Seorang anak menggunakan perahu melintasi jalan permukiman yang terendam banjir luapan Sungai Batanghari saat perayaan Idul Fitri 1441 Hijriah di Olak Kemang, Danau Teluk, Jambi, Minggu (24/5/2020). Sejumlah titik kawasan permukiman di daerah itu kembali | Wahdi Septiawan/ANTARA FOTO

Kisah Dalam Negeri

Air yang Dicari Manusia dan Kini Dicemari 

Air di masa kerajaan lampau jadi prioritas, bagaimana kini agar air tak tercemar?

 

OLEH WILDA FIZRIYANI

 

Air merupakan salah satu komponen di kosmos, baik dalam arti mikrokosmos maupun makrokosmos. “Air itu penting bagi kosmos, baik di jagat raya maupun manusia,” kata arkeolog dari Universitas Negeri Malang (UM), Dwi Cahyono, dalam kegiatan diskusi daring, beberapa waktu lalu.

Di masa prasejarah, air acap dijadikan pertimbangan bagi homo sapiens untuk menetapkan area permukiman. Hal ini terlihat dengan adanya temuan manusia purba di Pulau Jawa, seperti di Sangiran, Jawa Tengah, Ngawi, Jawa Timur, dan sekitar aliran Brantas. Temuan ini membuktikan adanya hubungan kuat antara manusia dan air sebagaimana dalam konsepsi kosmos.

Ada banyak beragam sumber data tentang air di Nusantara. Tidak hanya sumber tekstual, tapi juga tercantum dalam bukti artefak. Bahkan, pembahasan air turut terekam dalam sumber tradisi lisan di beberapa daerah.

Ritual berhubungan dengan air tercatat dalam tradisi bersih desa di tepian sumber air. Ritual ini bisa saja dalam bentuk menguras sumber air lalu mengisi kembali dengan yang bersih. Kegiatan yang salah satunya dilakukan di Simbatan Wetan, Magetan, ini acap dilaksanakan secara periodik.

Pengelolaan air di masa lampau terekam pertama kali dalam prasasti Tugu. Sumber tekstual ini ditulis pada masa Kerajaan Tarumanegara sekitar abad kelima Masehi. Prasasti tersebut memuat informasi tentang pembuatan dua sungai yang salah satunya dikenal dengan Kali Cakung Lama.

photo
Kondisi Kali Ciliwung yang melintasi Kampung Melayu, Jakarta Timur pada 1993. - (DOKREP)

“Yang mengalir dari Jakarta Timur (Jaktim) sampai Jakarta Utara, bermuara ke Marunda melewati Tugu Utara dan Tugu Selatan,” jelas Dwi.

Yang menarik, justru tertera dalam prasasti di Polowijen, Kota Malang. Prasasti yang dikeluarkan di masa Raja Mpu Sindok ini menjelaskan berbagai perangkat distribusi air. Salah satunya tentang perangkat distribusi air di atas permukaan tanah yang disebut torong atau talang.

Ada pula instalasi air yang berfungsi meninggikan debit air yang kemudian dibagi ke dalam saluran air atau weluran. Menurut Dwi, instalasi ini di masa Mpu Sindok acap disebut sebagai dawuhan. Sampai saat ini, masih sering dijumpai dusun atau desa yang memiliki nama tersebut.

“Jika mendapatkan nama desa dengan Dawuhan maka sangat mungkin di daerah itu terdapat adanya instalasi air yang kini disebut bendungan,” ujar Dwi.

Berdasarkan temuan dan sumber data yang tersedia, Dwi menilai, masyarakat di masa lalu telah mengelola air secara birokratis. Pemerintah suatu kerajaan biasanya akan menunjuk pejabat yang bertugas mengelola instalasi sumber air atau sungai. Jabatan ini dikenal dengan sebutan mantri ulu-ulu atau joko tirto.

Penuh popok

Jika air menjadi salah satu prioritas kerajaan di masa lampau sehingga ditunjuk satu jabatan secara spesifik, bagaimana saat ini? Apakah ada ada upaya tegas yang dilakukan pemerintah dalam mengelola air sehingga tidak tercemar? Nyatanya, kualitas air maupun sungai di era kini tidak menunjukkan hasil yang membahagiakan.

photo
Petugas gabungan membersihkan sampah di kawasan pantai Desa Pasar Aceh, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat, Aceh, Jumat (5/6). Aksi membersihkan sampah di pantai yang diikuti puluhan petugas gabungan yang terdiri dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK), TNI dan Polri, Gerakan Peduli Lingkungan (GPL), mahasiswa dan masyarakat setempat tersebut dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia - (SYIFA YULINNAS/ANTARA FOTO)

Direktur Ecoton Indonesia Prigi Arisandi mengatakan, terdapat 84 titik timbunan popok di 37 kabupaten/kota. Lokasi-lokasi tersebut tersebar di enam provinsi di Pulau Jawa. Ditambah lagi, World Bank pada September 2017 menyebutkan, 21 persen sampah di laut Jawa berjenis popok. “Bahkan, kemarin dapat kontak juga dari teman di Sulawesi, mereka punya problem sama, popok ini harus diapakan,” kata Prigi.

Menurut dia, sebagian besar sampah popok terjadi di sungai utama dengan status nasional. Sejumlah di antaranya seperti di Ciliwung, Cisadane, Cimanuk, Kali Brantas, dan sebagainya.

Popok dianggap berbahaya karena 50 persen bahannya mengandung plastik. Ditambah lagi, terdapat bahan polietilena (PE) yang dapat mengakibatkan perubahan genetik di ikan dan kanker pada manusia. Ada pula bahan polyurethane yang dapat berdampak buruk pada biota air, penurunan berat badan, kelumpuhan, dan kematian.

Popok juga mengandung sodium poliakrilat (SAP) yang bisa menyerap kelembapan dari kulit sehingga mengakibatkan ruam. “Ini kalau terbuang ke sungai dan terurai akan menjadi ancaman serius bagi lingkungan,” ujar Prigi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat