|

Sastra

Pada Suatu Hari, Ada Nenek dan Penguasa 

Cerpen Rusmin Sopian 

Oleh RUSMIN SOPIAN

 

Di sebuah Gang Kecil, di sebuah Kota yang sedang menggeliat membangun atas nama kesejahteraan rakyat, teriakan demi teriakan berbungkus makian hingga tetesan airmata menjadi pemandangan biasa yang bisa dilihat bahkan dipertontonkan kepada publik. 

Di kawasan pemukiman padat itu, di deretan gedung-gedung raksasa yang menghiasi Kota, suara perlawanan dari warga kecil hingga air mata yang mengering dari kaum lemah seolah-olah sudah menjadi diorama nyata sebuah epilog kehidupan di sebuah Kota dengan mengatasnamakan pembangunan untuk kepentingan masyarakat luas.

"Kalau kita semua lemah, maka penguasa arogan itu akan memakan kita hingga perut kita terurai di jalanan. Dan itu yang mereka inginkan," teriak seorang warga di hadapan para pemetik air mata kehidupan yang terkulai didepan reruntuhan bangunan rumah mereka yang kini telah bersatu padu dengan tanah. Tanah air mereka.

" Betul sekali. Kita jangan lemah. Kita harus kuat. Dan yang paling penting, kita semua harus bersatu melawan kezaliman ini," sambung seorang warga yang bertopi.

"Lantas apa yang bisa kita perbuat?," tanya seorang warga dengan nada sesenggukan menahan tangis. 

"Lawan! Hanya satu kata buat penguasa arogan itu, lawan!" teriak warga yang lain dengan nada suara garang.

"Setuju," koor warga serentak sembari mengepalkan tangan ke atas.

Malam itu adalah malam ketiga para warga kawasan sudut Kota itu tidur beralaskan tanah dengan beratapkan cahaya rembulan yang makin melayu. Selayu kehidupan mereka sebagai warga kaum lemah.

Di hamparan sisa-sisa reruntuhan bangunan roboh  yang membentang, para warga tidur bak jemuran ikan asin. 

Tampak pula sejumlah anak-anak balita dalam gendongan ibu-ibu yang tiap menit selalu rewel.  Tangis mereka saling bersahutan. Desingan nakal suara nyamuk yang bergemuruh datang menyerbu ke kuping hingga mengisap sekujur tubuh mereka dengan lahapnya tanpa ampun.

Suara rewel tangisan anak-anak balita itu amat harmoni bak lagu klasik Mozart yang bersenandung lembut dalam ruangan kerja Pak Penguasa Negeri, dimana malam itu para kelompok penyokong sedang berkumpul di ruang kerja Pak Penguasa Negeri yang berdesain interior mewah.

"Kalian harus bisa memainkan tempo ke publik sehingga terkesan saya yang terzolimi oleh ulah masyarakat. Itu harus diatur sedemikian rupa sehingga skenario ini tak terasa rekayasanya oleh publik dan Bos  Besar di atas," Pak Penguasa Negeri memberikan wejangan.

"Siap Pak Penguasa Negeri. Pokoknya Bapak serahkan semuanya kepada kami, para penyokong mu ini," jawab seorang penyokong yang berkepala botak.

" Toh ujung-ujungnya mereka para penyuara perlawanan itu pasti butuh ini,"ujar seorang penyokong lainnya sambil menggesekkan jari jempolnya dengan telunjuk yang membuat para penyokong lainnya ketawa terbahak-bahak hingga suara mereka menembus jantung para balita yang sedang rewel. 

Para balita dalam pengungsian itu pun seketika terdiam sejenak. Tidak ada tangis lagi. Tidak rewel lagi. Terlelap dalam gendongan Ibunya.

Sudah tiga hari ini,  para warga tidak berdemonstrasi di halaman Kantor Pak Penguasa Negeri. Aparat keamanan tetap siaga berjaga di halaman Kantor yang berdesain mewah dan berarsitektur kekinian. 

Dan sudah tiga hari ini pula kondisi hunian para warga terbebas dari deru suara mesin excavator yang siap mencakar dan derap langkah Buldozer yang siap meratakan bangunan yang masih tersisa.

Sudah tiga hari ini pula tak ada para aparat yang datang ke lokasi hunian warga yang sebagian telah berbaur dengan tanah dan bercampur dengan air mata, bahkan darah.

Sejumlah pertanyaan pun muncul di benak para warga dan para aktivis kemanusian yang secara sukarela mengadvokasi para warga dengan semangat empat lima.

"Kita jangan terlena. Dibalik diamnya aksi arogan mereka tersimpan aksi busuk. Kita harus waspada," ungkap seorang warga dengan lantang.

"Ya. Kita harus waspada," sambung warga yang lain. 

"Dan kita jangan terlena," saran warga lainnya.

" Setuju. Kita jangan terlena dan tetap kompak. Satu komando," ujar warga yang memakai kacamata hitam.

Ketiadaan aktivitas deru mesin alat berat di pemukiman warga hingga hari ketujuh membuat sejumlah masyarakat seolah-olah mulai terlena. 

Mereka kembali membangun rumah mereka dengan alat apa adanya. Dari  sisa-sisa bangunan yang masih layak dipakai.

Yang penting dalam pikiran warga, mereka bisa berdiam dan berteduh dari gencarnya serangan mentari yang datang menyerang pada pagi hari dan mampu melawan dinginnya  cuaca malam yang kadang menyerang balita mereka. Membuat tubuh balita mereka menggigil.

"Pak Penguasa Negeri. Taktik kita berhasil. Para  warga kembali membangun rumah mereka," lapor seorang penyokong lewat telepon pintar berharga satu buah rumah.

"Kalian tunggu perintah saya. Jangan main serabutan. Saya sudah mendapat teguran dari Bos atas," tegas Pak Penguasa Negeri dari dalam mobilnya yang berlari kencang membelah jalanan Kota yang macet dengan dukungan pasukan khusus pembuka jalan.

Tidak adanya aksi pembongkaran terhadap hunian para warga hingga hari ke-30 membuat para warga kembali bertanya-tanya. 

Sejuta tanya kembali menggumpal dalam otak kecil mereka yang lemah dan papa itu.

"Ini ada yang tak beres. Kok tak ada aksi lagi dari kelompok Pak Penguasa," ujar seorang warga sembari bertanya saat para warga berkumpul di sebuah tempat yang mereka sebut Posko Darurat.

"Intinya, kita harus waspada. Kita jangan mengikuti irama permainan mereka yang gampang berubah," saran warga yang lainnya. 

Para warga mengangguk.

Malam semakin menjauh. Menyusut. Menuruni langit. Cahaya terang matahari siap untuk mengambil alih tugas untuk menerangi bumi dan para penghuninya. Tidak terkecuali menerangi hati manusia yang dilanda kerakusan dan haus kekuasaan semu.

Saat cahaya matahari perlahan mulai menaiki langit, seorang lelaki berpenampilan flamboyan yang biasa dipanggil Pak Penguasa Negeri dengan disertai para pengawalnya yang berbadan tegap bak beton penyangga tiang Kota,  sedang mendengarkan wejangan dari seorang wanita tua yang rumahnya tak jauh dari parkiran kumpulan alat berat.  

Kedatangan rombongan Pak Penguasa Negeri dan rombongan kecilnya  tak diketahui sama sekali oleh para warga. 

Maklum, Pak Penguasa Negeri itu hapal betul dengan lokasi daerah itu. Dia tahu betul lekuk kawasan pemukiman itu sehingga kedatangannya ke kawasan pemukiman yang dijuluki kumuh itu tidak diketahui warga yang lainnya.

"Kamu mestinya paham,  bahwa ada Ibumu yang renta ini menghuni daerah ini. Kok teganya kamu mau menggusur orang tuamu sendiri," ungkap seorang wanita tua  dengan nada suara keras.

"Ibu sudah saya sarankan untuk pindah dari lokasi ini. Saya sudah siapkan rumah yang bagus untuk Ibu. Ini lokasi tak sehat,Bu," jelas Pak Penguasa  Negeri dengan nada suara yang terdengar amat pelan. Bahkan hampir tidak terdengar di kuping para pengawalnya.

"Dari lokasi yang tak sehat ini lah kamu dilahirkan dan dibesarkan hingga kamu bisa jadi seorang penguasa negeri. Apa kamu lupa bahwa di daerah ini ada makam Bapakmu? Kakekmu dan sejumlah keluarga lainnya dimakamkan disini. Bahkan kami bisa menyekolahkan kamu dari areal tak sehat ini. Sejarah mu ada disini. Bukan disana," ungkap wanita tua itu sembari menunjuk sebuah gedung besar sambil meninggalkan lelaki itu. 

Pak Penguasa Negeri bergegas mengejar wanita tua itu hingga ke belakang rumah dengan diikuti para pengawalnya. 

Narasi minta maaf dan minta ampun pun terus digemakan Pak Penguasa Negeri dengan disaksikan para pengawalnya. Namun wanita itu tak menggubrisnya sama sekali.

Tangan tuanya sibuk mengerek timba dari dalam sumur. Bantuan dari pengawal Pak  Penguasa Negeri  pun ditolaknya.

"Kalian tak perlu membantu saya. Yang perlu kalian bantu itu adalah anak saya yang sudah rakus kekuasaan dan uang," ucap wanita tua itu yang merupakan Ibu Pak Penguasa Negeri.

Seketika para pengawal Pak Penguasa Negeri pun langsung mundur teratur. Menjauh.

Usai menimba air dalam sumur, wanita tua itu kembali duduk di halaman depan rumahnya yang telah dikepung alat-alat berat. 

"Kalau kamu memang ingin mengabdi kepada orang tuamu, usir alat-alat ini dari lokasi tempatmu lahir," pinta wanita tua itu kepada Pak Penguasa negeri. 

"Baik, Bu," jawab Pak Penguasa Negeri  sambil menciumi tangan wanita tua itu. Lalu bergegas pergi  dengan wajah yang memerah.

Di ruangan kerjanya yang mewah berarsitektur terkini, Pak Penguasa Negeri tampak bengong. Ada kegelisahan yang menjalari sekujur tubuhnya. Ada kebimbangan yang mengaliri jiwanya.

Dia teringat masa kecilnya hingga dewasa di kawasan yang akan digusurnya. Sebuah kawasan yang dipenuhi keakraban sesama penghuni. 

Sebuah kawasan pemukiman yang saling memanusiakan diri sesama manusia. Saling bahu-membahu. Saling menguatkan antar sesama penghuni. Tempat dulu dia hidup dan berkehidupan. 

Dia teringat dengan sahabat kecilnya yang rumahnya telah di cabik belalai escavator. Dia teringat dengan rumah Bombom,  sahabat kecilnya yang membela dirinya saat akan dihajar pelajar dari sekolah lain yang kini telah rata digeruduk buldozer hingga rata dengan tanah. 

Dia teringat dengan Pak Ustad, guru ngajinya. Dia teringat dengan Masjid yang berada di kawasan yang akan digusurnya. Dimana setiap menjelang waktu sholat tiba, dia bergegas untuk memukulnya. Dia teringat dengan makam Ayah dan keluarga besarnya yang berada di kawasan itu.

Dia teringat.

Surat perintah pembongkaran lahan yang ada di depan matanya memunculkan wajah Ibunya yang telah menua dimakan usia. 

Seorang wanita yang berjiwa humanis dan penuh kasih sayang yang telah membesarkannya hingga menjadi seorang Penguasa. 

Seorang Ibu yang mengajarkan anak-anaknya untuk menjaga nurani. Seorang ibu yang disapa Nenek oleh semua warga di kawasan itu. Orang tua yang dermawan bagi warga sekitarnya. 

Dengan reflek surat perintah pembongkaran paksa itu pun langsung di sobeknya. 

Krakk...

Krakk...

Krak...

Lalu sobekan kertas itu dimasukkannya ke dalam tempat sampah yang ada di ruang kerjanya. 

"Pak Komandan. Batalkan rencana pembongkaran lahan itu. Kita harus cari solusi lain agar mereka para penghuni daerah itu menjadi kawasan yang sehat walaupun mereka menghuni daerah itu. Kita harus lahirkan kebijakan yang humanis. Penggusuran bukan solusi yang tepat. Penggusuran malah menimbulkan persoalan baru " perintahnya kepada Komandan penggusuran lewat handphone.

Para warga kaget setengah mati saat menyaksikan puluhan alat berat yang selama ini telah akrab dengan hunian dan kehidupan mereka, kini berangsur-angsur mulai meninggalkan  lokasi hunian para warga. 

Secara perlahan-lahan, alat berat eskavator mulai meninggalkan kawasan yang telah diakrabinya dalam sebulan ini. 

Dan secara berangsur-angsur pula,  Buldozer mulai meninggalkan kawasan pemukiman warga yang di stempel sebagai kawasan kumuh itu.

Teriakan gembira berbungkus kebahagiaan pun meluncur dari mulut-mulut para warga hingga meramaikan jagad raya yang makin ramai. 

Ucapan sakral Allahu Akbar pun bergema. Mereligiuskan semesta. Para warga bersujud. Air mata bahagia mengaliri tanah. 

Malam terang benderang. Ribuan bintang turut meramaikan malam itu. Kunang-kunang pun menari-nari dilangit. Menghiasi malam yang indah berbalut kegembiraan. 

Malam yang istimewa , bahkan teramat istimewa bagi warga Kampung. 

Ya, itu adalah malam yang istimewa untuk mereka.

Di kejauhan, seorang wanita yang akrab disapa Nenek oleh warga setempat bahagia menyaksikan kegembiraan yang kembali dinikmati para warga Kampungnya. 

Tanpa terasa air mata tuanya menetes ke bumi. Basahi tanah kelahirannya. Tempat penguasa  negeri itu dilahirkan dan dibesarkan. Di rumah tua miliknya di kawasan yang diberikan stigma kumuh oleh Sang Penguasa Negeri itu. Dan penguasa negeri itu adalah putranya.

 

Toboali, 2025

 

Rusmin Sopian adalah Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca ( GPMB) Kabupaten Bangka Selatan. Ia dikenal pula sebagai penggiat literasi Toboali Bangka Selatan dan telah melahirkan beberapa buku kumpulan cerpen. Diantaranya Mereka Bilang Ayahku Koruptor dan Penjaga Makam yang diterbitkan oleh penerbit Galuh Patria Jogjakarta. Sekarang Rusmin Sopian tinggal di Toboali Bangka Selatan bersama istri dan dua putrinya yang cantik.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat