Jaringan dunia maya | Pixabay

Inovasi

Wajah Ranah Maya Indonesia

Kontrol pemerintah atas internet semakin ketat.

Banyak orang yang kini makin melibatkan media sosial (medsos) dalam keseharian mereka. Entah sekadar untuk mengunggah kegiatan sehari-hari, media untuk berjualan, hingga sebagai pembentuk identitas diri.

Pada 2019 yang merupakan tahun pemilu, keriuhan juga terasa begitu nyata di jagat maya. Tim Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI) pun melakukan penelitian lanjutan mengenai intoleransi dan ujaran kebencian terkait isu identitas, termasuk agama dan etnis, yang mudah ditemukan di media sosial.

Peneliti PMB-LIPI, Ibnu Nadzir, yang mewakili tim dalam acara Seminar Nasional Media Sosial dan Tantangan Indonesia di Masa Depan, beberapa waktu lalu, di Jakarta, mengungkapkan, penggunaan internet bukan baru terjadi pada saat masyarakat memiliki media sosial, seperti Twitter, Instagram, dan sejenisnya.Kajian awal penggunaan internet, ia mengungkapkan, sudah ada di Indonesia sejak awal masa reformasi, terutama pada saat terjadi konflik di Maluku.

Saat itu, sudah ada organisasi kelompok Kristen dan Islam yang sama-sama menggunakan internet sebagai platform untuk memobilisasi isu identitas. Termasuk pula membuat polarisasi bahwa kelompok dari organisasi berbeda adalah kelompok jahat sehingga harus dimusuhi dan diperangi.

Sebagian besar pengguna internet di Indonesia kini telah menggunakan media sosial. Karena itu, Ibnu menjelaskan, media sosial menjadi sangat relevan sebagai platform untuk menuangkan gagasan, seperti isu politik, kehidupan sehari-hari, berbelanja, dan berbagai hal lainnya. "Termasuk juga di Indonesia saya kira banyak digunakan oleh politisi untuk menggerakkan wacana politik," ujar Ibnu.

Tim peneliti PMB-LIPI mengambil 107.959 cicitan yang diambil dari periode 14 April hingga 20 April 2019, mencakup masa pemilihan presiden. Ada tujuh kata kunci, yakni Islam, kafir, Cina, HAM, modal asing, dan kerja asing. Kata kunci tersebut menjadi isu yang cukup relevan pada masa pemilihan dan cukup terbagi antara yang menggunakan isu identitas dan isu di luar identitas atau isu keadilan sosial.

Selanjutnya, ia memaparkan proses kerja yang dilakukan saat penelitian. Mereka mengambil cicitan-cicitan yang mengandung kata kunci yang dilontarkan di Twitter. Salah satu kata kunci itu akan terserap dan dilakukan beberapa proses pembersihan sekitar 30 ribu cicitan yang kemudian diproses menjadi tiga hal, yakni semantic network, topic modeling, dan social network analysis.

Tim sudah menduga kata kunci 'Islam' menjadi paling dominan sepanjang proses pemilihan. Kemudian, kata kunci 'HAM' pada hari pertama sebenarnya sangat rendah atau hanya berkisar sekitar 2.000 cicitan. Namun, pada hari kedua, kata kunci tersebut tiba-tiba naik hampir mendekati 8.000 cicitan. Ini tepat pada momen ketika film dokumenter Sexy Killer diluncurkan sehingga orang mulai mendiskusikan isu lain, di luar isu keagamaan.

Sedangkan, kata kunci 'Cina' sendiri sebenarnya sangat keras di awal. Menjelang pemilihan presiden kala itu digelar, intensitas isu ini semakin menurun. Tim peneliti PMB-LIPI tidak secara khusus mencari kata kunci 'Jokowi dan Prabowo' karena memang tidak berusaha memetakan polarisasi di antara dua periode. Sebab, isu-isu tersebut memang tidak dapat dielakkan dari konteks pemilihan presiden. Termasuk juga, bagaimana sebenarnya mobilisasi isu etnis dan agama sekarang sangat erat terkait dengan momen elektoral.

Kontrol yang makin ketat

Dunia internet di Tanah Air, sepanjang 2019 tak diwarnai kegiatan politik semata. Ada berbagai dinamika yang terjadi pada sepanjang tahun dan mencerminkan hubungan baru antara pemerintah yang mengatur kegiatan warganya di ranah digital.

Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto, mengatakan, tahun politik ikut memengaruhi dinamika dunia digital. Dengan pertumbuhan pengguna internet mencapai sekitar 143,26 juta atau 54,68 persen dari total populasi Indonesia, kontrol pemerintah atas internet menjadi semakin ketat.

Sebelum tahun-tahun politik, kontrol ini telah terjadi dalam situs website dan media sosial melalui berbagai tindakan memblokir dan menyensor. Terutama, terhadap lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseks (LGBTI) serta kelompok aktivis Papua.

Sekitar 72,41 persen pengguna internet di Indonesia, kini berada di daerah perkotaan. Warga di Pulau Jawa yang terpapar internet sebanyak 57,70 persen, sedangkan yang terendah Bali-Nusa Tenggara sebanyak 5,63 persen dan Maluku- Papua sebesar 2,49 persen.

 
Dalam tiga peristiwa yang terjadi pada 2019, pemadaman internet digunakan sebagai cara baru bagi pemerintah untuk mengendalikan informasi, membatasi akses informasi, dan menyensor internet.
DAMAR JUNIARTO, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
 

Kriminalisasi pun semakin memburuk dengan penggunaan UU ITE. Meskipun peraturan itu sudah direvisi pada 2016, jumlah orang yang telah diselidiki oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Kepolisian Nasional meningkat tahun demi tahun.

Sejak 2017-2019, total 6.895 orang sudah diselidiki oleh polisi dengan perincian 38 persen (2.623)terkait dengan penghinaan terhadap tokoh atau penguasa atau lembaga publik, 20 persen (1.397) terkait penyebaran penipuan, 12 persen (840) terkait dengan pidato kebencian, sisanya atas tindakan lain.

Beberapa penyelidikan kepolisian pun akhirnya berlanjut ke pengadilan. Menurut databaseMahkamah Agung dari 2008-2018, ada 525 kasus hukum terkait UU ITE. Jumlah kasus yang terjadi pada 2019 meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Sekitar 24 persen di antaranya terkait kasus pencemaran nama baik, sementara 22 persen terkait kasus penistaan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat