Petani kakao. | LPEI

Iqtishodia

Transformasi Menuju Agribisnis Kopi dan Kakao Berkelanjutan (Bagian II)

Dengan bekerja secara kolektif, petani dapat memperoleh kekuatan tawar.

OLEH Dr. Maryono, SP., MSc (Wakil Direktur International Trade Analysis and Policy Studies IPB University dan Dosen Department of Agribusiness FEM IPB)

Pada rubrik Iqtishodia edisi Jumat (18/7/2025), penulis telah mengetengahkan bahwa mengembangkan agribisnis kopi dan kakao yang berkelanjutan harus berlandaskan pada triple bottom line dari Elkington yaitu profit, people, dan planet. Namun demikian tiga landasan fundamental tersebut merupakan pondasi dasar yang bersifat umum. Dengan demikian perlu diterjemahkan pada level implementasi dilapangan.

Terdapat setidaknya lima pilar utama yang menjadi penyokong dalam menjadikan model bisnis agribisnis kopi dan kakao yang berkelanjutan. Kelima pilar ini berlandaskan pada realitas yang dihadapi produsen yang didominasi oleh petani kecil, kebutuhan untuk mengatasi tantangan lingkungan, dan pentingnya perubahan yang bersifat sistemik.

• Pilar pertama adalah integritas agroekologi. Pertanian berkelanjutan harus berjalan selaras dengan ekosistem alami. Praktik seperti agroforestri, restorasi tanah, dan konservasi keanekaragaman hayati sangat penting untuk membangun ketahanan iklim dan menjaga produktivitas jangka panjang. Lebih jauh lagi praktik pertanian regeneratif (regenerative farming) telah menjadi fenomena baru dalam pengembangan praktek pertanian ramah lingkungan. 

• Pilar kedua adalah distribusi nilai ekonomi yang adil. Sistem yang berkelanjutan harus memastikan bahwa nilai ekonomi dibagikan secara adil, khususnya kepada petani kecil yang menjadi pusat produksi. Hal ini mencakup pembayaran harga yang memenuhi standar pendapatan layak, menyediakan kontrak yang stabil, dan menghapus praktik pembelian yang eksploitatif. Model perdagangan langsung (direct trade) yang saat ini juga semakin banyak diadopsi telah melangkah lebih jauh dengan memberikan harga premium di atas harga pasar komoditas yang fluktuatif.

• Pilar ketiga adalah memberdayakan tata kelola lokal. Keberlanjutan yang efektif memerlukan lembaga lokal yang kuat, di mana petani dan komunitas memiliki kekuatan dalam pengambilan keputusan. Hal ini mencakup pembentukan dan dukungan terhadap organisasi petani yang demokratis, dengan keterlibatan dan juga partisipasi aktif perempuan, masyarakat adat, dan generasi muda.

• Pilar keempat adalah rantai pasok yang transparan dan etis. Saat ini konsumen semakin menginginkan untuk mengetahui asal produk dan bagaimana produk tersebut dihasilkan. Namun, transparansi harus melampaui sekadar gimik pemasaran dan benar-benar berlandaskan praktik etis. Hal ini perlu diterapkan di lapangan untuk memastikan rantai pasok yang bebas dari eksploitasi.

• Pilar kelima yang merupakan pilar terakhir adalah ketahanan melalui inovasi dan pendidikan. Membangun sektor agribisnis kopi dan kakao yang berkelanjutan juga berarti berinvestasi pada inovasi dan pendidikan generasi mendatang.

Langkah Strategis Membangun Model Bisnis Berkelanjutan
Selanjutnya, terdapat empat langkah strategis yang harus dilakukan terdiri atas meningkatkan koordinasi horizontal, koordinasi vertikal, sertifikasi dan keterlacakan, serta kemitraan multi pemangku kepentingan. 
• Koordinasi Horizontal – Organisasi Petani
Sebuah model bisnis hanya dapat dianggap benar-benar berkelanjutan jika berkontribusi terhadap keberlanjutan seluruh aktor sepanjang rantai nilainya. Secara prinsip, untuk memperkuat keseluruhan rantai nilai memerlukan perhatian pada mata rantai yang paling rentan—petani kecil yang seringkali menghadapi tantangan terbesar, termasuk keterbatasan akses terhadap sumber daya, pasar, dan dukungan teknis. Koordinasi horizontal di antara petani—misalnya dengan membentuk organisasi kelompok tani atau koperasi—dapat secara signifikan meningkatkan posisi petani kecil dalam rantai nilai.

Dengan bekerja secara kolektif, petani dapat memperoleh kekuatan tawar yang lebih besar, menurunkan biaya transaksi, mengakses pasar yang lebih luas, serta meningkatkan kemampuan mereka untuk berinvestasi dalam kualitas, produktivitas, dan keberlanjutan. Pendekatan kolektif ini tidak hanya memperkuat ketahanan ekonomi mereka, tetapi juga meningkatkan pengaruh mereka dalam proses pengambilan keputusan di seluruh rantai.

Scoping review yang dilakukan oleh Bizikova et al. (2020) dan dipublikasikan di Nature menyoroti bahwa partisipasi petani dalam organisasi produsen dapat berdampak positif. Hal ini mencakup peningkatan pendapatan, perbaikan kualitas dan hasil panen, peningkatan keberlanjutan lingkungan, manfaat sosial yang lebih besar, serta penguatan ketahanan pangan. Dengan mendorong aksi kolektif, berbagi pengetahuan, dan peningkatan akses terhadap input dan pasar, organisasi petani memainkan peran penting dalam memberdayakan petani kecil dan mendorong sistem pertanian yang lebih tangguh dan berkelanjutan.

2. Koordinasi Vertikal – Keterhubungan Pasar
Koordinasi vertikal memainkan peran penting dalam meningkatkan keadilan dan keberlanjutan dalam rantai nilai kopi dan kakao. Model seperti perdagangan langsung (direct trade)—yang dicontohkan oleh konsep bean-to-bar pada kakao dan bean-to-cup pada kopi—memungkinkan hubungan yang lebih dekat antara produsen dan pembeli, mengurangi peran perantara, dan memberi peluang bagi petani kecil untuk memperoleh porsi nilai akhir produk yang lebih besar. Model ini sering melibatkan kontrak jangka panjang serta dukungan teknis yang berkontribusi pada peningkatan kualitas produk.

Untuk memahami lebih baik tentang model koordinasi vertikal dalam rantai nilai kopi dan kakao, penting untuk membingkainya dalam kerangka kontinum struktur tata kelola yang dikemukakan oleh Williamson (1985). Ia mengonseptualisasikan mekanisme tata kelola dalam suatu kontinum, mulai dari pasar terbuka (spot markets), hibrida, hingga struktur hierarkis. Tujuan koordinasi vertikal adalah mengalihkan transaksi dari pasar terbuka (spot markets) ke bentuk koordinasi vertikal yang lebih terstruktur—seperti contract farming. Melalui perjanjian jangka panjang, kemitraan kontrak membantu menurunkan biaya transaksi, penyediaan input, kredit, dan bantuan teknis.

3. Sertifikasi & Keterlacakan (Traceability)
Peningkatan pendapatan dari adanya sertifikasi umumnya dapat diperoleh sebagai hasil dari intervensi yang dirancang untuk meningkatkan profitabilitas dan peningkatan akses pasar premium. Sebuah meta-analysis oleh Oya et al. (2018) mengkonfirmasi hal tersebut. Peningkatan harga tampaknya memainkan peran yang lebih signifikan dalam mendorong kenaikan pendapatan dari produksi produk pertanian bersertifikat (Oya et al., 2018). 

Selain itu, kepatuhan terhadap EUDR (EU Deforestation Regulation) memerlukan keterlacakan (traceability) dari hulu hingga hilir, yang didukung oleh pemetaan GPS, pemantauan satelit. Alat-alat ini tidak hanya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di seluruh rantai pasok, tetapi juga membantu memverifikasi sumber pasokan bebas deforestasi dan memastikan kepatuhan terhadap standar sosial dan lingkungan. Untuk kopi dan kakao, keterlacakan memungkinkan produsen dan pembeli memantau praktik pertanian, meningkatkan pengendalian mutu, dan memperkuat kepercayaan konsumen.

4. Kemitraan Multi-Pemangku Kepentingan
Keberlanjutan di sektor kopi dan kakao tidak dapat dicapai hanya melalui intervensi yang terisolasi atau solusi teknis semata. Hal ini didasari bahwa masalah dilapangan bersifat sistemik yang memerlukan respons terkoordinasi di berbagai bidang baik lingkungan, ekonomi, dan sosial.

Dalam konteks ini, kemitraan multi-pemangku kepentingan muncul sebagai mekanisme penting untuk menyelaraskan gerakan, membagi peran dan tanggung jawab, dan memungkinkan terjadinya perubahan transformatif. Kemitraan yang efektif harus mampu mengkonsolidasikan beragam aktor termasuk produsen, pedagang, eksportir, perusahaan, lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil, lembaga keuangan, dan perguruan tinggi untuk bersama-sama mengatasi hambatan sistemik dalam rantai nilai.

Sejumlah inisiatif menunjukkan manfaat nyata dari pendekatan ini. Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI) menjadi contoh upaya nasional terkoordinasi yang menyatukan pemerintah, pelaku industri, LSM, dan organisasi petani untuk mempromosikan praktik produksi berkelanjutan, peningkatan kapasitas petani, dan keselarasan kebijakan.

Di Afrika Barat, International Cocoa Initiative (ICI) memungkinkan kolaborasi antara pelaku industri dan masyarakat sipil untuk mengurangi pekerja anak melalui pemantauan berbasis komunitas dan berbagi data. Di Peru, National Cocoa Platform memfasilitasi keselarasan lintas sektor untuk meningkatkan produktivitas, mengurangi deforestasi, dan memperkuat mata pencarian petani. 

Berdasarkan systematic literature review Maryono (2024) yang dipublikasikan pada jurnal Agricultural Systems, istilah yang digunakan untuk merujuk kemitraan multi pemangku kepentingan ini bervariasi — mulai dari kemitraan publik-swasta (public private partnership) hingga platform inovasi (innovation platform) — tetapi fungsi inti tetap sama: menciptakan ruang kolaboratif yang terstruktur untuk bersama-sama merancang dan mewujudkan solusi berkelanjutan yang berakar pada konteks lokal namun relevan secara global.

Penting untuk dicatat, kemitraan ini telah menunjukkan dampak positif di berbagai dimensi. Kontribusinya melampaui manfaat ekonomi, mencakup inovasi teknologi, inklusi sosial, keberlanjutan lingkungan, peningkatan infrastruktur, serta pengembangan kebijakan publik yang lebih berpihak. Hasil-hasil ini semakin menegaskan peran kemitraan multi-pemangku kepentingan sebagai penggerak penting (critical enabler) bagi model bisnis yang tangguh dan berkelanjutan—terutama di sektor yang kompleks dan didominasi oleh petani kecil seperti kopi dan kakao.

Indonesia, bersama negara-negara lain yang memiliki visi serupa di kawasan Global South, menjadi fondasi bagi industri kopi dan kakao dunia. Namun, selama ini negara-negara tersebut lebih banyak dipandang sebagai sumber bahan mentah daripada sebagai pemimpin strategis. Dinamika ini harus didefinisikan ulang.

Arah ke depan tidak boleh ditentukan semata-mata oleh pasar luar negeri, dan keberlanjutan tidak boleh menjadi sekadar label yang menghasilkan keuntungan bagi pihak lain sementara produsen utama tetap terpinggirkan. Kepemimpinan harus muncul melalui pengembangan model yang berakar pada ekosistem lokal, warisan budaya, dan pengetahuan komunitas—bukan dengan meniru kerangka yang dirancang di Global North.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat