Nadirsyah Hosen | Dokumen Pribadi

Hiwar

Khauf dan Raja' Mesti Seimbang

Keseimbangan antara khauf dan raja' sesuai dengan ajaran ahlus sunnah wa al-jama'ah.

NADIRSYAH HOSEN, Intelektual Muda Nahdlatul Ulama

 

Pandemi virus korona baru (Covid-19) mengubah wajah dunia saat ini. Indonesia pun tak luput dari persebaran Covid-19. Umumnya, orang-orang mewaspadai virus tersebut. Namun, ada pula yang ketakutan atau bahkan panik. Barangkali, hal itu disebabkan jumlah korban jiwa akibat terinfeksi Covid-19 tidaklah sedikit. Dalam bahasa agama, rasa takut diistilahkan dengan khauf.

Menurut intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) Nadirsyah Hosen PhD, munculnya khauf dalam situasi pandemi cukup wajar. Akan tetapi, perasaan itu hendaknya disertai pula dengan keyakinan memiliki harapan (raja'). Lebih lanjut, keseimbangan antara khauf dan raja' sesuai dengan ajaran ahlus sunnah wa al-jama'ah (aswaja). "Jadi, ahlus sunnah wa al-jama'ah itu posisinya adalah tawasuth, tengah-tengah, antara khauf dan raja'," ujar pakar syariat sekaligus dosen pada Monash University Australia itu.

Berikut adalah petikan wawancara wartawan Republika, Muhyiddin, dengan sosok yang akrab disapa Gus Nadir itu baru-baru ini.

 

Bagaimana situasi pandemi Covid-19 dijelaskan menurut perspektif Islam?

Kita tahu, ada lima prinsip dalam maqashid al-syariah. Ada yang memang harus didahulukan dalam kondisi wabah seperti Covid-19 ini. Para ulama berdiskusi dari kelima hal yang harus kita jaga dalam syariat Islam. Di antaranya, ada hifdzud din (menjaga agama) dan hifdzun nafs (menjaga jiwa). Sebagian ulama ushul fikih ada yang mengatakan, yang harus didahulukan adalah hifdzu nafs, baru kemudian hifdzu din. Bahkan, ada yang menaruh hifdzud din paling belakang.

Konsekensinya, jika terjadi benturan antara persoalan menjaga agama dan menjaga diri kehidupan kita, mana yang harus dimenangkan?

Dalam hal ini, para ulama ada yang memilih hifdzun nafs itu diutamakan. Mereka berargumen, misal, saat sedang puasa kondisi kita sakit. Ayat Alquran mengatakan, boleh kita untuk membatalkan puasa. Artinya, kalau ada pertimbangan medis, kondisi kita tak sanggup berpuasa atau kalau berpuasa ternyata bisa menimbulkan bahaya buat kesehatan kita, maka agama memberikan opsi untuk tidak berpuasa. Tentu, (puasa) harus diganti di hari lain.

Begitu juga kewajiban beribadah haji. Saat kondisi tidak aman, kewajiban itu bisa menjadi gugur sehingga ditunda ke tahun berikutnya. Para ulama klasik sudah menyampaikan ini. Maka berdasarkan contoh-contoh itu, sebagian ulama mengatakan, hifdzun nafs harus diutamakan. Cuma, mereka membuat redaksi yang berbeda.

Salah satu redaksinya adalah shihatul abdan muqaddamatun ala shihatil adyan. Kesehatan badan lebih diutamakan daripada keselamatan agama. Dengan kata lain, hifdzun nafs didahulukan ketimbang hifdzud din ketika terjadi benturan di tengah (wabah) Covid-19.

 

Ini berkaitan juga dengan imbauan shalat di rumah?

Salah satu kaidahnya, tadi. Jika ada kemudian kemaslahatan di sana, tapi juga ada mafsadat atau kemudaratan, maka dalam kondisi tertentu kita harus menghindari kemudaratan dibanding mengambil maslahat.

Mungkin, kalau dalam bahasa policy pemerintah saat ini, kita harus menyelamatkan jiwa manusia lebih dulu dibandingkan mencari keuntungan ekonomi. Sebab, ekonomi bisa kita hidupkan kembali, tetapi manusia yang wafat tak bisa kita hidupkan kembali. Kira-kira begitu.

 

Namun, beberapa masih beribadah atau aktivitas seperti biasa?

Jadi, aswaja itu posisinya adalah tawasuth, di tengah-tengah antara khauf dan raja'. Di tengah-tengah, antara kita itu merasa takut dengan takdir atau ketentuan Allah, siksa dan azab Allah, tetapi dalam diri kita juga ada raja' atau harapan akan pertolongan dan rahmat Allah. Jadi, kita harus di tengah-tengah antara khauf dan raja'.

Begitu juga antara takdir dan tawakal, atau antara takdir dan ikhtiar. Hendaknya juga kita berada di tengah. Jadi, kita tak boleh lari dari takdir, tetapi kita juga tak boleh berputus asa sehingga enggan ikhtiar. Kita bukan jabbariyah, dan bukan pula qadariyah. Aswaja itu tengah-tengah.

Adalah ketentuan Allah, memang bahwa ada banyak yang wafat karena wabah. Namun, kalau kita takut berlebihan, juga tidak baik. Pada saat yang sama, terlalu percaya diri pun akhirnya tidak bagus sebab justru bisa menjadi ngeyel. Misal, kawan-kawan yang masih ingin menyelenggarkan shalat Jumat, shalat berjamaah, tahlilan, atau bahkan resepsi pernikahan di tengah wabah seperti ini.

 

Seperti apa sikap antara khauf dan raja'itu?

Untuk mengetahui bahwa kita ada di tengah antara khauf dan raja', kita butuh ilmu. Di sinilah pentingnya para ulama menjelaskan kepada kita semua para santri dan juga jamaah. Misalnya, tentang kewajiban shalat Jumat. Terus terang, saya tidak mengerti mengapa sekarang banyak pihak cenderung ngeyel, tetap shalat Jumat di tengah wabah.

Padahal, hadis Nabi SAW telah menjelaskan, ketika badai hujan sehingga saat itu Madinah menjadi becek maka hadis Nabi mengatakan, ya sudah shalat di rumah saja. Jadi, kewajiban shalat Jumat itu menjadi gugur karena uzur syar'i. Para ulama sudah menjelaskan ini. Imam Suyuthi, misal, dalam kitabnya, Al-Asybah wa an-Nazhair, juga sudah membahas berbagai contoh-contoh.

Namun, ini tak berarti di tengah (wabah) Covid-19 kemudian kita tidak shalat. Hanya saja, shalat Jumat itu diganti dengan shalat zhuhur. Seperti juga ketika batal berpuasa (Ramadhan) karena sakit. Bukan kemudian puasanya ditiadakan, tetapi diganti di hari-hari lainnya.

Begitu fleksibelnya Islam! Kita sendiri yang kadang bikin ribet sebetulnya. Lain halnya kalau ada fatwa yang mengatakan, tidak boleh shalat lima waktu. Nah, itu jelas tidak benar sebab shalat itu kewajiban. Namun, kalau shalat Jumat ini, kan sebetulnya para ulama sendiri masih berdebat, apakah ini fardhu ain atau fardhu kifayah. Bahkan, satu riwayat dari mazhab Maliki menyatakan, itu hanya sunah sehingga masih bisa diganti dengan shalat zhuhur.

 
Jadi, agak aneh kalau masyarakat dengan alasan khawatir terhadap virus ini justru menolak jenazah.
 

 

Dalam situasi pandemi ini, apa yang hendaknya kaum Muslimin renungkan menurut Anda?

Saya kira, ada hikmah untuk lebih dekat kepada Allah. Saya kira, ini pandangan yang sangat jernih. Memang, selalu ada hikmah dari berbagai ketetapan Allah. Yang dulunya kita terlalu sibuk di luar, sekarang ada kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga. Kemudian, kita juga bisa beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Yang paling penting menurut saya, sebetulnya dalam setiap ibadah yang Allah perintahkan kepada kita itu ada ajaran untuk berdiam. Misalnya, tumakninah dalam shalat. Di ibadah haji, ada wuqufnya. Bahkan, puasa itu juga berarti menahan diri.

Jadi, sebetulnya sekarang kita sedang diajari untuk lebih banyak menahan diri. Biasanya, yang makannya di luar selama ini akhirnya makannya di rumah, makan bareng keluarga. Jadi, banyak hikmahnya sebetulnya.

Hikmah lainnya, menurut saya, adalah ilmu kita sekarang bertambah. Sebab, di tengah wabah korona ini kita menjadi tahu masalah takdir. Kita menjadi tahu masalah kaidah fikih. Juga, sekarang kita menjadi tahu bagaimana soal penghormatan terhadap jenazah.

Apa yang disampaikan Pak Kiai Said Aqil (Ketua Umum PBNU) saya kira sudah sangat tepat. Kita memang wajib untuk menghormati jenazah. Sebetulnya, protokol dari Kementerian Kesehatan juga sudah jelas tentang bagaimana menangani jenazah yang terkena korona secara aman.

Jadi, agak aneh kalau masyarakat dengan alasan khawatir terhadap virus ini justru menolak jenazah. Sebab, penanganan sudah dilakukan dengan sangat hati-hati. Selain dibungkus dengan kain kafan, jenazah juga dibungkus dengan plastik, kemudian petinya juga khusus. Sebetulnya, tidak perlu ada penularan.

Mungkin, para tokoh masyarakat dan ulama harus menjelaskan, itu bukan salah pasien. Ini (terkena Covid-19) bukan sebuah aib. Bahkan, dalam hadis juga telah dijelaskan mengenai orang-orang yang mati syahid. Jadi, mati syahid itu bukan hanya kalau gugur dalam pertempuran. Jihad pun bukan hanya berperang.

Misal, sedang menuntut ilmu lalu tertabrak dan meninggal, ia juga mati syahid. Begitu juga orang yang bekerja mencari nafkah buat keluarganya dengan niat ibadah. Kalau ia meninggal, itu juga mati syahid. Orang yang hamil kemudian meninggal, itu juga mati syahid. Orang yang tenggelam, ia mati syahid. Bahkan, orang yang terkena wabah, kata hadis Nabi, itu juga mati syahid.

Jadi, mati syahid yang dimaksud ini adalah bukan seperti orang berperang yang jenazahnya rusak sehingga tidak perlu dimandikan lagi. Tetap diberikan penghormatan dengan dimandikan. Hanya saja, nanti di akhirat ia insya Allah akan masuk surga tanpa hisab.

Ini luar biasa bentuk penghormatan Islam kepada korban. Kalau Allah saja menghormati jenazah itu tadi dan memberikan anugerah mati syahid, kok kita malah mencaci maki, menghina seperti yang di video marak beredar itu, atau bahkan menolak jenazah untuk dimakamkan? (ed:hasanul rizqa)

photo
Nadirsyah Hosen - (Dokumen Pribadi)

 

Prihatin dengan Hoaks di Medsos

Dr Nadirsyah Hosen LLM MA (Hons) PhD jauh dari kesan intelektual menara gading. Di satu sisi, cendekiawan muda ini sibuk dengan berbagai aktivitas akademis, seperti mengajar, meneliti, menulis buku serta artikel ilmiah, dan sebagainya. Namun, di sisi lain ia juga terlibat dalam berbagai organisasi masyarakat, terutama yang diwadahi Nahdlatul Ulama (NU).

Tak hanya itu, pria yang akrab disapa Gus Nadir ini juga aktif di media sosial (medsos). Dalam berbagai kesempatan, ia mendorong para dai khususnya dari kalangan warga Nahdliyin untuk menyemarakkan dakwah via medsos.

Banyak bukunya berbicara tentang etika berkomunikasi di dunia maya. Sebut saja yang terbaru, Saring Sebelum Sharing: Pilih Hadis Sahih, Teladani Kisah Nabi Muhammad SAW, dan Lawan Berita Hoaks (2019).

Melalui akun Twitter-nya, putra pendiri Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Prof KH Ibrahim Hosen (alm) itu sering ikut dalam percakapan tentang soal-soal aktual. Satu hal yang membuatnya prihatin saat ini, masih banyak orang yang egoistis di tengah situasi Covid-19 kini. Mereka justru memanfaatkan emosi massa untuk kepentingan diri dan golongan sendiri.

"Saya tidak mengerti, kenapa sering kali banyak yang mau jualan emosi massa? Misalnya, di waktu awal-awal penyebaran virus korona, beredar video bahwa orang-orang di Wuhan itu shalat Jumat katanya sampai banyak sekali yang hadir, dan orang non-Muslim juga ikut shalat, dan katanya mereka tidak ada yang terkena virus," tutur Gus Nadir kepada Republika saat dihubungi dari Jakarta belum lama ini.

Ia meneruskan, video tersebut lantas tersebar luas dan ditafsirkan sedemikian rupa. Alhasil, ada yang bilang, kalau begitu, orang jangan dilarang ke masjid. Justru di masjid orang bisa selamat. Padahal, lanjut Gus Nadir, sejumlah kawannya yang saat itu masih ada di Wuhan, Cina, menjelaskan, video yang dimaksud hanyalah hoaks. "Itu video beberapa tahun sebelumnya, bukan saat peristiwa korona," kata dia.

Tetap saja, lanjut Gus Nadir, sejumlah public figure yang memiliki akun media sosial dengan follower banyak lantas menjual konten itu. Menurut dia, apa yang dilakukan oleh mereka tak sekadar menyebarkan informasi yang keliru. Mereka juga telah membuat banyak orang keliru dalam merespons pandemi Covid-19.

Sebagai contoh, lantaran menonton video itu beberapa orang menyimpulkan, cukup dengan menjaga wudhu maka diri seorang Muslim dapat terhindar dari Covid-19. Di satu sisi, ia menegaskan, wudhu memang mengandung makna spiritual, tak sekadar membersihkan diri dari hadats. Namun, tentu saja hal itu tak cukup untuk menangkal virus.

photo
Warga berjemur dengan latar belakang mural (lukisan dinding) komik antihoaks di Kampung Hepi, Joho, Manahan, Solo, Jawa Tengah, Selasa (7/4/2020). - (ANTARAFOTO)

"Berwudhu ya silakan, tetapi kemudian hand sanitizer-nya, sabunnya, maskernya atau jaga jaraknya juga diterapkan. Tuntunan agama dijalankan, imbauan pemerintah dan dokter juga kita jalankan. Enak sebetulnya," kata Gus Nadir.

Jadi, ini memang antara yang mana persoalan agama, yang mana persoalan medis, itu sering dibenturkan. Apalagi, lewat berita-berita hoaks seperti tadi itu. "Padahal, menurut saya, keduanya tidak perlu dibenturkan," sambung dia.

Gus Nadir mengatakan, kecenderungan orang untuk ngeyel pun ditemukan tak hanya di tengah masyarakat Tanah Air, tetapi juga luar negeri. Ambil contoh, Australia, negara tempatnya bekerja saat ini. Pemerintah setempat telah mengimbau warga untuk tetap di rumah selama pandemi Covid-19.

Tapi ternyata masih banyak yang ngawur. Bahkan, di Sydney itu ramai-ramai ke pantai saat cuacanya panas, dan itu menjadi viral di medsos. "Keesokan harinya, pemerintah marah dan langsung menutup pantai itu. Sekarang, ada denda mulai dari 15 ribu sampai 25 ribu dolar kalau orang keluar rumah," ujar dia.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat