
Tokoh
Oedin Rahmany, Singa Podium PSII dan Guru Politik Rasuna Said
Kemampuannya menguasai emosi massa adalah kunci sukses seorang Oedin Rahmany.
Oleh FIKRUL HANIF SUFYAN; periset dan pengajar sejarah, pernah menjadi Visiting Scholar di Faculty of Art University of Melbourne
Pasca gagalnya peristiwa 16 November 1926 dan 1 Januari 1927, gerakan Kuminih di Sumatra Westkust pun padam. Sebagian mereka ada yang dihukum mati, diinternir ke Digoel, melarikan diri, maupun menyisip ke Thawalib di luar Padang Panjang. Satu di antara penggerak yang frustasi dengan kegagalan revolusi prematur itu adalah Rasuna Said. Ia memilih hengkang ke kampung halamannya di Maninjau. Di sana ia berjumpa dengan seorang tokoh penggerak Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), seorang orator dan memengaruhi orientasi politiknya Rasuna. Dialah Oedin Rahmany.
Dari Kiri ke PSII
Oedin Rahmany – demikian nama lengkapnya. Ia dilahirkan pada 1901 di Lubuk Basung, Onderafdeling Maninjau, Afdeling Oud Agam (Archieve Internee Prisoner of War No DGY 26485). Ia lebih muda enam tahun dari Ahmad Rasjid gelar Sutan Mansur (1895), namun lebih tua tujuh tahun dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah (1908) dan 15 tahun dari politisi Masyumi lainnya, Isa Anshary (1916). Mereka semuanya berasal dari tepian Danau Maninjau yang indah.
Pendidikan tradisionalnya dijalaninya di surau yang berada di kampung halamannya. Tidak hanya belajar Alquran, Oedin turut mendalami Pekah (fikih), serta ilmu silat. Sedangkan untuk sekolah formal dilaluinya di Volkschool Lubuk Basung. Setamat dari sekolah desa itu, Oedin melanjutkan studinya ke Sumatra Thawalib pada 1919. Ia menjadi murid dari Haji Rasul, Zainuddin Labay, dan Haji Ahmad Khatib gelar Datuk Batuah.
Nama yang terakhir nantinya berhasil “memerahkan” Thawalib, lewat Sarekat Rakyat, Bufet Merah, International Debating Club, dan dua pers yakni Surat Kabar Pemandangan Islam dan Djago! Djago!. Oedin pun turut dalam pergerakan merah bersama seorang lainnya Sabilul Rasad (Sumatra-bode, 8 September 1933).
Di tangan propagandis Haji Datuk Batuah dan Natar Zainuddin, Oedin Rahmany berubah menjadi seorang orator. Kemampuannya berorasi ditunjang kemahirannya menguasai persoalan yang disampaikan. Kemampuannya memilih kata dan kemampuannya menguasai emosi massa adalah kunci sukses seorang Oedin Rahmany.
Pasca ditangkapnya Haji Datuk Batuah dan Natar, Rasad dan Oedin turut serta dalam aksi Kuminih yang digerakkan oleh Haji Nur Ibrahim, Djamaluddin Tamim, dan Arif Fadillah. De Sumatra Post (10 September 1933) mencatat, bahwa Rasad dan Oedin turut menggerakkan Komunis di Pantai Barat Sumatra sebelum meletusnya peristiwa Silungkang 1927.
Pada 1925 Oedin bukan lagi seorang murid, namun telah menjadi guru di Sumatra Thawalib Maninjau. Meskipun mengajar di Maninjau, aktivitas radikalnya senantiasa menyala di Padang Panjang. Bahkan Oedin dan Rasad, kerap menggelar openbare vergadering hampir di seluruh Sumatra Westkust. “Tuan-tuan, jangan mau patuh pada Ulando yang sengsarakan Kito urang Minang. Jangan mau bayar balesting. Lawan para penghulu penjilat Belanda!” – demikian orasi Oedin di Bayur Maninjau (Tjaja Sumatra, 19 Mei 1925).
Keduanya dituding oleh Sumatra Bode dan de Sumatra post sebagai bentuk rongrongan sistematis terhadap kekuasaan negara dan rust en orde. Namun, demikianlah dalam narasi surat kabar Belanda selalu memosisikan pihak pemrotes asal pribumi sebagai “pemberontak” yang harus segera “diamankan”. Sampai awal November 1926, aksi-aksi openbare vereeniging yang digelar Oedin dan Rasad, tidak pernah berujung urusan dengan PID.
Jelang 16 November 1926, Oedin Rahmany meninggalkan gerakan Kuminih yang telah membesarkan namanya. Eskalasi gerakan radikal PKI, menyebabkan Oedin berpikir kembali untuk keluar dari Komunis. Ia memilih tetap menjadi guru dan menanggalkan atribut kirinya. Adalah Haji Ahmad bin Abdul Murid – Ketua PSII Cabang Tanah Datar yang mengajaknya untuk bergabung dalam gerakan perjuangannya Tjokroaminoto. Pada 1930, resmi Oedin bergerak di PSII (Ahmad, 1973). Ia turut dibantu oleh kawan seperjuangannya semasa di gerakan kiri, yakni Sabilal Rasad.
Tidak mengherankan, sejak memutuskan pindah ke Maninjau, Rasuna Said yang frustasi akibat kegagalan revolusi prematur 16 November 1926 dan 1 Januari 1927 di Onderafdeling Sijunjung tersebut, segera menemui Oedin. Di tangan Oedin, Rasuna mulai melewati fase kegagalannya di Sarekat Rakyat (Sufyan, 2022).
Rasuna pun tertarik dengan PSII dari kisah yang dinarasikan oleh Oedin, hingga segera menjadi murid politik Oedin di PSII, dan kerap mengikuti aktivitas politiknya. Teguh pendirian, piawai berorasi, dan berani mengambil putusan, menjadi bagian penting pasca bergurunya Rasuna Said pada laki-laki yang dikaruniai putri semata wayang, bernama Nibras. Rasuna pun memilih kembali ke Padang Panjang. Kali ini ia tergoda terjun kembali di panggung pergerakan, bersama dengan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi).
Radikalnya PSII Maninjau
Sejak bergerak di PSII Cabang Maninjau, perhatian PID dan Veldpolitie telah beralih pada sosok Oedin Rahmany. Oedin dituding membakar massa lewat orasi politik di Afdeling Oud Agam. Meskipun Controleur Oud Agam AI Spits telah memberikan peringatan pada awal Desember 1932 pada Sabilal Rasad alias Rasad Jacub gelar Datuk Bandaro, Hasanoedin gelar Datuk Singo Mangkuto, dan Oedin Rahmany.
Tidak hanya Spits, Residen Sumatra Westkust BHF Van Heuven memperingatkan Oedin Rahmany, bahwa tindakan politiknya, telah mengancam kewibawaan negara. Van Heuven menuding, mereka telah melakukan tindakan subversif. Ketiga orang PSII Cabang Maninjau itu, menurut Van Heuven harus bertanggung jawab atas masalah dan isi yang menghasut dari selebaran-selebaran mereka yang menyerang praktek kolonialisme, kapitalisme, dan belasting.
Oedin cs dituduh melanggar ketertiban umum. Mereka dituduh melakukan perusakan, penyerangan dan penggulingan kekuasaan yang sudah mapan. Teladan Oedin dan Rasad yang memengaruhi banyak orang untuk mengikuti jejaknya, mendorong pemerintah segera menangkap keduanya (de Sumatra post, 14 Agustus 1934).
Pada September 1933 Oedin cs menurunkan artikel pembungkaman dan larangan untuk rapat-rapat umum di Pantai Barat Sumatra dan Tapanuli. Bersama Sabilal Rasad, Hasanoedin gelar Datuk Singo Mangkuto merilis surat kabar propaganda Madjoe. Artikel yang ditulis Oedin telah memerahkan kuping Residen Van Heuven – terutama yang berjudul “Politiek-Tjap Rakjat Indonesia Sangsara”, dimuat dalam terbitan pertama Madjoe tanggal 5 September 1933.
Residen Sumatra Westkust menegaskan, bahwa artikel-artikel tersebut dan tindakan politik PSII berada di jalur yang merugikan pemerintah Kolonial Belanda dan telah merusak rust en orde. Argumentasi dan narasi protes itu tertuang dalam terbitan pertama dokumen propaganda, “Manindjau September 1933” (Sumatra Courant, 2 Oktober 1933).
Ditangkap dan Dibuang ke Digoel
Oedin Rahmany yang telah bertitel haji pada Juli 1934, tepat berusia 33 tahun. Beberapa surat kaabr seperti Sumatra-bode, Sumatra Courant, de Sumatra post, Deli Courant, De locomotief memberitakan, mengenai identitas Oedin, “Hadji Oedin Rahmany, umur sekitar 33 tahun, pekerjaan guru pendidikan agama, Ketua Partai Sarekat Islam Indonesia Onderafdeling, bertempat tinggal di Pantai Barat Sumatera”.
Sepasukan Veldpolitie dan beberapa orang PID dikerahkan untuk menangkap Oedin yang berdiam di Maninjau bersama Djasmi dan anak tunggalnya Nibras. Setelah ditangkap, melalui perjalanan darat dari Maninjau menuju Payakumbuh. Oedin berjalan kaki sejauh 83,5 kilometer. Di rumah tahanan Payakumbuh itulah ia dikurung sebelum menjalani sidang di Landraad Payakumbuh.
Dalam sidang yang digelar di Landraad Payakumbuh dan Fort de Kock, baik Oedin Rahmany, Sabilal Rasad, Hasanoedin gelar Datuk Singo Mangkuto, atas nama residen Sumatra Westkust Van Heuven–menghukum mereka karena tindakan politiknya membahayakan negara–dalam rapat umum yang digelar baik di Sumatra Westkust, maupun di Tapanuli. Selain menggelar orasi di tengah keramaian, Oedin cs telah menerbitkan pamflet propaganda secara berkala – yang isinya menghasut dan memprovokasi massa. Mereka pun dikenai pasal karet melanggar ketertiban umum (Soerabaijasch handelsblad, 8 Agustus 1934)
PERMI dan PSII segera dilarang di seluruh Sumatra Westkust. Tuduhan pasal karet Artikel 153a, 154 dan 157 Indische Staatsregeling (IS). IS yang juga dikenal sebagai Wet op de Staatsinrichting van Nederlands-Indië, adalah undang-undang dasar yang mengatur tata negara dan pemerintahan Hindia Belanda. IS mulai berlaku pada 1 Januari 1926, menggantikan Regeringsreglement 1854.
Adapun nama-nama yang bertanggung jawab dan terancam di-Digoel-kan dari PERMI dan PSII, antara lain: Iljas Jakoeb (Wakil Ketua PERMI asal Asam Kumbang), Haji Djalaloedin Thaib, gelar Datuk Panghoeloe Besar (Ketua Dewan PERMI asal Balingka), Sabilal Rasad alias Rasad Jacub gelar Datuk Bandaro (anggota dan komisaris PSII di Maninjau), dan Oedin Rahmany (guru agama, anggota dan Ketua Dewan PSII di Manindjau) (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21 Juli 1934)
Sebelum keempat tokoh PERMI dan PSII dibuang ke Digoel, mereka sebelumnya mendekam di penjara, di antaranya Iljas Jacoeb (32 tahun) ditahan di Penjara Muaro Padang; Djalaloedin Thaib (37 tahun) ditahan di Penjara Muaro Padang; Sabillal Rasad (27 tahun) di Penjara Padang Panjang; dan Oedin Rahmany (35 tahun) di penjara Payakumbuh (De Locomotief, 23 Juli 1934).
Berita sampainya tahanan politik asal Sumatra Westkust itu di Boven Digoel ramai dibicarakan pers. Deli Courant–misalnya menurunkan beritanya “Penduduk DIGOEL BARU Permi-dan P.S.I. diusir”. “Sabillal Rasad alias Rasad Jacub gelar Datuk Bandaro, anggota dan Pengurus Besar Partai Sarikat Islam Indonesia di Manindjau, Keresidenan Sumatra Westkust, Haji Oedin Rahmany, berprofesi sebagai guru agama, ketua Partai Sarikat Islam Indonesia Onderafdeling Maninjau, demi kepentingan ketentraman dan ketertiban umum, diinternir di tempat kedudukan utama di Onderafdeling Boven Digoel, Afdeling Amboina (Deli Courant, 1934).
Sejak 1934 sampai Juli 1943. Oedin kemudian dieksternir ke Cowra New South Wales Australia, seiring merangseknya tentara Dai Nippon ke Papua. Bersama dengan interniran dari eks Sarekat Rakyat, PKI, PERMI, PSII, PNI, dan PNI Baru, Oedin Rahmany berangkat dari Digoel pada 25 Juni1943 dan mendarat di Australia pada 8 Desember 1943 (Archieve Internee Prisoner of War No DGY 26485).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.