Foto Adithya Sebastian (22), yang hilang kontak saat bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) Kapal China Fu Yuan Yu 1218 ditunjukkan pihak keluarga di Kota Padang, Sumatra Barat, Jumat (12/6). | Muhammad Arif Pribadi/ANTARA FOTO

Nasional

LPSK: Perdagangan Orang Mengkhawatirkan

LPSK memberikan perlindungan terhadap 14 ABK yang mengalami perbudakan di kapal.

 

JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan terhadap 14 anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang mengalami perbudakan di kapal Long Xing 629 berbendera Cina. Perbudakan yang terjadi ini menegaskan bahwa kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berada di level mengkhawatirkan.

Wakil Ketua LPSK Antonius Wibowo mengatakan, kasus TPPO terhadap ABK bukan kali pertama ditangani LPSK. Sebab, sejak 2013 hingga Juni 2020, ada 228 korban dari 11 kasus yang telah mendapatkan perlindungan LPSK. Namun, Wibowo meyakini, angka tersebut bukan merupakan jumlah keseluruhan dari korban dalam peristiwa serupa yang terjadi.

“Pasti ada yang tidak meminta perlindungan, bahkan tidak tahu harus mengadu ke mana,” kata dia saat konferensi pers secara daring bertajuk ‘Perlindungan ABK Indonesia Korban Perdagangan Orang’ pada Selasa (16/6).

Pada 2018, terdapat 186 terlindung dari kasus TPPO dan naik menjadi 318 terlindung pada 2019. Angka tersebut menempatkan kasus TPPO pada posisi empat besar jumlah terlindung LPSK setelah kasus kekerasan seksual anak, terorisme, dan pelanggaran HAM berat pada 2019.

photo
Basrizal (kiri) dan Neni Marlina (kanan) menunjukan foto anaknya Adithya Sebastian (22), yang hilang kontak saat bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) Kapal China Fu Yuan Yu 1218 di Kota Padang, Sumatera Barat, Jumat (12/6/2020). Pihak keluarga meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk membantu melakukan pengusutan atas hilang kontaknya anak mereka tersebut - (Muhammad Arif Pribadi/ANTARA FOTO)

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi mengatakan, 14 ABK asal Indonesia di kapal Long Xing 629 mengaku mendapatkan perlakuan yang tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh pihak agen penyalur mereka. “Sejak awal LPSK menduga kasus ini terkait perdagangan orang,” kata dia.

Dari para korban diperoleh keterangan bahwa mereka awalnya dijanjikan sebagai ABK kapal penangkapan ikan di Korea Selatan, mendapatkan gaji dan bonus sesuai perjanjian kerja, dan dipekerjakan secara legal. Namun, nyatanya gaji dan bonus yang mereka terima tidak sesuai.

Terpisah, Kepala Bidang Humas Polda Kepulauan Riau (Kepri) Kombes Pol Harry Goldenhardt menegaskan, kasus dua ABK WNI Indonesia yang nekat melompat ke laut Selat Malaka dari kapal Fu Lu Qing Yuan Yu 901 merupakan kasus TPPO. Para tersangka yang kini ditahan menjanjikan kedua ABK mendapatkan gaji yang besar. Namun, nyatanya ABK tersebut tidak digaji dan mendapatkan perlakuan kekerasan.

“Para tersangka ada yang ditahan di Polda Metro Jaya (PMJ) dan Polda Kepri. Totalnya tujuh tersangka. Mereka melakukan perekrutan pekerja migran Indonesia (PMI) untuk dipekerjakan di Korea Selatan sebagai buruh pabrik dengan iming-iming mendapatkan gaji sebesar Rp 25 juta sampai dengan Rp 50 juta per bulannya. Dengan persyaratan membayar biaya pengurusan sebesar Rp 50 juta per orang,” ujar dia.

Kemudian, ia melanjutkan, pada kenyataannya para korban dipekerjakan sebagai ABK di kapal penangkap ikan/cumi Yu-Qing Yuan Yu 901 yang berbendera Cina tanpa mendapatkan gaji selama kurang lebih empat sampai tujuh bulan. Lalu, selama bekerja para korban mendapatkan perlakuan keras dan pemaksaan dari kru kapal.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat