Warga melakukan panggilan video saat bersilaturahim Idul Fitri 1441 H di Kebayoran Lama, Jakarta, Ahad (24/5/2020). Idul Fitri jadi momentum saling memaafkan. | MUHAMMAD IQBAL/ANTARA FOTO

Laporan Utama

Momentum Netizen Saling Memaafkan

Tidak ada status maupun komentar netizen di media sosial kecuali ada hisabnya kelak di akhirat.

 

Fenomena saling hujat sesama pengguna media sosial saat Ramadhan lalu masih terjadi. Jurus saling serang juga dilakukan di tengah pandemi Covid-19. Menurut pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, tingkah netizen di medsos selama bulan suci masih dilatarbelakangi pertarungan politik saat Pemilu Presiden 2019.

Dia menjelaskan, banyak buzzer atau pendengung dua kubu yang bertarung di pilpres tahun lalu masih saling hujat, terutama berkaitan dengan program dan kebijakan. "Tidak ada bedanya Ramadhan dengan sebelumnya karena ini bawaan polarisasi yang enggak akan pernah hilang. Dengan cara-cara masih ada buzzer kan dari dua kubu, yang profesional dibayar. Dan dalam komunikasinya itu tidak hanya mengomunikasikan program, tapi menghujat-hujat juga," kata Ismail kepada Republika, Senin (18/5) lalu.

Meski demikian, Ismail menjelaskan, masih ada kesamaan sikap netizen terkait pencegahan untuk memutus penyebaran Covid-19. Menurut Fahmi, netizen cenderung menghujat pihak-pihak yang tidak mendukung langkah-langkah pencegahan Covid-19 serta mereka yang tidak mendukung upaya tenaga kesehatan dalam memerangi Covid-19.

photo
Warga berswafoto saat momen halal bihalal pada perayaan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1441 H di kawasan Kalibaru, Bekasi, Jawa Barat, Ahad (24/5/2020). Idul Fitri jadi momentum untuk saling memaafkan - (Republika/Thoudy Badai)

"Semisal ada yang menstigma menolak tenaga kesehatan, itu mereka langsung hajar. Prinsipnya pada Covid-19 ini netizen mengikuti apa yang direkomendasikan, tidak ngumpul-ngumpul, begitu ada yang ngumpul siapa pun itu dihajar. Entah itu di masjid, di pasar, di depan Sarinah, termasuk yang jamaah tabligh," kata dia.

Di luar itu, menurut Ismail, ada isu terkait Covid-19 lainnya yang membuat perbedaan pandangan netizen di media sosial hingga berujung saling hujat dan menyebarkan berita hoaks. Misalnya saja dengan adanya isu konspirasi di balik pandemi Covid-19 hingga membawa ras dan suku bangsa tertentu sebagai penyebab pandemi Covid-19.

Ismail pun berharap momentum Hari Raya Idul Fitri bisa mendorong para netizen untuk saling memaafkan dan menghentikan saling hujat dengan kata dan ucapan yang kasar di media sosial. Ismail melihat masih banyak netizen yang mendorong kegiatan positif dan memberi dukungan di tengah pandemi Covid-19. Semisal dengan mendorong kegiatan kewirausahaan dan lainnya.

"Saya harapkan (momentum Idul Fitri) mereka bisa saling memaafkan, tapi itu kan dari hati, itu ada ketika mereka saling kenal. Paling tidak ucapan secara formatif, meski habis itu saling serang lagi. Karena memang nature-nya seperti itu di media sosial," kata dia.

 
Sudah seharusnya kita bersatu padu, bergandengan tangan, dan saling memaafkan.
 
 

Sekretaris Jenderal Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Ustaz Ahmad Khusyaeri menjelaskan, seseoarang yang telah menjalankan ibadah puasa seharusnya memahami hakikat puasa. "Berpuasanya lisan dari dusta, caci-maki, gibah (menggunjing), hujat-menghujat, menyebarkan fitnah dan berita hoaks di media sosial. Berpuasanya perut dari makan dan minum, serta berpuasanya kemaluan dari jima' (bersetubuh)," kata ustaz Ahmad Khusyaeri.

Ini sebagaimana hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari, "barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya."

Dia menyayangkan fenomena saling hujat, cacian dan makian, penyebaran fitnah dan berita hoaks netizen di media sosial yang justru meningkat selama Ramadhan dan di tengah pandemi Covid-19. Menurut dia, semua itu dapat mengurangi nilai ibadah puasa, bahkan bisa melunturkannya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam hadis lainnya, Rasulullah juga telah mengingatkan untuk waspada terhadap model dan gaya puasa yang hanya menahan lapar dan haus saja. Ini dapat ditemukan dalam hadis riwayat Ahmad yang berbunyi, "Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan dari puasanya rasa lapar dan haus saja. Dan berapa banyak orang yang melakukan qiyamul lail hanya mendapatkan dari qiyamul lail-nya terjaga (begadang) saja."

Begitu pun hadis lainnya dari sahabat Jabir bin Abdullah. Apabila kamu berpuasa, maka berpuasalah pendengaranmu, penglihatanmu, dan lisanmu dari dusta dan hal-hal yang haram. "Sesungguhnya kesempurnaan ibadah seseorang, bergantung pada sejauh mana ibadah itu memberikan dampak sosial yang positif bagi orang lain, termasuk berdampak positif dalam akhlak dan etikanya dalam bermedsos dan ketika berada di dunia maya," kata dia.

Ustaz Khusyaeri menjelaskan, tidak ada status di media sosial kecuali semuanya ada hisabnya (perhitungan dan pertanggungjawaban) kelak di akhirat. "Karena itu, di tengah kita perang melawan virus korona dan menyambut Hari Raya Idul Fitri, sudah seharusnya kita bersatu padu, bergandengan tangan dan saling memaafkan, karena ini merupakan ciri dan sifat orang yang bertakwa, dan itu pertanda diterimanya amal ibadah puasa Ramadhan kita insya Allah," tutur dia.

photo
Warga melakukan silaturahmi Idul Fitri 1441 H secara virtual di kawasan Jimbaran, Badung, Bali, Ahad (24/5/2020). Idul Fitri menjadi momentum netizen untuk saling memaafkan - (FIKRI YUSUF/ANTARA FOTO)

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat