Ilustrasi bunga. 'Aisyah binti Abu Bakar merupakan istri Rasulullah SAW yang menjadi ummahatul mu'minin. | Dok pxhere

Tema Utama

'Aisyah yang Menjadi Ummahatul Mu'minin

'Aisyah binti Abu Bakar menjadi istri Rasulullah SAW sejak di Makkah.

 

OLEH HASANUL RIZQA

 

Rasulullah Muhammad SAW memiliki sejumlah istri. Mereka digelari langsung oleh Alquran surah al-Ahzab sebagai ummahatul mu'minin, ibundanya orang-orang beriman. Salah satu istri Nabi SAW ialah Siti 'Aisyah binti Abu Bakar radhiyallahu 'anha. Dialah satu-satunya istri al-Musthafa yang masih gadis saat membina rumah tangga bersama beliau.

Menurut Abbas Jamal dalam Latar Belakang Perkawinan Nabi SAW, Rasulullah SAW menikah dengan perempuan mulia itu sewaktu memuncaknya pertentangan antara mayoritas Quraisy dan Muslimin. Saat itu, jumlah umat Islam masih sedikit bila dibandingkan musyrikin. Mereka kebanyakan berasal dari golongan lemah, baik secara ekonomi maupun politik.

Tambahan pula, suku-suku Arab waktu itu mudah diadu domba. Isu negatif sekecil apa pun bisa menyulut perpecahan. Bila konflik terjadi, tentunya kaum Muslim yang akan paling dipojokkan. Untuk mengatasi itu, pertalian kekerabatan dapat menjadi opsi. Nabi Muhammad SAW memanfaatkan upaya itu, yakni dengan menikahi putri tokoh masyarakat, untuk memperkuat shaff Muslimin. Jamal mengatakan, itulah, antara lain, sebab terjadinya pernikahan beliau dengan Siti 'Aisyah, yang masih di bawah umur saat dipinang.

'Aisyah lahir di Makkah. Tanggal kelahirannya masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan. Pendapat yang umum mengikuti at-Tabari, yakni putri Abu Bakar ash-Shiddiq itu menikah dengan Rasulullah SAW saat usianya sembilan tahun. Hal itu berdasarkan hadis berupa penuturan 'Aisyah tentang pernikahannya sebagai berikut.

photo
Jamaah Masjid Nabawi mengantre menziarahi makam Nabi Muhammad SAW di Madinah, beberapa waktu lalu. Di tempat bekas rumah Nabi SAW ini juga dimakamkan para sahabat Nabi, yakni Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar bin Khathab - (Yogi Ardhi)

"Rasulullah SAW datang ke kediaman kami (keluarga Abu Bakar), lalu beberapa kaum lelaki dan perempuan Anshar berkumpul di dekat beliau. Saat itu, aku bermain ayunan di antara dua pohon kurma. Ibuku tiba-tiba datang menghampiriku dan menurunkanku. Setelah itu, ibu meluruskan rambutku dan mengusap wajahku dengan air, lalu membawaku pergi sampai tiba di pintu rumah. Setelah itu, ibu membawaku masuk menemui Rasulullah SAW yang sedang duduk di atas kasur di rumah kami.

Ibuku kemudian mendudukkanku di pangkuan beliau, lalu ibuku berkata, 'Mereka itu adalah keluargamu. Semoga Allah memberkahi mereka untukmu, dan memberkahimu untuk mereka.' Para lelaki dan perempuan berdiri, mereka lalu pergi, setelah itu Rasulullah SAW bercengkerama. Beliau tidak menyembelih unta ataupun kambing. Saat itu, aku berusia sembilan tahun.

Sampai akhirnya, yang ada hanya sepiring makanan yang biasa dikirimkan Sa'ad bin Ubadah kepada Rasulullah SAW. Ia mengirimkan segelas air susu untuk mereka berdua, lalu Rasulullah SAW meminum sebagian. Kemudian, beliau memberikan sisanya kepada pengantin beliau dengan malu-malu, lalu si pengantin meminumnya."

Riwayat at-Tabari juga menuturkan perihal kisah pinangan Nabi SAW terhadap 'Aisyah. Ini terjadi beberapa waktu setelah Siti Khadijah binti Khuwailid RA berpulang ke rahmatullah, serta sebelum momen hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Yastrib (Madinah). Suatu ketika, Khaulah binti Hakim as-Sulamiyah menanyakan kepada beliau, apakah hendak menikah lagi setelah ditinggal wafat Khadijah. Kepergian Khadijah memang menyisakan duka amat dalam pada relung hati Rasulullah SAW. Beliau mencintainya. Dialah yang pertama membenarkan kenabian beliau. Dialah yang selalu setia mendampingi dan menguatkan beliau. Tahun wafatnya dikenang sebagai Tahun Dukacita.

Khaulah lantas menyebutkan nama 'Aisyah binti Abu Bakar kepada Rasulullah SAW. Mendengar nama putri sahabatnya itu disebut, Rasulullah SAW terdiam. Ini diisyaratkan sebagai tanda persetujuan. Melalui sahabat Nabi SAW dari kalangan perempuan ini, proses pinangan pun dilakukan.

Beberapa hari kemudian, Khaulah bertamu ke rumah Abu Bakar. Di sana, ia mendapati ibunda 'Aisyah, Ummu Rumman. "Wahai Ummu Rumman, apakah gerangan kebaikan dan berkah yang Allah masukkan ke dalam keluarga kalian! Rasulullah SAW mengutusku untuk meminang 'Aisyah untuk beliau," kata Khaulah.

"Apakah dia pantas untuk beliau? Dia itu keponakan beliau," kata Abu Bakar.

Khaulah kemudian mohon diri, lalu kembali menemui Rasulullah SAW. Tanggapan dari Abu Bakar dan istrinya pun disampaikannya kepada beliau.

"Kembalilah kepadanya dan katakan, 'Engkau saudaraku dalam Islam, dan aku saudaramu. Putrimu pantas untukku,'" tutur Nabi SAW.

Khaulah lantas menemui Abu Bakar lagi. Sahabat bergelar ash-Shiddiq ini berkata, "Tunggulah aku sampai aku kembali."

"Muth'im bin Adi pernah menyebut nama 'Aisyah untuk dinikahkan dengan anaknya, Jubair. Demi Allah, Abu Bakar tidak pernah menyalahi janjinya," ujar Ummu Ruman menerangkan.

Di rumah Muth'im, ternyata Abu Bakar disambut dengan nada kurang menyenangkan. Sebab, keluarga itu takut bila nanti Jubair menikah dengan 'Aisyah, putra mereka itu akan dipengaruhi agar meninggalkan agama nenek moyang. Ya, Muth'im saat itu dan hingga meninggalnya dalam keadaan musyrik.

Abu Bakar tidak membalas perkataan tuan rumah. Ia hanya merasa lega. Sebab, kini sudah terlepas dari janji yang pernah ia ucapkan.

Sesampainya di rumah, Abu Bakar berkata kepada Khaulah, "Tolong panggilkan Rasulullah SAW kemari."

Pinangan pun berlangsung baik. Abu Bakar kemudian menikahkan Nabi SAW dengan 'Aisyah yang saat itu berusia enam atau tujuh tahun. Maharnya ialah perabotan rumah tangga senilai kira-kira 50 dirham.

Sejak saat itu, hubungan yang lebih erat dengan Bani Taim, kaum asalnya Abu Bakar, pun terjalin. Bani Taim terkenal di seantero Hijaz sebagai suku yang dermawan, terpercaya, pemberani, dan bijaksana. Alhasil, ini memperkuat positioning Rasulullah SAW, terutama setelah ditinggal wafat Khadijah dan Abu Thalib.

 
Status Rasulullah SAW yang kini sebagai menantu kian memperkuat hubungannya dengan Abu Bakar.
 
 

Abu Bakar sendiri merupakan tokoh penting. Dialah orang Quraisy yang paling tahu tentang nasab Quraisy. Sebagai pedagang, ia dikenal amat jujur dan piawai. Banyak kaum Quraisy yang menjadikannya kawan karib, baik lantaran ilmu, pengalaman, maupun akhlaknya.

Abu Bakar sudah bersahabat dengan Nabi Muhammad SAW bahkan sebelum sosok bergelar al-Musthafa itu diangkat menjadi utusan Allah. Dan, Abu Bakar menjadi yang mula-mula memeluk Islam. Di manapun berada, ia selalu mendukung dan melindungi dakwah agama ini. Betapa banyak kaum Muslim, terutama dari golongan miskin, yang dibantunya. Ia pun menyiarkan Islam kepada rekan-rekannya. Di antara para sahabat yang masuk Islam karena usaha Abu Bakar adalah Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa'ad bin Abi Waqqash, serta Thalhah bin Ubaidillah.

Nabi SAW mengagumi sahabatnya itu. "Tidaklah aku mengajak seorang pun menuju Islam melainkan ia pasti berpikir panjang dan ragu-ragu, kecuali Abu Bakar bin Abu Quhafah. Ia tak berpikir panjang ketika aku menyebutkan Islam kepadanya, dan ia tidak ragu," kenang Rasulullah SAW.

Maka, status Rasulullah SAW yang kini sebagai menantu kian memperkuat hubungannya dengan Abu Bakar.

 

Berumah tangga

Rasulullah SAW hijrah ke Madinah dengan ditemani Abu Bakar ash-Shiddiq. Sesudah mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar, Nabi SAW dapat meneguhkan dakwah Islam dengan lebih baik.

Sementara itu, Abu Bakar kemudian berbicara dengan Nabi SAW. Ia meminta agar pernikahan beliau yang sudah terjalin dengan 'Aisyah sejak tiga tahun silam di Makkah dapat terus dilangsungkan. Rasulullah SAW menyambut baik keinginan sahabatnya itu. Apalagi, beliau telah mempersiapkan rumah untuk tempat tinggal 'Aisyah. Waktu itu, Abu Bakar tinggal di perkampungan Bani Khazraj di Madinah. Putrinya tercinta pun masih menetap di sana.

Sesudah dikunjungi Nabi SAW, maka sejak saat itu 'Aisyah dibawa ke rumah yang telah dipersiapkan suaminya itu. Seperti dijelaskan Prof Aisyah Abdurrahman dalam Biografi Istri dan Putri Nabi SAW, rumah itu hanyalah berupa bilik kecil yang dibangun tepat di samping masjid. Temboknya terbuat dari batu bata dan pelepah kurma. Di dalamnya, terdapat kasur dari kulit hewan yang diisi serabut. Tak ada alas apa pun selain tikar. Di depan pintu kamar, terdapat tirai dari bulu-bulu hewan yang telah disamak.

Ya, di rumah sederhana itulah Sayyidah 'Aisyah memulai kehidupan barunya sebagai seorang istri Nabi SAW. Sejak di tempat itulah, posisinya dalam sejarah Islam semakin terpandang. Ia bukan lagi seorang gadis kecil yang hanya menghabiskan waktu dengan bermain. Ia kini tumbuh besar menjadi seorang wanita muda yang matang dan berpengalaman. Kecerdasannya kian tampak. Para Muslimah kerap datang kepadanya untuk menanyakan suatu persoalan berkaitan dengan hukum Islam. 'Aisyah pun dapat menjawabnya dengan lugas dan bernas.

photo
Masjid Nabawi pada suatu hari. 'Aisyah binti Abu Bakar menemani Rasulullah SAW di Madinah.- (DOK Pxhere)

 

Sang Humairah yang Cerdas

'Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq masih berusia belia saat menikah dengan Rasulullah Muhammad SAW. Kalangan orientalis yang tendensius terhadap Islam kerap menjadikan pernikahan tersebut sebagai perkara untuk memojokkan Nabi SAW. Padahal, pernikahan itu sah dan pantas adanya. 'Aisyah sudah berusia baligh (dewasa) saat berumah tangga. Hubungan itu pun terjalin dengan tujuan yang lebih dari sekadar hubungan antara dua insan. Sebab, ada visi lain yang tak kalah penting, yaitu dakwah Islam.

Sejarah membuktikan, 'Aisyah merupakan seorang yang cerdas. Perempuan yang dijuluki Humaira (pipi kemerah-merahan) oleh Rasulullah SAW itu selalu berpikir kritis dan analitis dalam melihat suatu peristiwa. Ilmu hadis pun bisa dikatakan berutang banyak pada istri ketiga Nabi SAW tersebut.

Ini, misalnya, terlihat jelas dalam kasus hadis berikut. Suatu ketika, Abu Hurairah menanyakan kepada 'Aisyah perihal hadis yang menyebutkan, "Shalat seseorang bisa batal karena tidak adanya pembatas yang menghalang orang dari melintas (di depan orang shalat itu), disebabkan melintasnya perempuan, himar, dan anjing hitam."

 
Istri Rasulullah SAW itu selalu berpikir kritis dan analitis dalam melihat suatu peristiwa.
 
 

Sanad hadis ini juga diperoleh dari sahabat Nabi SAW lainnya, semisal Abu Dzar al-Ghifari. Mendengar keterangan itu, 'Aisyah lantas menyampaikan pendapatnya, berdasarkan pengalamannya serumah dengan Nabi SAW.

Ia berkata, "Demi Allah, aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sedang shalat, sementara aku sedang tiduran telentang di atas tikar, kakiku berada di antara beliau dan kiblat. Timbul niat dariku untuk tidak duduk yang mana bisa mengganggu shalat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Maka, aku membiarkan kakiku terjulur di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Di sini, 'Aisyah hendak menegaskan pandangannya kepada sahabat Nabi SAW itu. Seseorang hendaknya mengkaji terlebih dahulu seluruh keterangan yang ada sebelum dapat menyimpulkan suatu hukum. Dalam kasus ini, 'Aisyah tak setuju pada anggapan shalat seseorang batal bila ada orang melintas di depannya. Buktinya, lanjut sang Humaira, Nabi SAW tetap meneruskan shalatnya meskipun kaki 'Aisyah melintang di hadapan beliau.

Kisah di atas hanyalah satu dari rupa-rupa kontribusi 'Aisyah bagi ilmu hadis. Perempuan mulia itu memang berperan penting dalam menyampaikan risalah Nabi SAW. Sebab utamanya, tentu, lantaran ia tinggal serumah dengan Rasulullah SAW dan rumahnya pun bersisian dengan Masjid Nabawi. Namun, kedekatan itu tak mungkin berarti apa-apa bila tak ditunjang kecerdasan dari sang perempuan itu sendiri.

Sesudah wafatnya Rasulullah SAW, di Madinah dan Makkah marak bermunculan majelis-majelis keilmuan. Ada yang diselenggarakan para sahabat dari kalangan pria, semisal Abu Hurairah, Ibnu Abbas, atau Zaid bin Tsabit. Bagaimanapun, majelis ilmu yang bisa dibilang paling besar ialah yang diadakan Siti 'Aisyah RA. Bahkan, dialah yang menjadi poros utama dalam transmisi keilmuan Islam pada fase sahabat dan tabiin.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat