Bunga tulip | DOK EPA

Dunia Islam

Latar Sejarah Era Tulip Kesultanan Utsmaniyah

Pemerintahan Sultan Ahmed III pada masa Kesultanan Utsmaniyah disebut sebagai Era Tulip

OLEH HASANUL RIZQA

Dengan membebaskan Konstantinopel pada 1453, Utsmaniyah menjadi kekuatan yang signifikan dalam pandangan Eropa. Sejak saat itu, kerajaan Islam tersebut terus melakukan ekspansi. Di bawah pemerintahan Sultan Suleiman I (1494-1566), negeri itu mencapai masa keemasan.

Wilayah kekuasaannya mencakup tiga benua sekaligus: Asia, Eropa, dan Afrika. Itu merentang dari Maroko, Mesir, Hijaz, sebagian Persia, hingga pesisir Laut Hitam, dan Semenanjung Balkan. Penguasaan atas tiga tanah suci --Makkah, Madinah, dan Yerusalem-- menjadikannya sebagai khilafah. Secara simbolis, Kekhalifahan Utsmaniyah kala itu memimpin umat Islam sedunia.

Namun, tanda-tanda kemunduran mengemuka pada pertengahan abad ke-16. Dalam artikelnya, Some Reflections on the Decline of the Ottoman Empire (1958), sejarawan Princeton University Bernard Lewis mengatakan, Utsmaniyah melemah sesudah dipimpin 10 sultan pertama --Osman I hingga Suleiman I. Di antara penyebab kelemahan itu adalah masalah kepemimpinan.

Para calon raja kurang berpengalaman memimpin sebelum naik tahta. Alhasil, mereka terlalu mengandalkan para penasihatnya yang terkadang hanya mementingkan urusan pribadi. Birokrasi juga tidak efektif karena banyak aparat membuat laporan sekadar untuk menyenangkan atasan.

 
Wilayah kekuasaannya mencakup tiga benua sekaligus: Asia, Eropa, dan Afrika. Itu merentang dari Maroko, Mesir, Hijaz, sebagian Persia, hingga pesisir Laut Hitam, dan Semenanjung Balkan.
 
 

Sementara itu, bangsa-bangsa Eropa mulai lihai menghindari rute perdagangan di Laut Tengah yang dimonopoli Utsmaniyah. Sebab, mereka telah menemukan jalur langsung ke Kepulauan Rempah-rempah (Maluku/Nusantara) via Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Bahkan, Portugis dan Spanyol --yang selanjutnya diikuti Inggris dan Prancis-- dapat mendirikan koloni di Benua Amerika.

Dari Dunia Baru itu, mereka meraup berbagai sumber kekayaan. Dengan fondasi ekonomi yang kuat, negeri-negeri Barat membangun kekuatan militer yang cakap. Tidak jarang Utsmaniyah kalah saat menghadapi mereka di berbagai pertempuran.

Pada 12 September 1683, kesultanan tersebut kalah dalam Perang Vienna. Inilah pertama kalinya Romawi Barat (Holy Roman Empire) dan kerajaan-kerajaan Kristen Eropa berkoalisi dalam menghadapi Turki. Meskipun sempat terkepung selama dua bulan, pasukan di bawah komando Raja John III Sobieski akhirnya dapat mengatasi tekanan militer Turki dan meraih kemenangan.

Bagi para sarjana Kristen abad itu, pertempuran ini menandakan titik balik penting dalam sejarah, di mana Turki Utsmaniyah tidak lagi menjadi ancaman bagi dunia Kristen. Sebelumnya, dua kekuatan itu --Utsmaniyah (Islam) dan Holy Roman Empire (Kristen)-- selalu terlibat dalam kontestasi kekuatan sepanjang 300 tahun berturut-turut.

Fakta itu diakui pula oleh para sejarawan Turki. Misalnya, Silahdar Findiklili Mehmed Agha (1658-1723) yang menggambarkan perang tersebut sebagai kekalahan telak bagi Kekhalifahan sejak terbentuk pada 1299. Perang Vienna diketahui merenggut nyawa lebih banyak prajurit Turki (sekitar 20 ribu orang) daripada pasukan Sobieski (15 ribu orang). Koalisi Kristen mendapatkan harta rampasan perang yang melimpah ruah. Raja Polandia itu menuturkan kesaksiannya dalam sebuah surat kepada permaisuri: "Inilah kemenangan yang tak terbayangkan sebelumnya. Musuh kita hancur sama sekali. Mereka kehilangan banyak dan lari terbirit-birit demi menyelamatkan nyawa."

photo
Pembebasan Konstantinopel pada 1453 - (DOK Wikipedia)
 

Sultan Mehmed IV (1642-1693) terpaksa menarik mundur pasukannya ke Hongaria. Namun, di sana koalisi militer yang diinisiasi Paus Innocent XI sudah menunggu. Pasukan Kristen ini pun dapat menghalau lawan hingga ke Balkan Selatan. Sekitar empat tahun kemudian, Perang Mohacs berlangsung. Utsmaniyah dikomandoi Perdana Menteri Sari Suleyman Pasha, sedangkan koalisi Kristen oleh Raja Charles V. Pada 12 Agustus 1687, balatentara Charles V yang telah bersekutu dengan Dinasti Habsburg dari Austria akhirnya memenangkan pertempuran.

Setelah itu, krisis terjadi di internal pasukan Utsmaniyah. Suleyman Pasha ketakutan akan pemberontakan para prajuritnya sendiri. Ia pun kabur ke Belgrade dan lalu Istanbul. Di Ibu Kota, Sultan Mehmed IV menghukum mati bekas jenderalnya itu. Namun, eksekusi itu tidak lantas mengubah keadaan. Sebab, militer Utsmaniyah terlanjur mengalami perpecahan. Puncaknya, persekongkolan terjadi untuk menjatuhkan sang sultan. Saudara lelaki Mehmed IV, Suleiman II, kemudian menggantikannya sebagai raja.

Mehmed IV sendiri sempat berstatus tahanan di Istana Topkapi sebelum diizinkan mengasingkan diri ke Edirne. Di sanalah bangsawan berjulukan Avci ('Sang Pemburu') itu mengembuskan nafas terakhir.

Sepanjang zaman Sultan Suleiman II (1642-1691) hingga Mustafa II (1644-1703), Turki terus menerus mengalami stagnansi. Mau tak mau, para petinggi Kesultanan mengakui keunggulan bangsa Eropa dalam berbagai bidang, terutama militer dan politik. Pengganti Sultan Mustafa II ialah Ahmed III (1673- 1736), yang juga salah seorang putra Sultan Mehmed IV. Ia meneruskan kebijakan pendahulunya terkait ekspansi militer di Semenanjung Balkan. Pada permulaan abad ke-17, Utsmaniyah terlibat konfrontasi dengan Republik Venesia dalam memperebutkan kendali atas Yunani. Walaupun sempat unggul, kesultanan akhirnya kalah di medan tempur Petrovaradin (1716). Sebab, Venesia bertambah kuat sejak berkoalisi dengan Dinasti Habsburg.

photo
Ilustrasi peperangan di era Kesultanan Utsmaniyah - (DOK Wikipedia)

 

Era baru

Pada awal pemerintahannya, Sultan Ahmed III mesti menghadapi tiga ajang pertempuran secara gradual, yakni Perang Venesia, Perang Austria-Turki, dan Perang Rusia- Turki. Kekuatan militer Utsmaniyah pun kian tergerus dan bahkan acapkali kalah. Sang Sultan memiliki seorang penasihat bernama Damat Ibrahim Pasha (1662-1730). Ia telah mengenal Ibrahim Pasha sebelum dirinya naik takhta. Sosok kelahiran Nevehir itu terkenal cerdas dan piawai dalam berdiplomasi. Begitu Ahmed III duduk sebagai raja, ia pun diberi jabatan sebagai perdana menteri (PM).

Ibrahim Pasha meyakini, angkatan bersenjata Utsmaniyah harus dilatih dengan cara-cara Barat. Oleh karena itu, ia mendukung inisiatif damai antara kekhalifahan dan negeri-negeri Eropa Kristen. Dalam membendung kekuatan Austria dan Rusia, misalnya, ia menyarankan agar Turki menjalin kerja sama dengan Prancis. Dalam suratnya kepada duta besar Prancis, sang perdana menteri berkata, "Dua imperium ini (Prancis dan Utsmaniyah) bila bersatu dapat menentukan arah sejarah dunia.

 
Dua imperium ini (Prancis dan Utsmaniyah) bila bersatu dapat menentukan arah sejarah dunia.
IBRAHIM PASHA
 

Terkait urusan luar negeri, PM Ibrahim Pasha selalu tertarik untuk mengamati bangsa-bangsa Eropa dari dekat. Dalam arti, ia sering bertemu dan berdiskusi dengan para duta besar Inggris, Belanda, dan Prancis di Istanbul. Demikian pula, ia kerap meminta para duta besar Turki di luar negeri untuk memantau seksama perkembangan negara setempat. Inilah yang membedakannya daripada para pendahulunya. Sebab, mereka cenderung bersikap masa bodoh terhadap Barat.

Sebelum era Sultan Ahmed III, pekerjaan para duta besar di negeri-negeri asing cenderung seremonial belaka: menerima dan mengirimkan surat kerajaan, menghadiri upacara kenegaraan setempat, atau mengonfirmasi berita perjanjian. Kini, Ibrahim Pasha dengan restu Sultan Ahmed III mendorong mereka agar bekerja lebih detail lagi --terutama para duta besar di Paris dan Vienna. Tujuannya supaya situasi dan kondisi setempat dapat terus terpantau. Dengan demikian, hubungan diplomatik antara Istanbul dan masing-masing negara dapat terjalin saling menguntungkan.

Ibrahim Pasha merancang berbagai kebijakan politik dalam dan luar negeri Turki untuk sultan selama 13 tahun. Sultan Ahmed III sendiri selalu mempercayakan urusan pemerintahan kepada sang perdana menteri. Untuk menjaga stabilitas politik, sang grand vezir itu menunjuk sanak familinya untuk mengisi pos-pos penting. Sejarawan Turki Ahmet Refik (1881-1937) menamakan periode kepemimpinan Sultan Ahmed III --dengan pengaruh langsung perdana menterinya itu-- sebagai Era Tulip.

 
Penanda tulip juga merepresentasikan relatif damainya hubungan Turki dengan negeri-negeri Eropa.
 
 

Di satu sisi, penamaan tulip dipilih untuk mengenang, betapa para elite Turki masa itu sangat menggemari tanaman bunga nan cantik tersebut. Berbagai fasilitas publik di Istanbul turut diperindah dengan taman-taman bunga tulip. Kaum aristokrat juga tampak menggilai pembibitan tanaman itu.

Di sisi lain, penanda tulip juga merepresentasikan relatif damainya hubungan Turki dengan negeri-negeri Eropa. Dalam periode belasan tahun itu, Utsmaniyah cenderung berada dalam kedamaian-- terutama pasca-Perjanjian Passarowitz pada 21 Juli 1718 yang mengakhiri perang antara Turki dan koalisi Venesia-Habsburg.

photo
Ilustrasi suasana di masa Sultan Ahmed III - (DOK Wikipedia)

 

Dari Timur ke Barat

Sultan Ahmed III memiliki corak sendiri dalam memimpin Kesultanan Utsmaniyah. Tak seperti para raja sebelumnya, ia mengubah orientasi dan fokus perhatian Turki dari Asia (Timur) ke Eropa (Barat). Sebab, berbagai pengalaman dalam 100 tahun terakhir membuktikan keunggulan Barat atas Timur. Melalui tangan perdana menterinya, Ibrahim Pasha, ia membuka dan menjalin relasi diplomatis yang erat dengan sejumlah kerajaan Eropa. Alih-alih berupaya menemukan kelemahan, sang sultan lebih tertarik mempelajari faktor-faktor yang membuat Eropa lebih maju.

Masa pemerintahan Sultan Ahmed III (1718-1730) disebut sebagai Era Tulip (Lale Devri). Istilah ini diberikan sejarawan Turki abad ke-20, Ahmet Refik. Penamaan ini menunjukkan adanya renaisans budaya Utsmaniyah atau kemunculan gaya seni neoklasik dalam periode tersebut. Bagaimanapun, tak semua kalangan ahli sejarah setuju. Sebab, ada pula yang berpendapat, Era Tulip justru menandakan kemunduran lebih jauh Kekhalifahan.

Kahraman Sakul dalam Encyclopedia of the Ottoman Empire (2008) menjelaskan, Sultan Ahmed III membangun banyak fasilitas publik yang meniru tata ruang kota-kota di Eropa Barat --terutama Prancis. Terinspirasi dari Istana Versailles di Prancis, ia pun mendirikan berbagai kolam air mancur, taman bunga, taman bermain, istana, paviliun, dan ruang terbuka hijau di Istanbul. Khusus pembangunan istana dan taman-taman kota, rancangannya didatangkan langsung dari negeri tersebut oleh duta besar Turki untuk Paris, Yirmisekiz Celebizade Mehmed Efendi. Sebelumnya, Sultan Ahmed III sendiri telah menugaskan Efendi untuk memantau dan melaporkan perkembangan seni dan budaya di Prancis kepadanya.

 
Sultan Ahmed III membangun banyak fasilitas publik yang meniru tata ruang kota-kota di Eropa Barat.
 
 

Ada lebih dari 120 istana yang dibangun pada era pemerintahan Ahmed III. Pada sekeliling istana itu, terdapat taman bunga tulip yang indah dan terawat. Lebih lanjut, sang sultan bersama dengan grand vizier-nya, Ibrahim Pasha, mencoba mengikuti tradisi yang dikembangkan terlebih dahulu oleh Raja Prancis Louis XIV. Yakni, kompetisi merawat bunga tulip dan penyelenggaraan festival tulip.

Kegiatan-kegiatan semacam ini menumbuhkan gaya hidup baru di lingkungan sosialita Utsmaniyah. Para bangsawan mulai menggandrungi berbagai fashion dan produk teknologi yang dihasilkan Barat. Arus konsumsi barang-barang impor pun melonjak. Semakin banyak pedagang dari luar negeri --utamanya Prancis-- yang membuka gerai di Istanbul. Life style demikian juga menjadikan kaum perempuan lebih sering terlihat di ruang-ruang publik Turki. Keadaan ini jauh berbeda daripada masa-masa sebelumnya.

 

Bagaimanapun, menurut Sakul, Era Tulip tak bisa disamakan dengan westernisasi. Sebab, Sultan Ahmed III masih berkutat pada pengembangan khazanah budaya Islam. Ia sendiri piawai dalam menggubah syair dan menulis kaligrafi. Putra Mehmed IV itu juga mendirikan lima perpustakaan untuk memajukan peradaban Islam, termasuk perpustakaan besar di Istana Topkapi. Sebagai pemimpin yang cinta ilmu pengetahuan, ia melarang ekspor manuskrip-manuskrip langka serta mendorong kegiatan penerjemahan teks-teks kuno bahasa Arab dan Persia.

Intinya, sang sultan hanya berupaya mengambil pelbagai produk kemajuan Barat untuk kemudian diterapkan di negerinya sendiri tanpa harus kehilangan identitas peradaban Islam. Kecenderungan yang sama juga dilakukan sang perdana menteri, Ibrahim Pasha. Bersama dengan istrinya, ia membuka sebuah madrasah yang mengajarkan bahasa Persia dan tasawuf. Dua bidang itu cukup lama diabaikan dalam sistem pendidikan para sultan sebelum Ahmed III.

 
Sultan Ahmed III hanya mengambil kemajuan Barat untuk diterapkan di negerinya tanpa kehilangan identitas peradaban Islam.
KAHRAMAN SAKUL
 

Akan tetapi, situasi damai dan tenteram tak bertahan lama. Utsmaniyah terus-menerus diserang dari Timur, utamanya oleh Kerajaan Savavid (Iran). Selain itu, tak sedikit pula kalangan istana yang gerah akan nepotisme yang dijalankan PM Ibrahim Pasha. Semua ini lantas membuka peluang munculnya pemberontakan, khususnya Gerakan Patrona Halil pada 1730. Berakhirnya kekuasaan Sultan Ahmed III juga ikut menenggelamkan Era Tulip dalam sejarah Turki Utsmaniyah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat