Prof Dudung Abdurahman UIN Ciputat | DOK Istimewa

Hiwar

Prof Dudung Abdurahman: Jihad Akbar Ramadhan Kini

Ramadhan inilah kesempatan untuk mewujudkan kesalehan sosial.

 

 

Sejarah mencatat, Perang Badar terjadi pada 17 Ramadhan tahun kedua Hijriah. Tanggal itu bertepatan dengan hari Ahad (10/5/2020) ini sehingga tepat untuk merenungkan kembali makna jihad. Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Dudung Abdurahman menjelaskan hadis terkait jihad. Suatu kali, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Kalian telah pulang dari suatu jihad kecil menuju jihad besar." Sahabat pun bertanya, "Apakah jihad yang lebih besar itu, wahai Rasulullah?" Jawab beliau, "Jihad melawan hawa nafsu."

Secara sanad, hadis itu dihukumi lemah, tetapi makna atau substansinya sahih. Menurut guru besar bidang sejarah Islam itu, umat Islam di Tanah Air dapat terus berjihad saat Ramadhan kini meskipun tidak dalam situasi perang. Sebab, jihad setiap insan ialah melawan hawa nafsu. Apalagi, saat ini pandemi Covid-19 masih berlangsung.

Berikut wawancara lengkap wartawan Republika, Muhyiddin, dengan Prof Dudung Abdurahman baru-baru ini.

 

Tanggal 17 Ramadhan terbilang istimewa. Bagaimana menurut Anda?

Ini sangat menarik. Pertama, saya katakan bahwa 17 Ramadhan populer dalam sejarah sebagai hari diturunkannya Alquran. Inilah Nuzulul Qur'an. Nah, dalam sejarahnya, itu juga terjadi Perang Badar, tepatnya pada tahun kedua sesudah hijrahnya Rasulullah SAW. Inilah //ghazwah// pertama dalam sejarah Islam. Dan, alhamdulillah, berkat pertolongan Allah SWT kaum Muslimin meraih kemenangan.

Saya ingin melihat pemaknaannya 17 Ramadhan dari dua segi. Pertama, bahwa Alquran diturunkan kepada kita umat manusia sebagai pedoman hidup. Di dalam Kitabullah itu berisi petunjuk dan peringatan-peringatan, serta ajaran yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Itu bisa juga kita maknai sebagai amanat Allah SWT kepada kita manusia. 

Oleh karena itu, dalam konteks pandemi Covid-19 seperti saat ini, kita seharusnya lebih dekat dengan Alquran. Kita berusaha untuk menjadikan Alquran sebagai bahan muhasabah atau introspeksi diri bersama. Misalnya, dalam Alquran dinyatakan bahwa Allah SWT memberikan musibah kepada manusia untuk menguji keimanannya.

Nah, hubungan antara musibah Covid-19 dan Nuzulul Quran, saya kira, Alquran itu memberikan peringatan kepada kita. Hendaknya kita bermuhasabah dengan Alquran atas kejadian wabah ini. Implikasi dari muhasabah tadi, kita selalu terus berupaya memperbaiki diri, mendekatkan diri kepada Allah, memperbaiki akhlak, dan sebagainya.

Apa saja pemaknaan jihad bila mengambil inspirasi dari Ghazwatu Badr?

Perang Badar terjadi pada tanggal 17 bulan Ramadhan. Perang di sini identik dengan jihad pada masanya, yakni mengangkat senjata melawan musuh Allah. Namun, Ramadhan pun bisa dikatakan sebagai jihad. Bahkan, ini disebut sebagai jihad akbar. Kita ingat hadis tentang Nabi Muhammad SAW saat kembali dari ajang Perang Badar. Beliau bersabda kepada para sahabatnya, "Kita sekarang pulang dari suatu jihad kecil menuju jihad besar." Para sahabat pun bertanya, "Apakah yang disebut jihad akbar itu, wahai Rasulullah?" Lalu, Rasulullah SAW menjawab, "Jihad melawan hawa nafsu."

Dalam konteks ini, bulan suci Ramadhan merupakan jihad atau perjuangan yang besar. Sebab, di dalamnya kita berupaya mengadang hawa nafsu, bahkan terhadap hal-hal yang dibolehkan pada hari-hari biasa. Kita berusaha berjihad besar untuk melawan nafsu sehingga lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Dalam jihad akbar ini, kita juga memerangi sifat-sifat egoistis kita. Sifat-sifat yang mendatangkan perpecahan di tengah Muslimin. Dalam konteks pandemi saat ini, saya melihat ada yang sangat unik. Sebab, dalam suasana wabah malah muncul berbagai silang pendapat dan bahkan konflik-konflik, terutama di kalangan elite. Ini kalau kita lihat secara sepintas, ya nafsu-nafsu semua itu. Tidak mendorong pada kesadaran diri agar lebih bermuhasabah di hadapan Allah selama Ramadhan.

 

Jihad akbar yang disinggung dalam hadis tersebut dapat diaktualisasikan pada Ramadhan di tengah situasi pandemi?

Ini sangat tepat sekali. Ramadhan bila dimaknai secara lahiriah saja artinya meninggalkan makan, minum, serta hubungan biologis suami-istri. Akan tetapi, pada hakikatnya Ramadhan menuntut kita untuk mengadang atau menolak hawa nafsu.

Terkait dengan menghadapi Covid-19, tentu saja kita hendaknya mampu melakukan jihad besar yang memerangi hawa nafsu. Menangkal sifat-sifat egoistis yang timbul dari dalam diri kita. Ibadah puasa dapat menyokong kita untuk melakukannya. Dengan catatan, puasa itu betul-betul dilaksanakan secara khusyuk dan ikhlas. Berangkat dari hati nurani yang bersih.

Dengan berpuasa, kita insya Allah dapat membersihkan hati. Dengan sendirinya, kita bisa mengontrol ego diri yang didorong oleh hawa nafsu serta godaan setan. Inilah yang diharapkan bisa diamalkan oleh seseorang yang menjalankan ibadah puasa selama bulan suci Ramadhan.

 

Memerangi hawa nafsu tentunya berimplikasi pada masyarakat. Bagaimana menurut Anda?

Di bulan Ramadhan, puasa dan ibadah-ibadah lainnya jelas sekali untuk menuju kesalehan pribadi, khususnya di hadapan Allah SWT. Akan tetapi, selama Ramadhan pula kita dianjurkan untuk mengeluarkan zakat, baik zakat harta maupun zakat fitrah.

Zakat itu adalah salah satu wujud kepedulian sosial seorang Muslim, khususnya bagi mereka yang mampu. Ini menunjukkan adanya empati terhadap fakir miskin. Terlebih lagi dalam suasana wabah korona seperti saat ini. Jelas sekali kesalehan sosial itu perlu diwujudkan dalam berbagai upaya meringankan beban sesama.

Dan, secara nyata kita telah mendengar dan melihat kenyataan. Begitu banyak masyarakat yang kesulitan akibat wabah Covid-19 ini. Oleh karena itu, menurut saya, Ramadhan inilah kesempatan untuk mewujudkan kesalehan sosial dari segenap kaum Muslimin.

Ibadah-ibadah sosial sekaligus untuk mengimbangi dan menyempurnakan puasa Ramadhan kita. Dengan seikhlas mungkin, kita bersedekah apa-apa yang kita miliki untuk membantu saudara-saudara kita dalam keadaan sulit menghadapi tantangan Covid-19 ini.

 

Bagaimana Anda memaknai Ramadhan dalam situasi pandemi?

Sebagai sejarawan Islam, saya belum mendapatkan penjelasan tentang apakah pernah wabah terjadi pada bulan Ramadhan di zaman Nabi SAW atau para sahabat. Memang, disebutkan bahwa wabah thaun pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Namun, itu tidak jelas, apakah terjadi pada masa Ramadhan atau tidak.

Bagaimanapun, pelaksanaan ibadah-ibadah kala Ramadhan insya Allah tak berkurang karena pandemi ini. Dalam suasana wabah ini, kita dihadapkan pada tantangan eskatologis. Bagaimana puasa betul-betul dijadikan sebagai upaya untuk meningkatkan keimanan. Kedatangan wabah ini insya Allah adalah ujian dari-Nya. Oleh karena itu, kita sepatutnya merespons dengan keimanan yang kuat.

 
Masa Sahabat Menjalani Ramadhan
(Suara Prof Dudung Abdurahman)
 

Puasa Ramadhan adalah ibadah yang menyeimbangkan beberapa segi keislaman kita. Pertama, dari segi keimanan. Saya mencoba memahami ini tidak sebatas pengertian yang konvensional, tetapi juga bagaimana keimanan betul-betul dijadikan sebagai keadaan rohani.

Pengertian iman dipahami sebagai keadaan ruh. Dan, ruh adalah potensi utama dalam kehidupan. Seperti dalam surah As-Sajadah ayat sembilan. Dinyatakan bahwa Allah SWT menyempurnakan dan meniupkan ruh ke dalam tubuh (manusia). Allah menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati, tetapi sedikit sekali manusia bersyukur. Saya kira, puasa Ramadhan mendorong kita untuk memelihara ruh kita agar selalu mendorong pada perbuatan-perbuatan baik.

Segi berikutnya adalah aspek ihsan. Ini sesungguhnya manifestasi dari iman dan Islam kita. Ihsan ini mewujud dalam perilaku akhlak yang baik. Akhlak al-karimah sebagai mana dicontohkan Rasulullah SAW, yaitu sifat shiddiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Orang yang berpuasa hendaknya memancarkan keempat sifat itu dalam perilaku sehari-hari.

Musibah Covid-19 ini hendaknya jadi pengingat akan dosa-dosa kita. Sudah sepantasnya kita memperbanyak istighfar selama bulan Ramadhan. Insya Allah, dengan cara itu kita menuju pada kesucian diri --Idul Fitri.

photo
Menunaikan shalat malam meraih keutamaan Lailatul Qadar menjadi bagian dari jihad pada Ramadhan. - (Dok Antara M Risyal Hidayat)
 
 
Meraih Lailatul Qadar di Rumah Saja

Saat memasuki tanggal 17 Ramadhan, kaum Muslimin biasanya semakin meningkatkan amal ibadah. Sebab, tanggal itu dipercaya sebagai momen turunnya Alquran (Nuzulul Qur'an). Hal itu berdasarkan ijtihad alim ulama dalam menafsirkan surah al-Anfal ayat 41. Di dalamnya, Allah SWT menyebut Alquran turun pada Hari Furqan, yaitu hari bertemunya dua pasukan. Perang Badar diibaratkan sebagai al-furqan --pembeda-- karena memilah antara pasukan yang berjuang di jalan Allah dan kaum kafir (QS Ali Imran: 13). Pertempuran itu terjadi pada 17 Ramadhan tahun kedua Hijriah.

Bagaimanapun, tanggal 17 Ramadhan hanya garis start suatu upaya besar dalam meraih Lailatul Qadar. Surah al-Qadr ayat pertama menjelaskan keutamaannya. "Sesungguhnya, Kami telah menurunkannya (Alquran) pada Lailatul Qadar (Malam Kemuliaan)." Aisyah meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda, "Carilah Lailatul Qadar pada tanggal-tanggal ganjil dari 10 akhir bulan Ramadhan." Setiap Mukmin yang memahami besarnya nilai Malam Kemuliaan akan berupaya mendapatkannya. Sebab, malam itu lebih baik daripada seribu bulan. Artinya, nilai ibadah satu malam saja sepadan dengan 84 tahun.

Dalam 10 hari terakhir bulan suci Ramadhan, umat Islam biasanya kian sering melakukan iktikaf di masjid-masjid untuk meraih Lailatul Qadar. Hanya saja, kondisi saat ini membuat orang-orang tak dapat leluasa bergerak. Pandemi Covid-19 menjadikan di rumah saja sebagai pilihan terbaik. Menurut guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Dudung Abdurahman, wabah tidak akan mengubah makna pencarian malam Lailatul Qadar.

Dalam arti, di malam Lailatul Qadar kita berusaha untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. "Berusaha memperoleh ampunan-Nya. Bertobat di hadapan-Nya atas segala perbuatan dosa yang kita lakukan selama ini," ujar akademisi yang kini menapaki usia 57 tahun itu, pekan lalu.

Ia mengakui, selama ini, kaum Muslimin terbiasa beribadah dalam menyambut Lailatul Qadar di masjid. Bahkan, tak sedikit yang memboyong keluarganya untuk beriktikaf selama beberapa malam di akhir Ramadhan. Mereka terus melakukan berbagai amal ibadah untuk mengisi waktu, baik saat berpuasa maupun malam hingga subuh menjelang. Dudung mengatakan, esensi pencarian Lailatul Qadar tak akan berkurang dengan mengubah tempat atau lokasi ibadahnya.

Selama ini pengertiannya bahwa iktikaf di masjid, yakni dalam keadaan duduk dan berzikir. Padahal, di rumah saja juga bisa duduk dan berzikir. "Mungkin istilahnya kita ganti dengan istilah munajat atau tahanus di hadapan Allah SWT," ucap pakar ilmu sejarah ini.

Dengan begitu, substansi tak ditinggalkan. Dalam 10 hari terakhir bulan Ramadhan, amal ibadah dapat terus digiatkan. Pada saat yang sama, kaum Muslimin juga menghindari diri dari wabah virus korona. Alhasil, kesehatan terus dijaga, sementara pahala malam seribu bulan insya Allah dapat diraih.

Jelas sekali pada Lailatul Qadar itulah seseorang akan mendapatkan anugerah dari Allah SWT. Di situ, kita bermunajat, muhasabah, dan memperbanyak istighfar. "Insya Allah, pada malam 10 terakhir bulan Ramadhan kita bisa mendapatkan anugerah Allah itu!" kata dia.

Dudung menambahkan, momen sejak 17 Ramadhan hendaknya dimanfaatkan bersama dengan keluarga tercinta. Bersama-sama, seorang kepala keluarga mengajak istri dan anak-anaknya untuk menggiatkan ibadah. Tidak hanya puasa sejak fajar hingga maghrib. Shalat tarawih, tadarus Alquran, serta amalan-amalan sunah lainnya juga patut ditingkatkan. Intinya, lanjut dia, nuansa kekhusyukan ibadah tak boleh berkurang sekalipun lokasinya berubah: dari masjid menjadi rumah masing- masing.

 
Mengontrol Keegoisan
(Prof Dudung Abdurahman)
 

 

photo
Prof Dudung Abdurahman UIN Ciputat - (DOK Istimewa)

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat