Suasana kegiatan Rembuk Energi dan Hilirisasi 2025 di Pos Bloc, Jakarta, Rabu (10/12/2025). | Prayogi/Republika

Ekonomi

Hilirisasi Dorong Pemerataan Investasi  

Indonesia masih menghadapi tantangan ketahanan energi.

JAKARTA — Wakil Koordinator Bidang Pengembangan Model Bisnis Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional Sekreatriat Satgas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi, Imaduddin Abdullah, menegaskan hilirisasi menjadi penggerak investasi nasional yang mendorong pemerataan pembangunan. Ia menekankan, keberhasilan hilirisasi mengubah wajah peta investasi, yang tidak lagi terpusat di Jawa, tetapi merata ke provinsi lain.

Imaduddin menjelaskan, penguatan industri hilir tidak hanya meningkatkan nilai tambah sumber daya alam, tetapi juga menumbuhkan lapangan kerja baru yang signifikan. Dengan strategi ini, Indonesia berpotensi mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 6–7 persen sehingga menuju status negara berpendapatan tinggi pada 2045.

“Dengan adanya hilirisasi, sekarang nomor empat terbesar dalam penerimaan investasi adalah Maluku Utara, dan nomor dua Sulawesi Tengah,” ujar Imaduddin dalam Rembuk Energi dan Hilirisasi 2025 di Jakarta, Rabu (10/12/2025).

Ia memaparkan, pengalaman sukses hilirisasi nikel menjadi contoh bagaimana produk turunan logam mampu meningkatkan ekspor dan menarik investasi ke wilayah-wilayah yang sebelumnya kurang terjamah. Dampaknya, industri tidak lagi terkonsentrasi di Jawa, tetapi tersebar ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku, sehingga manfaat ekonomi dapat dirasakan lebih luas.

Imaduddin menambahkan, Satgas Hilirisasi telah mengidentifikasi 18 proyek prioritas dengan nilai investasi besar yang diperkirakan mampu menyerap hampir 300.000 tenaga kerja. Proyek ini mencakup pengembangan baterai untuk kendaraan listrik hingga kebutuhan nelayan yang kini bisa memanfaatkan energi bersih.

photo
Suasana kegiatan Rembuk Energi dan Hilirisasi 2025 di Pos Bloc, Jakarta, Rabu (10/12/2025). - (Prayogi/Republika)

Strategi hilirisasi, menurut Imaduddin, juga menciptakan National Champion—perusahaan lokal yang menjadi motor penggerak industri dan ekspor, mengikuti jejak negara-negara maju seperti Korea Selatan, Jepang, dan Cina. Peran negara hadir dalam koordinasi kebijakan lintas kementerian menjadi kunci untuk menghilangkan ego sektoral dan memastikan hilirisasi berlangsung inklusif.

Dengan pendekatan ini, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan distribusi investasi yang merata. Imaduddin menegaskan, hilirisasi bukan sekadar menambah nilai sumber daya alam, tetapi juga menjadi alat pemerataan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh Indonesia.

Tantangan ketahanan energi

Saat ini, Indonesia masih menghadapi tantangan ketahanan energi di tengah konsumsi energi fosil yang masih menjadi tumpuan utama berbagai sektor kehidupan. Senior Director Oil, Gas, Petrochemical Danantara Indonesia Wiko Migantoro mengatakan pentingnya memahami karakter energi yang digunakan masyarakat saat ini. 

"Ada dua macam energi yakni energi berbasis fosil seperti migas dan batubara serta energi nonfosil yang berasal dari air, angin, hingga nabati," ujar Wiko.

Mantan Wakil Direktur Utama Pertamina itu menjelaskan kedua jenis energi tersebut memiliki karakteristik berbeda sehingga berdampak pada strategi pengelolaannya. Energi fosil, kata dia, memiliki keterbatasan karena tidak dapat diperbarui. 

"Perbedaannya, energi fosil bisa habis dan tidak bisa diperbarui, sementara energi nonfosil masih bisa diperbarui kembali," ucapnya.

Menurut Wiko, perkembangan teknologi sejak era industrialisasi membuat penggunaan energi fosil semakin meluas. Wiko mengatakan penggunaan energi berbasis minyak pun meningkat pesat dibandingkan sumber energi alternatif.

"Dengan perkembangan teknologi, pemakaian energi fosil khususnya minyak itu lebih banyak pemakaiannya dibandingkan dengan yang nonfosil," sambung Wiko.

Di Indonesia, lanjut Wiko, penggunaan energi primer berbasis migas telah mencapai tingkat yang sangat tinggi. Wiko menyebut sektor industri dan transportasi menjadi konsumen utama bahan bakar tersebut. 

"Konsumsi energi primer berbasis migas di Indonesia mencapai 1,7 juta barel per hari," lanjut Wiko. 

Namun, tingginya konsumsi itu tidak sebanding dengan produksi minyak nasional yang terus menurun dari tahun ke tahun. Wiko mengatakan Indonesia masih harus menutupi kekurangan pasokan dengan impor. 

"Produksi minyak nasional hanya sekitar 580 ribu barel per hari sehingga kita harus melakukan impor minyak mentah dari luar negeri," ucap dia. 

Wiko memaparkan kapasitas kilang yang mencapai 1,1 juta barel per hari pun belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pemerintah tetap membutuhkan pasokan minyak tambahan dari berbagai negara. 

"Negara kita memang memiliki kilang berkapasitas sekitar 1,1 juta barel per hari, tetapi untuk memasoknya kita tetap harus mengimpor minyak," lanjut Wiko. 

Menurut Wiko, kondisi tersebut juga terjadi pada kebutuhan LPG yang meningkat dengan cepat. Wiko menyampaikan tingginya konsumsi mengharuskan pemerintah mempertahankan impor dalam jumlah besar. 

Transisi energi tak bisa instan

Direktur Eksekutif Center for Energy Policy M Kholid Syeirazi menyebut transisi energi memerlukan proses bertahap yang tidak bisa dilakukan secara instan. Ia menegaskan dominasi energi fosil selama tiga abad membuat pengurangan drastis dalam waktu singkat tidak realistis.

Kholid menyampaikan berbagai lembaga kredibel dunia masih memproyeksikan bauran energi fosil berada di kisaran 60 persen sampai tahun 2060. Ia menilai kondisi tersebut menunjukkan negara tetap membutuhkan energi konvensional meskipun agenda Net Zero Emission terus didorong.

“Sampai tahun 2060 bauran bahan bakar fosil itu masih sekitar 60-an persen. Belum bisa kita itu talak tiga terhadap bahan bakar fosil,” kata dia dalam acara Rembuk Energi dan Hilirisasi 2025, di Jakarta, Rabu (10/12/2025).

Kholid memerinci perhitungan historis yang menunjukkan bahan bakar fosil telah menguasai perekonomian global sejak revolusi industri. Ia menekankan relasi panjang itu tidak bisa digantikan dalam satu atau dua dekade. Menurutnya, setiap negara perlu menyusun transisi secara realistis dengan memperhitungkan aspek teknis, ekonomi, dan keamanan energi.

Ia mencontohkan perlunya penambahan kapasitas kilang untuk menjaga ketahanan pasokan dalam negeri. Kholid menilai keberadaan kilang tetap relevan karena dapat beralih menghasilkan produk petrokimia saat konsumsi BBM berkurang seiring elektrifikasi transportasi.

Di sisi lain, ia mengingatkan pentingnya penguatan infrastruktur seperti oil storage untuk mengurangi kerentanan terhadap fluktuasi impor. Menurutnya, langkah perbaikan hulu dan hilir akan memberi ruang bagi Indonesia membangun ketahanan energi sambil menjalankan agenda transisi secara bertahap.

Kholid menambahkan penguatan kebijakan energi diperlukan agar pengurangan ketergantungan impor tidak menimbulkan tekanan sosial maupun teknis di lapangan. Ia menilai pengembangan kilang dan infrastruktur pendukung harus dirancang beriringan dengan rencana jangka panjang transisi menuju energi bersih.

Transisi energi, kata dia, bukan hanya persoalan pengurangan emisi, tetapi juga menjaga stabilitas ekonomi dan akses energi masyarakat. Kholid menekankan pentingnya langkah evolutif yang konsisten agar transformasi menuju bauran energi lebih hijau tetap berjalan tanpa menghambat kebutuhan nasional. Proses panjang dominasi energi fosil menjadi dasar mengapa perubahan struktural memerlukan waktu tidak singkat.

 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat