Presiden Joko Widodo meninjau layanan kependudukan di Pasar Pelayanan Publik Rogojampi, Banyuwangi, Jawa Timur, Kamis (25/6). Presiden terlihat kecewa karena jajarannya tak bekerja dengan ritme luar biasa dalam penanganan Covid-19. | BUDI CANDRA SETYA/ANTARA FOTO

Nasional

Jokowi Ancam Reshuffle Kabinet

Presiden terlihat kecewa karena jajarannya tak bekerja dengan ritme luar biasa dalam penanganan Covid-19.

OLEH SAPTO ANDIKA CANDRA, RIZKY SURYARANDIKA 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai menghembuskan wacana reshuffle atau perombakan kabinet. Ancaman itu ditujukan kepada menteri-menteri yang dianggap tidak bisa bekerja cepat dan di luar kebiasaan (extraordinary) dalam penanganan pandemi Covid-19. Penanganan yang dimaksud tak hanya dari aspek kesehatan, namun juga kaitannya dalam perekonomian dan penyaluran bantuan sosial. 

Pernyataan Jokowi soal perombakan kabinet ini disampaikan dalam sambutan Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Kamis (18/6) lalu. Baru pada Ahad (28/6) petang, video sambutan Presiden Jokowi dalam sidang kabinet tersebut diunggah pihak Istana Kepresidenan di media sosial. Saat itu sidang kabinet berlangsung tertutup dan tidak bisa diliput media. 

Tak hanya merombak kabinet, Jokowi juga menyatakan kemungkinan adanya pembubaran lembaga. Namun, ia tak menjelaskan lembaga seperti apa yang berpotensi untuk dibubarkan tersebut.

 
Saya harus ngomong apa adanya, enggak ada progres yang signifikan. Langkah apapun yang extraordinary akan saya lakukan. Bisa saja, membubarkan lembaga. Bisa saja reshuffle. Udah kepikiran ke mana-mana saya.
PRESIDEN JOKO WIDODO
 

Dalam sambutannya, presiden terlihat kecewa karena jajarannya tak bisa bekerja dengan ritme luar biasa dalam penanganan Covid-19. Padahal menurutnya, diperlukan sebuah ritme kerja yang di atas normal dan kebijakan yang 'tak normal' untuk merespons krisis kesehatan dan ekonomi yang terjadi sejak pandemi menggerogoti Indonesia pada awal Maret.

Presiden juga tampak kesal karena sejumlah kementerian terlihat lambat dalam melakukan belanja anggaran. Padahal, anggaran penanganan Covid-19 sudah disiapkan dengan nilai triliunan. Anggaran kesehatan misalnya, Jokowi menyebut sudah disiapkan Rp 75 triliun. Dari angka tersebut, baru 1,35 persen yang sudah terserap.

Jokowi meminta menteri terkait segera melakukan belanja sektor kesehatan, seperti pembayaran tunjangan dokter dan tenaga medis. Jokowi juga menyinggung soal penyaluran bantuan sosial yang terkesan lambat. Ia menekankan, penyaluran bantuan harus bisa menyentuh 100 persen masyarakat yang membutuhkan.

Di bidang ekonomi, Jokowi juga meminta agar stimulus bisa segera direalisasikan, khususnya untuk pelaku UMKM. Jokowi meminta agar 'bantuan' ini segera diberikan tanpa menunggu pelaku ekonomi tumbang lebih dulu.

"Hanya gara-gara urusan peraturan, urusan peraturan. Ini extraordinary. Saya harus ngomong apa adanya, enggak ada progres yang signifikan. Langkah apapun yang extra ordinary akan saya lakukan. Bisa saja, membubarkan lembaga. Bisa saja reshuffle. Udah kepikiran ke mana-mana saya," ujar Presiden Jokowi dengan nada kesal seperti dalam video yang diunggah Sekretariat Presiden, Ahad (28/6).

Presiden pun mengaku siap menerbitkan payung hukum baru bagi menteri-menterinya demi memperlancar penanganan Covid-19, baik dari sisi kesehatan, ekonomi, atau sosial. Misalnya, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Jokowi bahkan mengaku siap menerbitkan Perppu baru bila diminta.

"Kalau memang diperlukan. Karena memang suasana (krisis) ini harus ada, suasana ini tidak, bapak ibu tidak merasakan itu sudah. Kalau yang sudah ada belum cukup. Asal untuk rakyat, asal untuk negara. Saya pertaruhkan reputasi politik saya," jelas Jokowi.

Dalam sambutannya, Jokowi juga menyayangkan tidak adanya suasana krisis dalam kinerja menteri-menterinya. Ia pun mengutip laporan OECD yang menyebutkan pertumbuhan ekonomi dunia bisa merangsek minus 6-7,6 persen. Bahkan, Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia bisa nyungsep ke angka minus 5 persen.

"Perasaan ini harus sama. Kita harus ngerti ini. Jangan biasa-biasa saja, jangan linear, jangan menganggap ini normal. Bahaya sekali kita. Saya lihat masih banyak kita yang menganggap ini normal," kata Jokowi. 

Sebelumnya, pakar epidemiologi Universitas Indonesia Syahrizal Syarif menyoroti terus bertambahnya penderita Covid-19 di Indonesia. Ia menilai kondisi itu terjadi karena pemerintah yang tak tegas menangani penyebaran virus tersebut.

Rizal menyayangkan respon lambat pemerintah dalam mencegah penularan Covid-19 sejak awal. Bahkan lambatnya pemerintah terus terlihat ketika kasus Covid-19 perlahan tapi pasti merangkak naik.

Pemerintah memang sempat mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tapi penerapannya di suatu daerah wajib mendapat restu menteri kesehatan. Lambatnya birokrasi mau tak mau membuat upaya pencegahan di suatu daerah kian tertinggal dari kecepatan virus corona itu sendiri.

photo
Tim Covid Hunter bersiap melacak pasien Covid-19 yang berkeliaran di Surabaya, pekan lalu. Presiden terlihat kecewa karena jajarannya tak bekerja dengan ritme luar biasa dalam penanganan Covid-19 - (ANTARA FOTO/Didik Suhartono)

Hal ini diperparah karena penerapan PSBB tak tegas di lapangan. Para pelanggar PSBB mayoritas tak dikenai sanksi sesuai aturan yang ada. Misalnya, pengendara kendaraan pelanggar PSBB yang hanya diputarbalikkan tanpa diberi sanksi.

Rizal meyakini jika pemerintah lebih cepat tanggap dan tegas maka penanganan Covid-19 akan lebih baik. Temuan kasus baru Covid-19 pun diprediksi tak akan sebanyak saat ini.

"Pemerintah tidak tegas, jika waktu itu diterapkan PSBB wajib bagi zona merah- tidak PSBB berizin - dan pelanggaran protokol dikasih sanksi denda mungkin kurva harian kita lebih baik," kata Rizal dalam keterangan yang diterima Republika, Rabu (24/6).

Selain itu, Rizal merasa prihatin dengan penerapan new normal atau tata kehidupan baru yang digaungkan pemerintah. Padahal kenyataannya kurva penderita Covid-19 tak kunjung menurun atau bahkan stabil.

Kini, penerapan new normal membuat masyarakat bebas beraktivitas dengan embel-embel mematuhi protokol kesehatan. Kondisi ini memaksa masyarakat berhadapan face to face dengan Covid-19. Ibarat hukum rimba, siapa kuat dialah yang bertahan. "Ya ada harga yang harus dibayar untuk setiap pelonggaran," ujar Rizal.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat