Foto Haji Agus Salim dan Bung Karno saat diasingkan di Brastagi, Sumatra Utara pada 1949. | Bredasche Courant

Nostalgia

Sindiran Keras Haji Agus Salim di Konferensi Buruh Se-Dunia 1929

Kritik Agus Salim terhadap pemerintah Belanda menjadi bahan pemberitaan.

Oleh FIKRUL NAHIF SUFYAN, periset, penulis dan pengajar sejarah. Pernah menjadi dosen tamu dalam visiting scholar di Faculty of Arts University of Melbourne Australia

Siapa yang tidak mengenal tokoh satu ini. The Grand Oldman–demikian julukan untuk Haji Agus Salim, seorang diplomat, politikus, dan jurnalis ulung Indonesia yang diakui atas kelihaiannya berdiplomasi dalam memperjuangkan dan mengukuhkan kemerdekaan Indonesia di mata dunia. Ia juga dihormati kawan dan lawan politiknya karena lihai berdiplomasi, serta kefasihannya menguasai banyak bahasa asing, termasuk bahasa Belanda, Inggris, Arab, Prancis, Jepang, dan Jerman.

Namun, tidak banyak yang mengetahui sosok yang membesarkan Sarekat Islam (SI) tersebut, pernah dengan lantang mengritik Belanda di depan Konferensi Buruh Sedunia di Negeri Kincir Angin tahun 1929. 

 

Bersinar Bersama Sarekat Islam

Agus Salim terlahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab pada 8 Oktober 1884. Laki-laki asal Nagari Koto Gadang Afdeling Oud Agam itu terlahir dengan nama Masjhoedoelhaq – yang berarti pembela kebenaran. Jabatan terakhir dari  ayahnya adalah hoofddjaksa di Pengadilan Tinggi Riau.

Karena ayahnya adalah pejabat di masa Kolonial Belanda, Agus Salim pun melenggang dalam sekolah elit. Dimulai dari pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus bagi anak-anak Eropa dan anak-anak pejabat teras. Setamat dari ELS, Agus Salim melanjutkan studinya ke Hoogere Burgerschool (HBS) Koning Willem III (Kawedrie) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi alumnus terbaik di HBS se-Hindia Belanda.

Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Duta besar Belanda di sana. Pada periode inilah Agus Salim berguru pada Syaikh Ahmad Khatib, yang juga masih beririsan dengan genealogi ibunya.

Haji Agus Salim masuk dalam kancah pergerakan politik saat bergabung menjadi anggota Sarekat Islam (SI)  pada tahun 1915. Adalah Tjokroaminoto mengajak dirinya menghadiri kongres SI pada tahun 1915 di Surabaya, termasuk  menghadiri openbare vereenigingnya SI di berbagai kota. Pada tahun 1921, Tjokro dan Abdul Muis mengundurkan diri dari anggota Volksraad sebagai wakil SI akibat kekecewaan keduanya terhadap pemerintah Kolonial Belanda, Agus Salim menggantikan keduanya selama tiga tahun (1921-1924) menjadi anggota Volksraad mewakili SI (Salam, 1961; Mukayat, 1985). 

Namun, ia pun tidak betah berdiam di Volksraad. Ia merasa Volksraad tidak lebih dari “komedi omong” – yang tidak membawa dampak besar terhadap Indonesia. Haji Agus Salim mengundurkan diri dari Volksraad. Ia tetap memilih setia pada SI, setelah beberapa kali bertransformasi dari Partai Sarekat Islam (PSI) menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Ia memilih tetap setia sampai tahun 1940.

Pada 1921, Agus Salim bersama dengan kawan se-kampungnya Abdul Muis mengajukan pertanyaan mengenai disiplin partai dan penegakannya dalam hal keanggotaan di Central Sarekat Islam (CSI). Pendapat Salim dan Muis ini kemudian ditentang Semaun, Tan Malaka, dan rekan-rekannya. Hingga akhirnya, pada Kongres SI di Madiun pada Februari 1923, memutuskan disiplin persyarikatan ini ditegaskan kembali. Hal ini kemudian menyebabkan kelompok komunis menarik diri dari Sarekat Islam, dan mereka mulai berdiri sendiri (Sufyan, 2017).

 

Berbicara Lantang di Konferensi Buruh

Pada Maret 1929, nama Haji Agus Salim kembali ramai diberitakan oleh media pers. Kali ini, laki-laki berjanggut yang memangku jabatan penasihat teknis di Nederlands Verbond van Vakvereniingen (NVV) diutus menghadiri Konferensi Buruh Se-Dunia. Melalui surat dari ketua NVV EJ E Stokvis, memilih tiga nama untuk menghadiri acara besar itu, yakni Kupers, dan Haji Agus Salim. Masa itu, wakil ketua CSI tersebut masih berdiam di Weltevreden (Voorwaarts, 15 Maret 1929).

Kupersselaku delegasi dari NVV telah menanyakan kesedian dari Agus Salim menghadiri acara akbar untuk kaum buruh itu, karena kapasitasnya selaku penasihat teknis untuk Konferensi Buruh di Jenewa. “Hadji Agoes Salim telah menyatakan kesediaannya untuk melakukannya secara pribadi” – demikian Het Volk memberitakannya pada 14 Maret 1929.

Menumpang kapal Prins der Nederlanden, Haji Agus Salim pun bertolak menuju Negeri Kincir Angin. Ia mendatangi negara induk yang telah menjajah negerinya. Hampir dua bulan berada di kapal, ia pun mendarat di Genoa. Setelah mendarat di Belanda, perwakilan Dewan Federasi Serikat Buruh Belanda (Nederlandsch Verbond van Vakverenigingen) mengirim ucapan selamat datang atas kehadirannya.  

Lebih lanjut Het Volk memberitakan, “kami menyampaikan salam persaudaraan atas nama Gerakan Serikat Buruh Modern Belanda. Kami mendoakan Anda agar sukses bekerja di Jenewa. Dewan Federasi Serikat Buruh Belanda (Het Volk, 23 Mei 1929).

Tepatnya pada hari Ahad, 22 Mei 1930 pada pukul 10.30, delegasi Indonesia untuk Konferensi Perburuhan Internasional yakni Haji Agus Salim berpidato di hadapan anggota Serikat Pekerja Umum dan Pekerja Kantor Belanda di Teater Rembrandt.

Haji Agus Salim yang juga Wakil Ketua CSI itu membahas, persoalan yang membuat kuping pemerintah Kolonial Belanda panas. “Bagaimana seharusnya orang Belanda memandang perjuangan buruh penduduk Indonesia dan bagaimana mereka dapat mendukung perjuangan tersebut?” (de Sumatra Post, 16 Maret 1929).

Ia memulai kritik pedasnya terhadap negeri induk yang menjadi tuan rumah konferensi buruh tersebut. Ia mengkritik dan mengungkapkan kekecewaannya terhadap Belanda yang ia pandang Sungai Rhine tidaklah selebar dan sedalam Sungai Musi. “Belanda ini begitu kecil sehingga seseorang dapat melintasinya dalam dua jam.” (De locomotief, 23 Mei 1929).

De locomotief menulis, bahwa Haji Agus Salim mulai menukik pada persoalan Belanda di titik tersempitnya. Kembali, suami dari Zaenatun Nahar Almatsier itu mengatakan, bahwa pengetahuan rata-rata orang Belanda tentang kondisi di Indonesia sangat menyedihkan. “Mereka hanya memikirkan para pemburu kepala. Mereka membayangkan orang Ambon sebagai seseorang yang hanya mengenakan kulit pohon.” – demikian kata Agus Salim dengan nada suara meninggi.  

Sang pembicara kemudian bertanya kepada peserta konferensi dengan berbahasa Inggris, “Mengapa Anda ingin mempertahankan Hindia Belanda jika Anda tidak tahu apa-apa tentangnya?” Pertanyaan ini segera membuat peserta konferensi yang hadir terdiam. Ruangan konferensi pun hening.

Ayah dari sepuluh orang anak tersebut, kemudian mengritik tajam dam membantah slogan-slogan kampanye komunis. Ia menyebut slogan mereka, “Indonesia terpisah dari Belanda” adalah hal bodoh. “Apakah kalian pikir, saudara-saudara, Lou de Visser dapat segera memulihkan kebebasan negara kita (baca: Indonesia)? Itu omong kosong! Janganlah kita menenangkan diri dengan slogan-slogan yang mustahil diwujudkan. Marilah kita pikirkan hal-hal praktis,” terang Agus Salim (De locomotief, 23 Mei 1929).

Tidak sekadar mengritik gerakan Komunis di Hindia Belanda, ia juga menyerang Pasal 161a yang berisi aturan tentang pasal pemogokan. Kemudian, ia mengulang pertanyaan seorang Menteri asal Belanda,  mengenai definisi gangguan kehidupan ekonomi.

“Tidak ada profesor yang dapat menjawab, namun berdasarkan Pasal 161a, seseorang dapat dihukum berat karenanya di Hindia Belanda. Menteri Provinsi juga menemukan alasan untuk melabeli penasihat mahasiswa Belanda sebagai mata-mata dan mengutuk kasus di mana orang tua seorang mahasiswa diduga dipaksa untuk berhenti mengirimkan uang kepadanya!” terang Haji Agus Salim yang disambut dengan gemuruh tepuk tangan.

Akhirnya, Haji Agus Salim di sesi akhirnya, menegaskan bahwa seharusnya mahasiswa di negeri kincir angin itu mendukung Perhimpunan Indonesia, yang melakukan perjuangan di Belanda untuk kebebasan Hindia (baca: Indonesia).

Sociaal-Democratische Arbeiderspartij (SDAP) tegas Agus Salim, harus dianggap sebagai satu-satunya partai Belanda yang menaruh harapan untuk pergerakan di Indonesia. Friksi antara PI dan SDAP, menurut Agus Salim tidak lebih dari perseteruan pribadi. Meskipun Agus Salim telah membangun kesadaran dari peserta konferensi – terutama mengenai nasib dari Hindia Belanda, Bataviaasch Nieuwsblad mengritik ketidak hadiran dari Agus Salim menghadiri kongres kolonial SDAP.

Pidato Agus Salim yang dituding banyak surat kabar, telah “menelanjangi” Belanda, menjadi bahan pemberitaan. Kesan mendalam dari kehadirannya di Konferensi Buruh se-Dunia itu mendorong Federasi Serikat Buruh Belanda mendesak pemerintah untuk menambahkan seorang penasihat. “Selain Bapak J.J Schriecke dan Anggota Dewan Djajadiningrat, ke dalam delegasi konferensi buruh Belanda di Jenewa, untuk membahas isu kerja wajib. Pilihan jatuh pada Haji Agus Salim”, demikian (Het Vaderland, 24 Mei 1929).

Surat kabar Het Vaderland bahkan mengklaim Wakil Ketua CSI itu sebagai tokoh gerakan pribumi yang terkenal dan militan. Lebih lanjut, Het Vaderland menulis, “Bapak Salim adalah wakil ketua Sarekat Islam dan seorang pan-Islamis yang gigih. Beliau pernah menjadi anggota Volksraad selama beberapa tahun sebelum Sarekat Islam memutuskan untuk menarik perwakilannya di Volksraad.”  

Setelah kembali dari konferensi, Agus Salim mengabdikan dirinya selaku jurnalis. Ia pun memimpin pers Fadjar Asia – yang menjadi corong politiknya Partai Sarekat Islam (PSI). Masih pada 1929, ketika ia terpilih sebagai anggota Asosiasi Sosial Demokrat Hindia selama beberapa waktu, ia dipaksa mengundurkan diri, ketika keanggotaan organisasi politik lain dinyatakan tidak sesuai dengan keanggotaan Sarekat Islam.

Kapasitasnya sebagai delegasi untuk membicarakan buruh di Jenewa, menurut de Sumatra Pos tidak diragukan. Menilik pada pengalaman Agus Salim di konsulat Hindia Belanda di Jeddah, termasuk kemahirannya menguasai bahasa Inggris dengan baik, menjadikan putra Nagari Koto Gadang itu digadang-gadang pantas untuk berbicara di depan forum  internasional.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat