
Internasional
Selamatkan Gunung Penanggungan!
Ekspansi industri dan pemukiman penduduk dinilai sebagai potensi ancaman.
Upaya penyelamatan Gunung Penanggungan secara menyeluruh dinilai menjadi hal yang sangat mendesak. Hal ini perlu dilakukan karena gunung tersebut menyimpan kekayaan sejarah berupa situs-situs purbakala peninggalan masa Majapahit dan masa sebelumnya.
Dari 100 lebih situs yang ada di kawasan Gunung Penanggungan ini, bentuknya sebagian besar sudah berada dalam kondisi tak utuh. Hal lainnya lagi, ekspansi industri dan pemukiman penduduk dinilai sebagai potensi ancaman yang dapat mengganggu kelestarian kawasan Penanggungan.
“Kami rasa upaya penyelamatan ini perlu dilakukan dengan memberikan semacam zona hijau atau semacam cagar budaya bagi kawasan gunung secara keseluruhan,” kata Theophilus Hermawan, Manajer Operasional Ubaya Training Centre (UTC), yang saat ini tengah melakukan ekspedisi penyelamatan situs purbakala di kawasan Gunung Penanggungan.
Zona hijau atau peraturan berupa cagar budaya ini diperlukan, kata Theo, sebagai upaya meredam laju perubahan alih fungsi di kawasan Penanggungan. Ancaman perubahan kawasan itu sudah terlihat di wilayah utara dan timur. Di kedua wilayah tersebut aktivitas industri menjadi ancaman cukup serius.
Sementara di sisi selatan, seperti di wilayah Trawas, kata Theo, suasana alamnya masih tampak asri. “Inilah yang perlu dilakukan bagaimana sejak awal kita bisa melakukan tindakan preventif untuk melindungi kawasan yang masih lestari,” katanya.

Sebagai ikhtiar awal, Theo mengaku, pihaknya telah memiliki data terkait situs purbakala yang ada di kawasan Penanggungan dan sekitarnya. “Kedepannya kita berharap bisa melakukan sinergi dengan pihak mana saja dengan cara menjadi semacam pusat informasi terkait Penanggungan,” ujarnya.
Lisno Adi, Memelihara dengan Hati
Menekuni profesi sebagai seorang juru pelihara (jupel) sebuah kawasan pegunungan yang sarat dengan peninggalan purbakala tentunya bukan pekerjaan mudah. Namun, tantangan itulah yang membuat Lisno Adi menjadi jatuh hati. Sekitar 24 tahun ia menjalaninya dengan perasaan suka meski sesungguhnya lebih banyak duka kerap menemani pekerjaan mulia ini.
“Semuanya tergantung hati kita,” kata Lisno saat saya mengajaknya mengobrol santai di bawah pohon ceri yang ada di salah satu candi di Gunung Penanggungan. “Kalau kita ikhlas, semuanya akan enak dijalani, tidak menjadi beban,” ujarnya.
Lisno adalah salah satu dari delapan orang jupel Gunung Penanggungan dari Desa Kedungudi. Usianya kini telah masuk separuh abad. Hampir separuh masa hidupnya justru ia abdikan untuk membersihkan, merawat, bahkan terkadang harus siap bertarung nyawa menghadapi para perusak maupun pencuri material-material candi yang ada di Gunung Penanggungan.
Sebagai seorang jupel, ia memiliki aktivitas rutin untuk naik ke gunung setinggi 1.653 meter. Tugas utamanya adalah menjaga 10 candi dan lima gua. Dalam melakoni tugas, ia hanya bermodalkan sabit untuk menebas ilalang dan membersihkan rumput yang dibeli dari koceknya sendiri. Sedangkan, sepatu boots berwarna hitam ia dapatkan dari negara. Lalu, tak lupa ia selalu membawa botol berisi air minum sekitar 600 ml.

Lisno mengaku setiap hari telah meninggalkan rumah paling telat pukul 06.15 WIB. Tujuannya adalah menyambangi satu per satu candi yang ada di lereng gunung. “Memang tidak semua candi yang didatangi setiap harinya, bergilir saja dengan teman yang lain,” kata pria dua anak dan dua orang cucu itu.
Sekarang ini Lisno setidaknya bisa sedikit berbahagia dan menyimpan harapan terhadap masa depan. Setelah 16 tahun enam bulan menjalani tugas hanya sebagai karyawan honorer maka terhitung 2007 statusnya telah berubah menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Saat ini, ia menjadi PNS dengan golongan 1B dengan pendapatan per bulan tak sampai Rp 2 juta per bulan.
Dengan inflasi dan melambungnya kebutuhan hidup, Lisno tak pernah mengeluh dengan gaji. Ia justru merasa lebih bahagia dibandingkan saat masih menjadi petugas honorer. Pada dekade 1990-an awal, gaji yang ia peroleh hanya Rp 25 ribu per bulan. Pada masa itu, rokok satu bungkus seharga Rp 500. “Tapi, waktu itu gajinya harus kita ambil tiga bulan sekali di Trowulan, bahkan terkadang harus pergi dulu sampai ke Surabaya,” ujarnya.
Disadur dari Harian Republika edisi 6 Oktober 2013 dengan reportase Mohammad Akbar
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.