Sejumlah peserta mengikuti Seleksi Kemampuan Dasar (SKD) Computer Assisted Test (CAT) untuk Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Jawa Barat, Rabu (12/2/2020). | ASPRILLA DWI ADHA/ANTARA FOTO

Ekonomi

Gaji ke-13 dan THR PNS Terancam

Penerimaan pajak diproyeksi kontraksi 5,9 persen.

 

JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah sedang mempertimbangkan kembali mengenai pembayaran tunjangan hari raya (THR) dan gaji ke-13 untuk aparatur sipil negara (ASN) tahun ini. Pasalnya, pendapatan negara mengalami tekanan sebagai dampak dari pandemi virus corona (Covid-19).

 

Sri memperkirakan sepanjang 2020 penerimaan negara akan turun 10 persen. Di sisi lain, belanja pemerintah terus meningkat seiring dengan kenaikan kebutuhan, terutama di sektor kesehatan maupun jaminan sosial.

 

Oleh karena itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang mempertimbangkan pos-pos belanja yang bisa diminimalkan, seperti THR dan gaji ke-13. "Apakah perlu? Kami pertimbangkan lagi mengingat beban negara meningkat," ujar Sri dalam telekonferensi rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (6/4).

 

Sri mengatakan, pemerintah sudah memfokuskan belanja negara saat ini pada tiga aspek, yakni sektor kesehatan, jaring pengaman sosial atau social safety nett, serta membantu dunia usaha. Salah satu sumber pendanaan didapatkan melalui penghematan belanja negara.

 

Berdasarkan pemaparan Sri, penghematan belanja negara sampai awal April setidaknya sudah menghasilkan Rp 190 triliun. Sebanyak Rp 95,7 triliun di antaranya merupakan penghematan belanja dari kementerian/lembaga, sedangkan sisanya berasal dari transfer ke daerah dan dana desa (TKDD). Selain itu, ada relaokasi cadangan Rp 54,6 triliun.

 

photo
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Menlu Retno Marsudi (kiri) dan Menkeu Sri Mulyani mengikuti forum KTT Luar Biasa G20 secara virtual dari Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (26/3/2020). - (ANTARA FOTO)

 

Secara total, Sri menjelaskan, pemerintah sudah menganggarkan sekitar Rp 436,1 triliun pada tiga stimulus fiskal untuk penanganan Covid-19 dan pencegahan krisis ekonomi. Pada stimulus pertama, pemerintah menganggarkan Rp 8,5 triliun. Angkanya terus bertambah menjadi Rp 22,5 triliun dan Rp 405,1 triliun pada stimulus kedua dan ketiga.

 

"Kalau dihitung dari stimulus satu, dua, dan tiga, total dukungan kita sudah mencapai 2,5 persen dari growth domestic product (GDP)," tutur Sri.

 

Negara lain melakukan langkah serupa. Misalnya, Jerman memberikan stimulus 2,7 persen dari PDB, termasuk melalui jaminan pinjaman perusahaan. Negara tetangga, Malaysia, memberikan dukungan 10 persen dari PDB, terutama dukungan pada dunia usaha terdampak yang mencapai 100 miliar ringgit atau sekitar Rp 378 triliun.

 

Sri mengatakan, langkah-langkah ini menggambarkan bahwa semua negara melakukan kebijakan luar biasa (extraordinary) untuk menghadapi kondisi yang juga luar biasa ini, mulai dari memberikan insentif pajak, penambahan belanja di bidang kesehatan dan bantuan sosial, hingga membantu menyokong dunia usaha. "Termasuk juga menjaga sistem keuangan agar tidak mengalami potensi krisis," ucap mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.

 

 

Sri Mulyani juga memproyeksikan penerimaan pajak tahun ini akan mengalami pertumbuhan negatif atau kontraksi hingga 5,9 persen dibandingkan tahun lalu. Kondisi ini memburuk dibandingkan kinerja penerimaan pada 2019 yang masih tumbuh 1,4 persen dibandingkan 2018.

Sri menjelaskan, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan kontraksi pada penerimaan pajak. Salah satunya, penurunan pertumbuhan ekonomi serta perang harga minyak antara Arab Saudi dengan Rusia. "Kemudian, adanya fasilitas insentif pajak dalam stimulus ekonomi kedua," ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Senin (6/4).

Dalam stimulus kedua, pemerintah menganggarkan Rp 22,5 triliun untuk stimulus fiskal kepada sektor manufaktur. Saat ini, Sri menambahkan, pemerintah juga sedang memformulasikan relaksasi pajak tambahan berupa perluasan stimulus untuk hampir semua dunia usaha terdampak yang berpotensi menekan penerimaan pajak.

Pemerintah juga mengurangi tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 25 persen menjadi 22 persen pada tahun ini. Kebijakan tersebut tertuang dalam Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Faktor terakhir, dampak dari potensi penundaan PPh dividen apabila Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Perpajakan disahkan. Dalam instrumen ini, pemerintah menghapus PPh atas dividen dalam negeri dan luar negeri untuk menambah daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan investasi.

Tidak hanya pajak, Sri mengatakan, penerimaan bea dan cukai juga mengalami kontraksi 2,2 persen. "Ini dengan memperhitungkan stimulus pembebasan bea masuk untuk 19 industri atau akan diperluas," katanya.

Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) diperkirakan tumbuh minus 26,5 persen karena harga Indonesian crude price (minyak mentah Indonesia) yang jauh lebih rendah dibandingkan asumsi makro dalam APBN 2020. Sebelumnya, pemerintah menetapkan asumsi 63 dolar AS per barel untuk ICP, yang kini realisasinya di bawah 30 dolar AS per barel. PNBP dari sumber daya alam nonmigas pun diyakini Sri juga turun mengingat harga batu bara dunia sedang mengalami tren penurunan.

Secara keseluruhan, Sri mengatakan, penerimaan negara sepanjang tahun akan terkontraksi 10 persen. "Sehingga, tax ratio dalam arti luas akan berada di level 9,14 persen terhadap PDB," ujar mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.

Sementara itu, Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu mengumumkan, proses pengajuan insentif untuk wajib pajak (WP) terdampak virus korona baru dapat dilakukan secara daring. Relaksasi pajak diutamakan bagi sektor manufaktur yang dinilai pemerintah mengalami tekanan paling besar dengan perlambatan ekonomi akibat Covid-19.

Direktur Pelayanan Penyuluhan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, pihaknya akan menentukan klasifikasi lapangan usaha (KLU) para WP berdasarkan SPT tahun pajak 2018, yaitu mengikuti KLU yang dicantumkan oleh wajib pajak pada SPT tersebut.

"Apabila wajib pajak tidak mengisi KLU pada SPT dimaksud, maka KLU WP ditentukan berdasarkan data KLU terakhir yang ada pada basis data DJP," ujar Hestu.

Untuk itu, Hestu mengimbau WP yang memang berhak mendapatkan insentif pajak sesuai PMK 23/2020, segera menyampaikan SPT 2018 dengan KLU yang sesuai dengan kondisi sebenarnya. "Supaya mereka dapat memanfaatkan insentif pajak tersebut," katanya. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat