ILUSTRASI | Republika/Daan Yahya

Opini

R&D, Alasan di Balik Tingginya Harga (dan Performa) Sistem Pertahanan

Biaya R&D bukan hanya untuk membuat sistem pertahanan yang tampak canggih dari luar.

Oleh: Protasius Isyudanto*)


Sistem pertahanan modern sering kali memiliki harga yang sangat mahal. Pengadaan pesawat tempur, kapal perang permukaan, atau sistem pertahanan udara bisa menelan biaya jutaan dolar Amerika Serikat (AS). Itu pun belum termasuk beban operasional yang juga tidak kecil.

Hal ini memicu pertanyaan penting, terutama bagi negara-negara dengan anggaran pertahanan yang terbatas: mengapa suatu negara harus mengeluarkan dana sebesar itu jika tersedia alternatif yang lebih terjangkau di pasar global?

Bagi Indonesia yang memiliki ruang fiskal sempit untuk urusan pertahanan, opsi dengan biaya murah pantas untuk dipertimbangkan.

Namun, narasi tersebut kerap mengabaikan satu aspek krusial: peran strategis penelitian dan pengembangan (research and development/R&D) dalam mendorong inovasi dan daya saing.

Platform tempur modern bukan sekadar kumpulan logam, mesin, atau senjata, melainkan hasil akhir dari riset panjang, eksperimen berulang, serta program pengujian yang dapat berlangsung puluhan tahun. Biaya R&D ini melekat pada setiap unit sistem pertahanan yang diproduksi dan menjelaskan tingginya harga suatu sistem pertahanan dibandingkan alternatif murahnya.

photo
F-35A - (Wikipedia)

Sebagai gambaran, program R&D pesawat tempur F-35 Lightning II memakan waktu dua dekade dan menghabiskan biaya Rp1,1 kuadriliun (71 miliar dolar AS) sebelum unit operasional pertamanya berhasil diproduksi. Investasi awal yang sangat besar ini menghasilkan terobosan dalam stealth shaping, material radar-absorbing, mesin generasi baru, dan sensor yang terintegrasi.

Ini bukan sekadar peningkatan bertahap, melainkan inovasi yang secara fundamental mengubah kemampuan bertahan dan sekaligus efektivitas tempur. Karena itu, meskipun desain pesaing, seperti J-35 buatan Tiongkok atau Su-57 dari Rusia, ditawarkan dengan harga pengadaan yang lebih rendah, keduanya belum mampu menunjukkan tingkat integrasi maupun kematangan operasional di medan perang yang setara.

Perlu diingat bahwa biaya R&D bukan hanya sekedar untuk membuat sistem pertahanan yang tampak canggih dari luar. Dana ini digunakan untuk proses uji coba panjang yang memastikan suatu platform dapat bertahan, bahkan dalam situasi yang paling berat.

Pesawat diuji dengan simulasi getaran kencang, radar dihadapkan dengan serangan pengacau sinyal, sementara kapal selam menjalani uji tekanan laut dalam. Setiap eksperimen dan penyesuaian desain memang menambah biaya, tetapi penting untuk memastikan suatu sistem dapat berfungsi dan bertahan di medan tempur.

Ketahanan inilah yang jarang dimiliki produk berbiaya rendah, sehingga meningkatkan risiko kegagalan dalam pertempuran.

Hasil nyata dari R&D juga terlihat dari integrasi subsistem suatu platform. Dalam perang modern, yang menjadi penentu bukanlah kemampuan masing-masing radar, rudal, atau mesin, melainkan sinergi seluruh subsistem tersebut.

photo
JS Mogami (FFM-1) - (Wikipedia)

Oleh karena itu, proses R&D untuk menyempurnakan sistem manajemen tempur, algoritma fusi data, dan jalur komunikasi yang aman dapat memakan waktu bertahun-tahun, seperti dalam pengembangan fregat FDI/Belh@rra.

Platform ini mengintegrasikan manajemen perangkat halus pertahanan siber langsung ke dalam sistem data inti kapal—sebuah fitur yang sudah dirancang sejak tahap awal desain, bukan hanya tambahan belaka. Hasilnya, sistem ini dapat bertahan dari serangan siber yang dapat melumpuhkan kapal dengan perlindungan lebih rendah.

Demikian pula, Australia tertarik dengan fregat kelas Mogami milik Jepang bukan karena kualitas rangka atau persenjataannya, tetapi lantaran pusat informasi pertempuran terintegrasinya yang merupakan hasil R&D Jepang dalam digitalisasi dan otomatisasi. Sistem ini menyatukan navigasi, persenjataan, dan operasi kapal dalam sebuah layar digital 360 derajat, sehingga Mogami dapat memangkas kebutuhan kru kapal dari 160 menjadi 90. Efisiensi sumber daya manusia ini sangat berharga, khususnya mengingat penurunan rekrutmen militer akhir-akhir ini.

Sebaliknya, platform dengan biaya R&D terbatas kerap menemui kendala ketika dioperasikan.

Misalnya, ada alasan kuat mengapa tank tempur utama Leopard 2 yang dibuat Jerman—terutama versi A7-nya—merupakan yang termahal di kelasnya, dengan harga lebih dari Rp131 miliar (8 juta dolar AS) per unit. Harga ini mencerminkan proses R&D panjang dalam pembuatan lapisan baja komposit modular, sistem kendali tembak digital modern, integrasi komando dan kendali (C2), dan lain-lain.

Sementara itu, seri T-90 buatan Rusia—yang dijual setengah harga dari Leopard 2—hanyalah seri T-72 yang diperbarui. Meskipun terjangkau, kurangnya proses R&D melemahkan daya tahannya terhadap senjata anti-tank mutakhir serta membuatnya berumur pendek karena keterbatasan potensi modernisasi.

 
Walaupun dapat menghemat anggaran di awal, platform murah tidak memiliki ketahanan dan potensi modernisasi yang hanya dapat dicapai melalui proses R&D.
 
 

Dengan perkataan lain, harga rendah suatu sistem pertahanan sering kali menutupi biaya tersembunyi. Walaupun dapat menghemat anggaran di awal, platform murah tidak memiliki ketahanan dan potensi modernisasi yang hanya dapat dicapai melalui proses R&D.

Dalam perang, kekurangan ini tidak hanya akan menyebabkan kehilangan peralatan tempur, tetapi juga sumber daya manusia. Bagi sebuah negara seperti Indonesia, kerugian semacam ini dapat berdampak besar pada kapasitas strategis dalam perlindungan kedaulatan.

Pada akhirnya, biaya pengadaan sistem pertahanan yang tinggi merupakan cerminan dari investasi intelektual dan industrial selama puluhan tahun—termasuk ribuan insinyur, serangkaian purwarupa yang gagal, serta eksperimen dan penyempurnaan yang panjang.

Biaya R&D memang membuat setiap unit sistem pertahanan tampak mahal, tetapi sekaligus menjadikannya lebih efisien, andal, dan mampu beroperasi dalam jangka waktu panjang.

Bagi Indonesia, kenyataan ini memunculkan suatu dilema.

Opsi berbiaya rendah mungkin tampak menarik di atas kertas. Namun, kekurangan R&D yang substantif di baliknya justru berisiko menimbulkan biaya yang jauh lebih besar di kemudian hari, baik dalam bentuk kerusakan, keusangan, maupun korban jiwa.

Sebaliknya, sistem yang tercipta dari investasi R&D berkesinambungan memang akan membebani anggaran di awal, tetapi menghadirkan berbagai keunggulan strategis, termasuk kemampuan mencegah serangan dan bertahan di lingkungan yang paling ekstrem sekalipun.

 

*) Protasius Isyudanto adalah policy analyst paad PT Semar Sentinel Indonesia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Abu Nawas, Sang Sufi Jenaka dari Abbasiyah

Ia berkawan baik dengan sultan Abbasiyah, Harun al-Rasyid.

SELENGKAPNYA

Huru Hara di Dalam dan di Luar Diri

Jika kita tak mendengar mereka, huru hara akan terus bergema.

SELENGKAPNYA

Mabes Polri: Jakarta Kondusif

Suasana di Jakarta terlihat lengang.

SELENGKAPNYA