
Iqtishodia
Anggaran Pendidikan 20 Persen: Saatnya Ukur Dampak, Bukan Sekadar Nominal
Lebih dari separuh dana pendidikan nasional disalurkan lewat Transfer ke Daerah.
OLEH Fahmi Salam Ahmad (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB)
Setiap kali pembahasan APBN dan APBD, kita selalu mendengar “pemerintah wajib mengalokasikan minimal 20 persen anggaran untuk pendidikan.” Angka ini terdengar megah. Publik pun sering menganggap urusan pendidikan sudah “aman” karena dananya pasti tersedia. Namun, bila kita telisik lebih dalam, pertanyaan besar muncul: apakah dana itu benar-benar berdampak pada mutu pendidikan?
Di balik angka 20 persen itu, ada realitas yang jarang diungkap ke masyarakat luas: sebagian besar dana tersebut justru terserap untuk belanja pegawai—gaji, tunjangan, dan honorarium—ketimbang untuk memperbaiki sarana belajar, memperkuat kurikulum, atau meningkatkan kompetensi guru. Secara hukum, kondisi ini sah dan memang sesuai dengan aturan. Namun, secara substansi, kita menghadapi paradoks: anggaran pendidikan besar tetapi mutu pendidikan tidak melonjak sepadan.
Tulisan ini mengajak pembaca untuk melihat struktur anggaran pendidikan secara lebih jernih dan mengusulkan paradigma baru: dari input-oriented menjadi output dan outcome-oriented. Tidak cukup sekadar memenuhi angka 20 persen, kita harus memastikan dampak nyata bagi peserta didik.
Mandat 20 persen Pendidikan: Legal tapi Input-Oriented
Dasar hukum kewajiban anggaran pendidikan ada di Pasal 31 UUD 1945 dan dijabarkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Permendagri juga mengatur bahwa yang dihitung adalah fungsi pendidikan, bukan sekadar pagu kementerian. Artinya, seluruh belanja yang diklasifikasikan pendidikan—baik belanja pegawai, barang/jasa, maupun modal—secara formal dihitung sebagai pemenuhan 20 persen.
Secara hukum, pemerintah daerah yang menganggarkan lebih dari 20 persen untuk fungsi pendidikan dianggap patuh. Tetapi secara substansi, masyarakat baru merasakan manfaat jika dana tersebut benar-benar dialokasikan untuk layanan pendidikan yang lebih baik.
Selama ini indikator keberhasilan yang kita pakai masih berbasis input: berapa persen APBD/APBN untuk pendidikan, berapa jumlah guru yang digaji, berapa jumlah ruang kelas yang dibangun. Padahal yang lebih penting adalah output (misalnya perbaikan rasio murid-guru, jumlah siswa yang lulus tepat waktu) dan outcome (misalnya skor literasi, angka melek huruf, keterampilan lulusan). Dengan kata lain, kita menghitung berapa besar “bahan bakar” yang kita tuang ke mesin, tetapi belum sungguh-sungguh mengukur seberapa jauh kendaraan pendidikan ini melaju.
APBD: Besar, tapi Didominasi Belanja Pegawai
Data APBD menunjukkan, rata-rata pemerintah kabupaten/kota di Indonesia sudah memenuhi bahkan melebihi 20 persen untuk fungsi pendidikan. Tetapi porsi terbesar justru untuk belanja pegawai: gaji, tunjangan, honorarium guru dan tenaga kependidikan. Belanja non-pegawai seperti pembangunan ruang kelas baru, pengadaan buku, atau pelatihan guru porsinya jauh lebih kecil.
Bayangkan setiap Rp100 anggaran pendidikan daerah, sekitar Rp60–70 habis untuk gaji pegawai, sisanya untuk program non-pegawai. Dari sisi kesejahteraan guru ini kabar baik, tetapi dari sisi sarana, mutu pembelajaran, dan inovasi sekolah, porsi yang tersedia menjadi terbatas. Inilah yang menjelaskan mengapa meski secara angka APBD pendidikan sudah besar, kualitas layanan pendidikan di banyak daerah belum melonjak signifikan.
Namun, penting dicatat bahwa belanja pegawai yang besar bukan berarti semua guru sudah sejahtera. Mayoritas dana tersedot untuk gaji dan tunjangan guru PNS serta tenaga kependidikan senior, sementara ratusan ribu guru honorer masih digaji jauh di bawah standar. Bahkan honorarium guru non-PNS di banyak daerah masih berkisar ratusan ribu hingga satu jutaan per bulan.
Selain itu, pos “belanja pegawai” juga mencakup komponen yang tidak langsung dinikmati guru sebagai take-home pay—seperti iuran pensiun, tunjangan struktural, biaya diklat aparatur, atau tunjangan fungsional yang belum cair merata. Kombinasi ini membuat publik sering bertanya-tanya: kok angka belanja pendidikan besar, tetapi kesejahteraan tenaga pendidik di lapangan belum terasa. Ini menunjukkan bahwa belanja pendidikan kita bukan hanya dominan pada pegawai, tetapi juga timpang distribusinya dan kurang transparan penggunaannya. Akibatnya, guru honorer kesulitan meningkatkan kompetensi dan kesejahteraannya, sementara ruang fiskal untuk program peningkatan mutu makin terbatas.
Paradoks ini memperkuat argumen bahwa indikator keberhasilan anggaran pendidikan tidak cukup berhenti pada nominal atau proporsi fungsi pendidikan, tetapi harus mencakup distribusi dan dampaknya bagi mutu layanan.Dengan kata lain, kita menghadapi bukan hanya masalah besar kecilnya anggaran, tetapi juga masalah arah dan kualitas belanja.
Masalahnya pun bukan hanya pada belanja pegawai itu sendiri. Guru yang sejahtera adalah syarat penting mutu pendidikan. Namun jika hampir seluruh anggaran habis untuk belanja rutin, ruang fiskal untuk program peningkatan mutu menjadi sempit. Bahkan program seperti penyediaan laboratorium, buku, atau pelatihan inovatif sering menjadi pos pertama yang dipangkas ketika anggaran terbatas.
Publik sering heran: di APBD daerah anggaran pendidikan bisa >20 persen, mengapa di APBN porsi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) terlihat kecil, hanya 3-5 persen? Jawabannya: dana pendidikan tidak hanya di Kemendikdasmen dan Kemendiktisaintek.
Lebih dari separuh dana pendidikan nasional disalurkan lewat Transfer ke Daerah (DAK, Dana Alokasi Umum untuk gaji guru, BOS daerah) dan program kementerian/lembaga lain (misalnya Kementerian Agama untuk madrasah, LPDP untuk beasiswa). Jadi jika dilihat secara total fungsi pendidikan dalam APBN, sebenarnya setiap tahun tetap >20%. Hanya saja yang terlihat dalam pagu kementerianhanyalah “sepotong kue” yang menjadi tanggung jawab langsung kementerian tersebut.
Pemahaman ini penting karena banyak masyarakat—bahkan wartawan—menilai kinerja pendidikan nasional hanya dari pagu kementerian. Padahal dana pendidikan tersebar di berbagai pos dan mekanisme.
Paradoks Besar: Input Tinggi, Mutu Stagnan
Fenomena ini menimbulkan paradoks di mata publik: “kok dana pendidikan besar, tapi sekolah saya masih kekurangan guru dan buku?” Inilah konsekuensi penganggaran yang input oriented, fokus pada nominal, bukan pada kualitas belanja (quality spending). Besarnya belanja pegawai penting untuk menjaga kesejahteraan tenaga pendidik, tetapi bila tidak diiringi dengan penguatan kompetensi guru, sarana belajar, dan inovasi pembelajaran, hasilnya tetap stagnan.
Indikator yang kita pakai juga cenderung hanya menghitung program fisik—berapa sekolah dibangun, berapa guru direkrut—bukan pada hasil pembelajaran. Laporan-laporan seperti skor literasi nasional, hasil PISA, atau angka putus sekolah menunjukkan perbaikan masih lambat. Padahal secara formal kita sudah memenuhi amanat konstitusi tentang 20 persen anggaran pendidikan.
Paradigma Baru: dari Input ke Outcome
Karena itu, kita perlu menggeser paradigma. Bukan sekadar memenuhi angka 20 persen, tetapi memastikan dampak nyata bagi peserta didik. Ada tiga langkah kunci:
1. Transparansi komposisi anggaran ke publik. Masyarakat berhak tahu dari total 20 persen anggaran pendidikan, berapa untuk gaji, berapa untuk program peningkatan mutu, berapa untuk sarana. Ini bukan hanya soal keterbukaan, tetapi juga soal akuntabilitas.
2. Indikator berbasis output dan outcome. Misalnya, indikator kinerja daerah bukan sekadar “pagu pendidikan 25 persen” tetapi “rasio murid-guru membaik,” “angka melek huruf naik,” “skor literasi meningkat,” “lulusan memiliki keterampilan abad 21.” Dengan indikator ini, pemerintah daerah dan pusat terpacu untuk menata kembali prioritas belanjanya.
3. Fleksibilitas dan inovasi. Pemda dan pusat perlu memberi ruang agar sebagian anggaran pendidikan digunakan untuk inovasi pembelajaran, peningkatan kompetensi guru, dan penguatan kurikulum berbasis kebutuhan lokal, bukan hanya untuk belanja rutin.
Paradigma baru ini tidak berarti mengabaikan kesejahteraan guru. Justru guru sejahtera + program peningkatan kompetensi + sarana yang memadai akan menghasilkan efek ganda. Dengan demikian setiap Rupiah belanja pendidikan lebih berdampak.
Belajar dari Praktik Baik
Meskipun belum banyak contoh resmi yang didokumentasikan, beberapa program daerah sudah mulai mengadopsi indikator hasil (seperti program Gerakan Kembali Bersekolah di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan) sebagai langkah awal menuju KPI berbasis outcome. Di tingkat pusat, lembaga pengelola dana pendidikan seperti LPDP telah mulai mengukur keberhasilan bukan hanya jumlah beasiswa yang diberikan, tetapi juga melakukan kajian dampak alumni sebagai upaya mengukur kontribusi terhadap pembangunan. Pendekatan ini bisa diperluas ke pos-pos anggaran pendidikan lainnya.
Mengaitkan dengan Agenda Nasional
Agenda nasional seperti RPJMN dan visi Indonesia Emas 2045 menekankan kualitas sumber daya manusia. Pemerintah pusat pun sudah menempatkan “Peningkatan SDM” sebagai prioritas pertama. Namun indikator kinerja yang digunakan dalam anggaran pendidikan belum sepenuhnya mencerminkan orientasi mutu tersebut.
Menggeser indikator dari input ke outcome akan membantu menyelaraskan antara anggaran dan tujuan pembangunan jangka panjang. Kita tidak hanya menghitung berapa gedung dibangun atau berapa guru digaji, tetapi apakah investasi itu meningkatkan kompetensi, daya saing, dan kesejahteraan generasi muda.
Uang Bukan Segalanya
Angka 20 persen hanyalah pintu masuk. Yang lebih penting adalah apa yang kita lakukan dengan uang itu dan apa hasilnya bagi siswa, guru, dan masyarakat. Pendidikan bukan sekadar soal gaji guru, tetapi juga sarana, pembelajaran, dan kualitas lulusan. Dengan indikator kinerja yang berbasis output dan outcome, kita bisa memastikan dana pendidikan benar-benar sampai pada tujuan: meningkatkan mutu pendidikan bagi anak-anak Indonesia.
Kita membutuhkan keberanian untuk mengubah paradigma. Saatnya ukur dampak, bukan sekadar nominal. Dengan begitu, kita bukan hanya mematuhi amanat konstitusi secara formal, tetapi juga memenuhi janji substantif: pendidikan yang berkualitas dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.