Demonstran saat protes mendukung Rakyat Palestina di Gaza, di Lapangan Parlemen, London, Sabtu, 9 Agustus 2025. | AP Photo/Alberto Pezzali

Internasional

Pengakuan Separuh Hati Inggris atas Palestina

Pengakuan Negara Palestina disebut perlu aksi nyata.

TEL AVIV – Inggris, Kanada, dan Australia, secara resmi mengakui negara Palestina. Dampak pengakuan tersebut menghapuskan penderitaan warga Palestina akibat penjajahan Israel masih ditunggu.

Dalam pernyataannya pada Ahad (21/9/2025), Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menyinggung tentang janjinya yang disampaikan pada Juli lalu tentang mengakui kemerdekaan Palestina. Dia mengatakan, momen tersebut telah tiba. 

"Hari ini, untuk menghidupkan kembali harapan perdamaian dan solusi dua negara, saya menyatakan dengan jelas sebagai perdana menteri negara besar ini, bahwa Inggris secara resmi mengakui negara Palestina," kata Starmer. 

Perdana Menteri Kanada Mark Carney juga telah merilis pernyataan resmi tentang pengakuan Kanada atas negara Palestina. Carney turut membagikan pernyataan tersebut lewat akun X-nya.  "Kanada mengakui Negara Palestina dan menawarkan kemitraan kami dalam membangun janji masa depan yang damai bagi Negara Palestina dan Negara Israel,” kata Carney dalam pernyataannya. 

Berbarengan dengan Inggris dan Kanada, Perdana Menteri Australia Anthony Albanese turut mengumumkan pengakuan negara Palestina. "Secara efektif hari ini, Ahad, 21 September 2025, Australia secara resmi mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Negara Palestina," ujar Albanese dalam pernyataannya. 

Albanese menambahkan, pengakuan negara Palestina oleh Inggris, Kanada, dan Australia adalah bagian dari upaya internasional yang terkoordinasi untuk membangun momentum baru bagi solusi dua negara. Dia menekankan, solusi dua negara merupakan adalah satu-satunya jalan perdamaian dan keamanan rakyat Israel serta Palestina. 

Menteri Luar Negeri Palestina Varsen Aghabekian menyambut langkah pengakuan yang diambil Inggris, Kanada, dan Australia. Menurutnya, langkah mereka melindungi solusi dua negara. 

“Ini adalah langkah yang membawa kita lebih dekat ke kedaulatan dan kemerdekaan. Ini mungkin tidak akan mengakhiri perang besok, tetapi ini adalah langkah maju yang perlu kita bangun dan perkuat,” ujar Aghabekian kepada awak media di Ramallah, dikutip laman Al Arabiya.

Pakar Timur Tengah dari Universitas Indonesia (UI), Yon Machmudi melihat hal tersebut sebagai kemenangan diplomasi Palestina, namun pengakuan saja tidak cukup. Yon mengatakan, bertambah banyaknya negara yang mengakui negara Palestina menunjukkan perubahan besar dukungan dunia termasuk negara-negara Eropa. Mereka mendukung Palestina dan solusi dua negara.

"Dengan demikian kita bisa melihat bahwa dalam tatanan global, pengakuan itu menunjukan kemenangan diplomasi Palestina guna mendapatkan pengakuan dari negara-negara Eropa yang selama ini tidak mendukung dan tidak mengakui Palestina sebagai negara yang berdaulat," kata Yon kepada Republika, Senin (22/9/2025).

photo
Pro-Palestinian protesters hold up placards during a demonstration in London, Saturday, Feb. 3, 2024 as they demand for a full cease fire and an end to the siege of Gaza. - (AP Photo/Kin Cheung)

Yon menegaskan, tapi pengakuan saja tidak cukup jika hanya sebatas pengakuan. Pengakuan terhadap negara Palestina harus direalisasikan. Memastikan supaya Palestina menjadi negara yang berdaulat, bisa mengatur politik, ekonomi dan berbagai hal terkait pemerintahan secara independen serta berdaulat.

Ia menambahkan, harus juga memastikan Palestina tidak diblokade oleh Israel, sehingga ruang kerjasama internasional bagi Palestina menjadi terbuka. Menurut Yon, kuncinya memang ada di Israel yang hingga saat ini tidak mau ada negara Palestina yang berdampingan dengan negara Israel. Hal ini terjadi karena Amerika Serikat (AS) masih mendukung Israel. 

"Tapi tentu ini sebuah kemajuan yang patut disyukuri terkait adanya pengakuan secara terbuka negara-negara Eropa (terhadap negara Palestina), harapannya itu bisa memberikan tekanan kepada publik internasional dan Amerika agar bisa melakukan keputusan yang bersejarah, memberikan dukungan kepada kemanusiaan dengan memberi ruang pada realisasi kemerdekaan Palestina," ujar Yon.

Yon mengatakan bahwa AS tidak harus menyetujui, cukup dengan abstain saja di dalam Dewan Keamanan PBB, guna bisa merealisasikan solusi dua negara. Menurut Yon, jika AS memilih abstain, itu akan jauh lebih baik dibandingkan terus mendukung Israel yang memiliki ideologi perang, tidak hanya memerangi rakyat Palestina tapi juga memerangi negara yang dianggap mendukung dan bersimpati kepada Palestina. 

photo
Penjabat Duta Besar AS untuk PBB Dorothy Camille Shea memveto resolusi gencatan senjata di Gaza di Markas Besar PBB di New York, New York, AS, 4 Juni 2025. - (EPA-EFE/Mark Garten)

"Saya kira ini persoalan dunia yang harus diselesaikan, tidak lagi bisa mengikuti pola-pola lama di mana negara besar itu selalu mewakili negara kecil," jelas Yon. Yon menegaskan, maka pengakuan Palestina sebagai negara yang merdeka oleh negara di Eropa termasuk oleh negara yang mendukung Israel dan dekat dengan AS, ini perubahan yang besar dan harus bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam merealisasikan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Palestina.

Pencaplokan Tepi Barat

Pemerintahan dan politikus Zionis membuka kemungkinan pencaplokan sepenuhnya Tepi Barat menyusul pengakuan negara Palestina oleh sejumlah negara Barat. Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) mengancam tindakan tegas jika aneksasi itu dilakukan.

“Langkah-langkah aneksasi akan berdampak besar di semua tingkatan,” demikian bunyi pesan Saudi yang dikirim ke Israel, seperti dilansir N12. Sumber-sumber politik Saudi dilaporkan mewanti-wanti para pejabat Israel bahwa mereka akan menerapkan tindakan secara ekonomi dan keamanan untuk menegakkan kedaulatan Palestina di Tepi Barat. Saudi bahkan mengancam akan menutup wilayah udaranya untuk Israel.

Arab Saudi telah memperingatkan Israel bahwa mencaplok Tepi Barat adalah garis merah dan dapat mencegah normalisasi berdasarkan Perjanjian Abraham, N12 melaporkan pada Ahad. Peringatan negara-negara Teluk muncul menjelang pemungutan suara Majelis Umum PBB yang mengakui negara Palestina dan implementasi rencana Perancis-Saudi. 

N12 melaporkan bahwa aneksasi Israel atas Tepi Barat juga akan merusak hubungan Washington dengan negara-negara Arab. Laporan ini muncul setelah Inggris, Kanada, dan Australia bergerak untuk mengakui negara Palestina.

Kronologis pencaplokan Palestina - (Republika)  ​

Perjanjian Oslo tahun 1993, yang ditandatangani antara para pemimpin Israel dan Palestina saat itu untuk memulai proses perdamaian, membagi Tepi Barat yang diduduki menjadi tiga zona: A, B dan C.

Area A seolah-olah berada di bawah kendali administratif dan keamanan penuh Otoritas Palestina (PA) – sebuah entitas yang lahir dari Perjanjian Oslo. Sementara Area B berada di bawah pemerintahan administratif Otoritas Palestina dan keamanan Israel. Area C mencakup lebih dari 60 persen wilayah Tepi Barat yang diduduki dan berada di bawah kendali administratif dan keamanan Israel.

Israel berencana mencaplok sepenuhnya seluruh wilayah itu menyusul pengakuan Palestina oleh sejumlah negara Barat belakangan. 

Tokoh politik Israel baik dari pemerintah maupun oposisi pada Ahad mengecam keputusan Inggris, Australia, dan Kanada yang mengakui negara Palestina. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan sekutu-sekutunya berjanji untuk menanggapi tindakan tersebut, dan menegaskan penolakan mereka terhadap gagasan negara Palestina, dengan beberapa orang di koalisinya mendorong aneksasi Tepi Barat sebagai tanggapannya.

“Saya memiliki pesan yang jelas kepada para pemimpin yang mengakui negara Palestina setelah pembantaian mengerikan pada tanggal 7 Oktober – Anda memberikan hadiah yang sangat besar kepada teror,” kata Netanyahu dalam siaran video semalam. "(Kemerdekaan Palestina) tidak akan terjadi. Negara Palestina tidak akan didirikan di sebelah barat Sungai Yordan."

photo
Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam pertemuan di Gedung Putih, Washington, Selasa, 4 Februari 2025. - (AP Photo/Evan Vucci)

Netanyahu menyatakan bahwa dia tidak akan secara resmi menanggapi pengakuan trilateral tersebut sampai dia kembali dari Amerika. Dia diperkirakan akan membahas masalah ini ketika bertemu dengan Presiden AS Donald Trump di Gedung Putih pada hari Senin.

Selain Arab Saudi, Uni Emirat Arab telah mengisyaratkan bahwa mereka dapat menurunkan hubungan diplomatik dengan Israel jika Israel mencaplok sebagian atau seluruh Tepi Barat, Reuters melaporkan pada Kamis.

Abu Dhabi memperingatkan koalisi sayap kanan Netanyahu bulan ini bahwa setiap aneksasi Tepi Barat akan menjadi “garis merah” bagi negara Teluk tersebut, namun tidak mengatakan tindakan apa yang akan diambil setelahnya.

UEA, yang menjalin hubungan dengan Israel pada tahun 2020 berdasarkan Perjanjian Abraham, sedang mempertimbangkan untuk menarik duta besarnya sebagai tanggapan atas tindakan apa pun, sumber tersebut mengatakan kepada Reuters.

Sumber-sumber tersebut, yang semuanya berbicara tanpa menyebut nama, mengatakan Abu Dhabi tidak mempertimbangkan untuk memutuskan hubungan sepenuhnya, meskipun ketegangan telah meningkat selama Perang Gaza yang telah berlangsung hampir dua tahun.

Sebuah sumber di Israel mengatakan pemerintah yakin mereka dapat memperbaiki hubungan yang tegang dengan UEA, pusat komersial utama yang dipandang sebagai negara Arab paling penting dalam menjalin hubungan dengan Israel pada tahun 2020. Negara lainnya adalah Bahrain dan Maroko.

Pada Juli, David Lammy, Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, mengatakan kepada PBB bahwa Inggris memikul beban tanggung jawab khusus untuk mendukung solusi dua negara mengingat sejarahnya di wilayah tersebut: khususnya, deklarasi Balfour tahun 1917 yang mendukung pembentukan tanah air bagi orang-orang Yahudi di Palestina.

"Dukungan kami untuk Israel, hak untuk hidup dan keamanan rakyatnya sangat teguh. Namun, deklarasi Balfour datang dengan janji serius 'bahwa tidak ada yang boleh dilakukan, tidak ada yang dapat merugikan hak-hak sipil dan agama' rakyat Palestina... Hal ini belum ditegakkan dan ini adalah ketidakadilan historis yang terus terjadi," kata Lammy.

Nour Odeh, seorang analis dan jurnalis dari Ramallah, mengatakan peran historis Inggris tidak boleh diabaikan atau diabaikan. "Ini adalah sebuah utang, dan tidak ada kata terlambat untuk melakukan hal yang benar. Namun jika kita hanya memuji Inggris kemudian semuanya berlanjut seperti biasa, akan menjadi hal yang sinis dan kontraproduktif. Pengakuan adalah tindakan politik dan hukum serta sebuah komitmen," katanya dikutip the Guardian.

Umm Karim, seorang teknisi laboratorium berusia 40 tahun, jug mengatakan deklarasi Inggris tidak cukup. “Kita memerlukan langkah-langkah praktis, seperti memutuskan hubungan diplomatik, banyak sanksi atau setidaknya penuntutan terhadap warga negara Inggris yang berperang di tentara Israel,” katanya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Sykes-Picot dan Balfour, Pemulus Jalan Penjajahan Israel atas Palestina

Tangan Inggris amat berperan dalam memuluskan jalan penjajahan atas bumi Palestina.

SELENGKAPNYA

Dosa Masa Lalu Inggris terhadap Bangsa Palestina

Deklarasi Balfour mengawali restu Inggris terhadap berdirinya Negara Yahudi di Tanah Palestina.

SELENGKAPNYA

AS Terkucil, Inggris Bakal Akui Negara Palestina

Inggris dilaporkan bakal mengakui Palestina sebelum Prancis.

SELENGKAPNYA