang meninggal itu belum menerima santunan kematian dari pemerintah. “Perawat yang meninggal tapi belum selesai juga, belum dapat. Prosedurnya terus gimana? Padahal administrasinya sudah lengkap," kata Nursalam.

Dalam Kepmenkes Nomor HK.01.07/MENKES/392/2020, para nakes yang gugur dalam tugas terkait Covid-19 semestinya mendapatkan santunan sebesar Rp 300 juta.

Ia menyayangkan hal ini. Sebab, menurutnya, perawat memiliki risiko lebih tinggi terpapar Covid-19 dibanding tenaga kesehatan lainnya. Pasalnya, intensitas kontak perawat dengan pasien Covid-19 lebih tinggi. “Perawat bekerja 24 Jam memenuhi kebutuhan pasien A sampai Z. Membantu semua tindakan mulai buang air besar dan kecil. Berarti risiko untuk tertular lebih tinggi. Ini bisa menjadi catatan," ujarnya.

Pemerintah melalui Gugus Tugas Penanganan Covid-19 terakhir mengumumkan kematian nakes terkait Covid-19 hampir dua bulan lalu, tepatnya pada 6 Mei. Saat itu, tercatat 38 dokter dan 17 perawat yang menangani pasien Covid-19 gugur. Jumlah saat itu kebanyakan di DKI Jakarta. Sejak itu, data kematian nakes belum lagi diumumkan.

Sedangkan data Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada 12 Juni lalu justru berkurang jadi 35 dokter meninggal. Dari jumlah itu, terbanyak di DKI (11 orang), kemudian di Jawa Timur (6), Bodetabek (5 orang), dan sisanya tersebar di Bandung, Medan, Banjarmasin, Balikpapan, dan Makassar. Sedangkan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) melansir sebulan lalu 20 perawat gugur selepas menangani pasien Covid-19.

Data-data tersebut bisa dipastikan sudah bertambah belakangan. Pasalnya, sejak pengumuman-pengumuman tersebut, laporan-laporan kematian dokter, perawat, maupun petugas medis lainnya terus bermunculan dari berbagai daerah. 

Di Jawa Timur, misalnya, Dinkes Jatim mencatat delapan Nakes yang meninggal. Sedangkan IDI Jatim mencatat 22 nakes gugur terdiri dari 2 bidan, 10 dokter, dan 10 perawat. Jumlah tersebut tersebar di seluruh wilayah Jatim. Perbedaan jumlah tersebut juga mencerminkan sengkarut pendataan nakes yang gugur terkait Covid-19.

Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim, Hikmah Bafaqih mengungkapkan, berdasarkan penjelasan Dinkes Jatim, data kematian nakes yang diperoleh berasal dari rumah sakit dan laboratorium. "Ternyata, Dinkes selama ini mengandalkan data dari rumah sakit atau laboratorium. Namun kenyataannya, banyak nakes yang meninggal namun tak dilaporkan sebagai nakes," ujar Hikmah.

Hikmah menekankan, saat ada nakes penangan pasien Covid-19 yang meninggal namun tidak terdata, kemungkinan yang bersangkutan tidak mendapatkan santunan. "Bayangkan keluarga para Nakes namun tak terdata sebagai Nakes maka tak mendapatkan uang duka," ujar politikus PKB tersebut.

Ketua IDI Jatim, Sutrisno berharap agar tenaga kesehatan mendapat prioritas. Di antaranya dengan melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin, baik itu rapid test ataupun tes PCR. Termasuk soal insentif. Dia berharap, semua tenaga kesehatan, pemerintah maupun non pemerintah yang memberikan pelayanan Covid-19 mendapat insentif dari pemerintah.

"Kenapa? Karena ibarat perang, tentaranya ya tenaga kesehatan itu. Jadi kalau kepingin perang tentaranya harus dirawat, diopeni, diperhatikan. Supaya tenaganya pikirannya dan kemampuannya bisa terus melakukan pelayanannya," kata dia.

Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak mengaku, pihaknya saat ini tengah menyiapkan santunan bagi para Nakes yang meninggal dunia akibat Covid-19 tersebut. Emil menyebutkan, jumlah yang akan diterima para keluarga nakes yang meninggal dunia juga sudah dihitung. 

photo
Petugas medis bersama warga menguburkan jenazah pasien positif Covid-19 di salah satu lokasi dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Rabu (17/6). - (AMPELSA/ANTARA FOTO)

"Kalau soal santunan itu ada. Sebelumnya, juga ramai soal besarannya, 'Kenapa kok cuma sekian? Namun, kami memastikan bahwa jumlahnya lebih besar dibandingkan jumlah yang dianggap kecil itu. Nanti, untuk jumlah pastinya akan disampaikan," kata dia.

Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM (PPSDM) Kemenkes, Abdul Kadir, mengatakan, Kemenkes mengelola Rp 1,9 triliun dari dana insentif nakes senilai Rp  5,6 triliun. Di dalamnya termasuk dana santunan kematian tenaga kesehatan sebanyak Rp 60 miliar. Jika dihitung jumlah santunan perorang, dana santunan itu mencakupi 200 orang nakes.

Sejauh ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengklaim telah melakukan verifikasi dan menyalurkan santunan kematian untuk ahli waris 47 nakes yang menangani Covid-19 per Rabu (1/7). “Kami berharap jangan ada tambahan nakes yang meninggal dunia," Abdul Kadir saat dihubungi Republika, Rabu.

Ia tak memungkiri angka kematian nakes dinamis dan setiap hari bisa berubah. Karena itu, pihaknya masih menunggu usulan dari fasilitas pelayanan kesehatan mengenai nakes yang meninggal dunia. Syaratnya mereka memberikan surat tugas dan ada tanda bukti bahwa nakes itu meninggal dunia karena Covid-19, kemudian ada surat keterangan ahli waris dan KTP ahli waris plus nomor rekening. 

Yang tak kalah penting, dia melanjutkan, harus ada surat pertanggungjawaban dari pimpinan fasyankes bahwa kematian nakes itu benar. "Kemudian Kemenkes verifikasi dan diberikan pada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai bendahara untuk membayarkan (santunan kematian). Karena Kemenkes kan tidak memegang uang," kata dia.

Ia menyebutkan, total anggaran pemerintah untuk insentif dan kematian nakes akibat penanganan Covid-19 sebesar Rp 1,9 triliun. Ia menambahkan, anggaran khusus untuk santunan kematian sebesar Rp 60 miliar untuk 200 orang.  "Jadi, satu orang ahli waris nakes ini menerima santunan kematian sebesar Rp 300 juta," katanya.

Tak hanya santunan kematian, ia menyebutkan, Kemenkes juga khusus memberikan piagam penghargaan untuk para tenaga medis yang meninggal dunia saat menangani Covid-19. Kadir mengaku, kini Kemenkes tengah berkeliling untuk memberikan penghargaan tersebut ke ahli waris dan keluarga nakes yang meninggal dunia karena virus tersebut termasuk 47 orang ini. 

Kadir mengaku pihaknya telah memberi apresiasi ini pada enam nakes yang meninggal dunia karena Covid-19 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Tak hanya itu, ia menyebutkan beberapa hari lalu, sebanyak dua nakes juga telah mendapatkan piagam penghargaan khusus tersebut. "Kami beri penghargaan dan buat upacara supaya terhormat," katanya. 

‘Insentif belum ada kabar’

Dalam keadaan normal, pekerjaan Ahmad (40 tahun) di RSUD Al-Ihsan, Baleendah, Kabupaten Bandung, sedianya sudah menguras emosi. Di masa pandemi, pekerjaannya jadi bertambah berbahaya. 

Bagaimana tidak, sehari-hari, ia bertugas di bidang kerohanian kamar jenazah, menangani pasien hidup dan yang meninggal. Ahmad juga melakukan konseling dan memberikan motivasi kepada pasien yang putus asa, panik dan kesepian melalui berbagai alat komunikasi.

"Pengalaman pribadi di awal (pandemi), edukasi keluarga kalau jenazah ketika dinyatakan Covid-19 harus ikuti protokol pemerintah termasuk saat penguburan. Di awal masyarakat reject (menolak) soal penguburan itu," kata dia kepada Republika, kemarin. 

Dalam kondisi mendesak dan khusus, ia harus memberikan konseling kepada pasien Covid-19 di ruang karantina dengan memakai alat pelindung diri lengkap. "Saat mendesak saja ketika mendampingi (pasien) yang sakaratul maut dan evakuasi. Itu kalau yang sempat didampingi. Kalau tidak sempat, didampingi oleh para perawat dan dokter di ruangan," ujarnya.

Sebagai tenaga kesehatan (nakes) ia mengklaim sudah didata untuk mendapatkan insentif. "Sejak awal sampai sekarang belum (insentif), dari manajemen tetap merekap-rekap. Sampai saat ini belum ada kabar," ujarnya.

Meski belum ada kepastian, ia mengaku tidak patah semangat untuk bekerja melayani masyarakat dengan baik. "Intinya begini, insentif itu tidak melunturkan semangat bekerja. (Tapi) kalau di-PHP-in nggak enak. Itu masalahnya. Kalau memang nggak ada, nggak ada sekalian," katanya.

Wakil Ketua Penanggulangan Covid-19 RS Achmad Muchtar Bukittinggi dr Dedi Herman mengatakan, insentif di masa pandemi bukan hanya soal imbalan. Menurut Dedi, nakes juga merasakan dampak perekonomian karena pandemi virus corona karena pasien yang berobat banyak berkurang dari hari-hari biasa.

“Dokter yang biasanya menangani 10-15 orang setiap hari ini hanya 2-3 orang. Kalau pemerintah memberikan insentif, alhamdulillah sekali itu sangat membantu," kata Dedi kepada Republika, Rabu (1/7). Ia menuturkan, para tenaga kesehatan di Bukittinggi, sudah dimintai KTP dan nama ibu kandung untuk pembukaan rekening penyaluran insentif dari pemerintah. "Tapi sampai sekarang rekening belum ada dan insentif belum diterima," ujar Dokter Dedi.

Bagi perawat, insentif juga mereka perlukan sehubungan resiko dan dampak Covid-19 terhadap kehidupan sehari-hari. Agung, seorang perawat di Jakarta Selatan menilai, keterlambatan pencairan insentif kemungkinan besar karena prosedur yang rumit dari pemerintah. “Yang dijanjikan Rp 7,5 juta, (tapi itu) belom tentu dapat Rp 7,5 juta per bulannya karena tergantung dari tempat bekerja dan berapa lama bertugas," kata Agung saat dihubungi Republika, Rabu (1/7).

Sementara, Ketua DPW  Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jawa Tengah, Edy Wuryanto menyoroti persoalan disparitas anggaran Covid-19 bagi pejabat struktural dengan tenaga fungsional yang dinilai kurang adil.  “Selain lambat, hingga sebagian besar kabupaten/ kota belum cair, besarannya pun tidak sesuai dengan apa yang diharapkan,” kata dia, Rabu (1/7).

 
Apalagi nakes yang non ASN yang gajinya kecil, insentifnya juga kecil. Tetapi mereka justru menanggung risiko yang besar. Sehingga di situ saya bisa menyebut tidak fair.
EDY WURYATO, Ketua DPW PPNI Jawa Tengah
 

Menurutnya, di beberapa daerah di Jawa Tengah memang masih banyak yang belum menerima karena panjangnya proses administrasi dan verifikasi hingga pusat. Namun beberapa daerah yang sudah menerima insentif pun terjadi perbedaan yang cukup lebar. 

Sebab ada yang menerima hanya Rp 800 ribu per bulan, namun juga ada yang menerima Rp 3 juta per bulan. “Karena janjinya sebesar Rp 7,5 juta per bulan, tetapi ternyata itu angka maksimal dan pemerintah daerah yang membagi,” lanjutnya.

Ia mengatakan, di tingkat pemerintah daerah insentif yang besar justru untuk manajemen pengelola Covid-19. Tetapi untuk nakes yang  melayani langsung justru jumlahnya lebih kecil. Menurutnya hal tersebut kurang adil.

“Apalagi nakes yang non ASN yang gajinya kecil, insentifnya juga kecil. Tetapi mereka justru menanggung risiko yang besar. Sehingga di situ saya bisa menyebut tidak fair,” kata dia.   

Maka ia bersama- sama dengan para anggota legislatif di Komisi IX DPR, sudah meminta untuk dilakukan langkah- langkah  percepatan lintas sektoral agar ini insentif nakes yang lambat ini bisa segera dikeluarkan. “Bahkan Komisi IX DPR RI juga mengusulkan, sekiranya anggaran Rp 5 triliun tersebut kurang, karena banyaknya tenaga kesehatan yang melayani Covid-19, agar bisa ditambah lagi,” kata dia. 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat