Seorang perempuan mengikuti aksi menolak rasialisme di Amsterdam, Belanda, pekan lalu. | AP/Peter Dejong

Opini

Menatap Rasialisme di AS

Mengapa masih terjadi rasialisme di AS yang telah menjadi negara demokrasi lebih dari dua abad?

DEDDY MULYANA, Pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad

Sebuah film dokumenter berjudul The Story of Us (Episode 2) ditayangkan National Geographic, belum lama ini.

Dipandu Morgan Freeman, aktor film terkenal AS berkulit hitam, film itu melukiskan pria kulit hitam bernama Daryl Davis yang sering dilecehkan kaum kulit putih, terutama kelompok Klu Klux Klan (KKK).

“Bagaimana mungkin orang yang tak mengenal kita membenci kita hanya karena kita berbeda warna kulit?” keluh Daryl. Diwawancarai Morgan, Daryl duduk bersama Scott, pria kulit putih yang selama 20 tahun membenci kaum kulit hitam dan sering merisak mereka.

Saat masih anggota KKK, karena mabuk Scott ditangkap polisi dan direhabilitasi. Komunikasinya intens dengan orang-orang dari kelompok ras, etnik, gender, dan agama berbeda di pusat rehabilitasi itu. Scott pun menyadari kekeliruannya.

Akhirnya, Scott “bertobat”, bahkan kemudian bersahabat dengan Daryl. Tayangan TV ini mengingatkan siapa pun pemirsanya dengan kasus George Floyd di Negeri Paman Sam yang menghebohkan belakangan ini.

Floyd dibunuh polisi kulit putih 25 Mei lalu. Namun, protes di AS, bahkan di sejumlah negara Eropa, termasuk Inggris, Jerman, dan Belgia masih berlangsung hingga baru-baru ini.

 
Kalau kita duduk (bersama orang berbeda ras) lima hingga 10 menit, kita akan menemukan persamaan; bahkan berkawan jika kita duduk lebih lama lagi dan akhirnya menyadari bahwa warna kulit itu tidak penting.
 
 

Mengapa masih terjadi rasialisme di AS yang telah menjadi negara demokrasi lebih dari dua abad dan telah menghapuskan semua aturan rasialis lebih dari 50 tahun lalu?

Friksi kulit hitam-kulit putih itu terasa lebih ironis, mengingat AS adalah episentrum teknologi komunikasi yang memiliki inovator digital andal, seperti Bill Gates dan Steve Jobs serta Silicon Valley, wilayah dengan banyak perusahaan komputer dan semikonduktor.

Teknologi komunikasi memang bisa mendekatkan kelompok-kelompok budaya (termasuk ras putih dan ras hitam). Namun, kedekatan itu dangkal dan semu. Mereka dekat secara fisik, tetapi jauh secara psikis.

Kedekatan sejati hanya bisa diperoleh lewat komunikasi tatap muka ketika para aktor bertukar pikiran, berbagi perasaan, kekhawatiran, dan harapan, seperti yang dialami Scott di pusat rehabilitasi seperti dilukiskan pada awal tulisan ini.

Dalam ungkapan Daryl, “Kalau kita duduk (bersama orang berbeda ras) lima hingga 10 menit, kita akan menemukan persamaan; bahkan berkawan jika kita duduk lebih lama lagi dan akhirnya menyadari bahwa warna kulit itu tidak penting.”

Media sosial yang mengglobal sebenarnya takkan mampu menggantikan komunikasi antarpribadi, termasuk yang antarbudaya. Alih-alih menghapuskannya, komunikasi digital memperumit komunikasi antarbudaya.

Meminjam ungkapan Marc Le Glatin (2007), budaya digital adalah “gempa budaya”. 

Menurut Hofstede Dkk (2010), media populer sering menyatakan, teknologi komunikasi, termasuk televisi, email, internet, telepon seluler, dan media sosial akan membawa orang-orang di seluruh dunia bersama-sama ke dalam suatu desa dunia di mana perbedaan budaya tak lagi menjadi masalah.

Namun, menurut mereka, dominasi teknologi atas budaya ini hanya ilusi; perangkat lunak mesin mungkin mendunia, tetapi perangkat lunak pikiran yang menggunakannya tidak demikian. 

 
Studi ini menjelaskan, orang-orang Barat mengidap sejenis perasaan unggul yang mendorong insting mereka untuk melecehkan orang-orang Timur. 
 
 

Itu sebabnya, Uzun (2014) menemukan dalam studinya bahwa kendati komunikasi tradisional berhasil digantikan komunikasi bermedia komputer, sebagian motif budaya masih memengaruhi tindakan para pemain gim daring.

“Walaupun realitas digital memiliki budaya dan aturan-aturannya sendiri, kebiasaan realitas fisik masih merupakan kekuatan utama yang menentukan hubungan dalam lingkungan virtual,” kata Uzun.

Senada dengan itu, Kaluza dan Golik (2008) menemukan dalam penelitian mereka bahwa dalam permainan gim komputer (MMORPGs) antara orang Eropa dan orang Asia, orang Eropa  menunjukkan rasialisme dan kebencian terhadap orang Asia.

Studi ini menjelaskan, orang-orang Barat mengidap sejenis perasaan unggul yang mendorong insting mereka untuk melecehkan orang-orang Timur. Manusia lahir dan hidup dalam koordinat ruang dan waktu tertentu, bukan dalam ruang hampa budaya.

Karena itu, mereka akan selalu memiliki sejenis etnosentrisme (kecenderungan menganggap budaya sendiri sebagai yang terbaik) dan stereotip (generalisasi berlebihan) terhadap kelompok budaya lain.

Untuk meminimalkan konflik antarbudaya, pendidikan, pelatihan, dan lokakarya antarbudaya yang melibatkan komunikasi tatap muka yang intens memang harus dilakukan, asalkan tidak disusupi agenda politik tertentu.

 
Jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, upaya untuk mengatasi konflik antarbudaya ini mestinya tidak seberat upaya serupa yang harus dilakukan Pemerintah AS.
 
 

Usaha tersebut perlu dilakukan pemerintah kita untuk mengurangi potensi konflik antarbudaya pada masa yang akan datang. Jangan sampai konflik antaretnik dan antaragama pada masa lalu terulang kembali.

Media pun, baik media massa (khususnya televisi) dan media sosial, lewat berbagai informasi, tayangan hiburan dan pendidikan atau gabungan keduanya (edutainment) harus turut membangun empati antarbudaya ini.

Jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, upaya untuk mengatasi konflik antarbudaya ini mestinya tidak seberat upaya serupa yang harus dilakukan Pemerintah AS.

Satu alasannya, bangsa kita tidak memiliki sejarah kelam pertentangan warna kulit dan perbudakan seperti di AS yang berlangsung ratusan tahun dan traumatik.

Namun, karena komunikasi bukan panasea untuk segala problem antarbudaya, solusi bersifat struktural berupa penegakan keadilan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat perlu diupayakan oleh pemerintah kita. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat