
Nasional
Benarkah Pejabat BUMN tak Bisa Ditindak Hukum?
Menteri BUMN menegaskan pejabat BUMN tetap akan dipenjara bila melanggar hukum.
Oleh MUHAMMAD NURSYAMSI, BAMBANG NOROYONO
JAKARTA – Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) mengeluarkan para pejabat BUMN dari status pejabat negara. Benarkan dengan begitu mereka tak bisa lagi dipenjarakan?
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir merespons isu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilarang menangkap direksi dan komisaris BUMN lantaran bukan sebagai penyelenggara negara. Erick memastikan setiap direksi atau komisaris BUMN yang melakukan tindakan korupsi tetap akan berhadapan dengan tindakan hukum.
"Enggak usah ditanya, kalau kasus korupsi mah ya tetap aja di penjara. Enggak ada hubungannya kalau pihak yang melakukan kasus korupsi dengan isu payung hukum bukan penyelenggara negara. Korupsi ya korupsi, enggak ada hubungannya," ujar Erick saat konferensi pers bersama Plt Direktur Utama BSI Bob Tyasika Ananta di kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (5/5/2025).
Erick justru saat ini sedang intens berkoordinasi dengan KPK dan Kejaksaan Agung, salah satunya mendefinisikan kerugian negara atau kerugian korporasi. Erick menyampaikan hal ini sejalan dengan tugas Kementerian BUMN dalam melakukan pengawasan dan investigasi terhadap praktik negatif di lingkungan BUMN.

"Jadi sama-sama mirip karena itu di SOTK yang terbaru nanti, deputi Kementerian BUMN bertambah dari tiga ke lima, salah satunya fungsinya tadi menangkap korupsi," sambung Erick.
Kendati begitu, Erick menyampaikan Kementerian BUMN tidak memiliki individu yang ahli dalam hal tersebut. Oleh karenanya, Erick mengajak KPK dan Kejaksaan Agung menempatkan orang di Kementerian BUMN untuk dapat melakukan tindakan terhadap kasus korupsi di BUMN.
"Nah itu yang kita tidak punya expertise, makanya kita sama KPK, Kejaksaan, siapa tahu kita akan menarik, individu dari mereka untuk duduk di bawah kementerian (BUMN)," kata Erick.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) disahkan pada Februari 2025 lalu. Beleid tersebut mengganti keberlakukan UU 19/2003 tentang BUMN. Dalam UU BUMN yang baru tersebut dilakukan penjelasan konkret tentang posisi-posisi tinggi di BUMN yang tak masuk dalam rumpun penyelenggara negara. Dalam Pasal 9G UU 1/2025 ditegaskan bahwa, “anggota direksi, dewan komisaris, dan pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.” Dalam Pasal 87, UU tersebut pun menyatakan BUMN dalam penyelenggaraannya didukung oleh sumber daya manusia yang profesional dan berdaya saing.
Kejaksaan Agung (Kejakgung) menegaskan, status bukan sebagai penyelenggara negara para jajaran direksi dan komisaris, juga pengawas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui UU Nomor 1/2025 tentang BUMN tak otomatis membikin kebal hukum jabatan-jabatan tersebut apabila diduga melakukan tindak pidana korupsi.
Yaitu para karyawan BUMN. Namun dalam pasal tersebut juga dinyatakan tegas, karyawan BUMN bukan sebagai penyelenggara negara. Adanya pasal-pasal yang mengeluarkan jajaran tinggi di BUMN, dan para karyawannya sebagai penyelenggara negara, seperti memproteksi dari dampak hukum atas perbuatan, maupun keputusan-keputusan yang terindikasi masuk dalam kualisifikasi tindak pidana korupsi.
Kejagung menegaskan, tetap saja, jika suatu pengusutan tindak pidana korupsi menemukan bukti-bukti adanya keterlibatan persekongkolan jahat para jajaran tinggi di BUMN dalam melakukan tindak pidana korupsi, maka proses hukum akan tetap berjalan.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan, Kejagung sedang membahas tentang UU BUMN yang baru disahkan tersebut. Kata dia, pengkajian terkait beleid baru tersebut terutama menyangkut tentang kewenangan kejaksaan sebagai aparat penegak hukum (APH). “Pengkajian yang mendalam dilakukan apakah kewenangan dari kita (kejaksaan) masih di atur dalam Undang-undang BUMN tersebut (atau tidak),” kata Harli di Kejagung, Jakarta, Senin (5/5/2025).
Mengenai tentang jajaran tinggi BUMN bukan sebagai penyelenggara negara tersebut, kata Harli tak menutup peniadaan hukum apabila tersangkut tindak pidana korupsi. Karena kata dia, penyelenggara negara bukan satu-satunya unsur dalam praktik tindak pidana korupsi.

“Kita harus memahami bahwa sepanjang di sana ada fraud (kecurangan atau manipulasi) misalnya sepanjang ada fraud, ada persekongkolan, permufakatan jahat, tipu muslihat yang di mana katakanlah korporasi atau BUMN itu mendapatkan aliran dana dari negara, dan itu merugikan (keuangan atau perekonomian) negara, saya kira itu masih memenuhi unsur-unsur dari pada tindak pidana korupsi,” kata Harli.
Sebab itu, kata Harli, dalam suatu pengusutan hukum, terutama korupsi pentingnya proses penyelidikan, dan penyidikan. “Fungsi penyelidikan dan penyidikan itu yang akan melihat apakah dalam satu peristiwa tindakan yang terjadi di BUMN itu, katakanlah masih ada unsur-unsur itu, unsur fraud-nya, kemudian ada unsur aliran uang negara di situ yang katakanlah terkait dengan satu kegiatan atau satu operasi di BUMN. Dan saya kira itu masih menjadi pintu masuk dari aparat penegak hukum untuk melakukan yang lebih lanjut,” kata Harli.
Sedangkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan akan mengkaji Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN), khususnya terkait substansi bahwa direksi maupun komisaris dalam regulasi itu bukan penyelenggara negara.
“Perlu ada kajian, baik itu dari Biro Hukum maupun dari Kedeputian Penindakan, untuk melihat sampai sejauh mana aturan ini akan berdampak terhadap penegakan hukum yang bisa dilakukan di KPK,” ujar Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat.
Tessa menjelaskan bahwa kajian diperlukan mengingat komitmen Presiden Prabowo Subianto yang menginginkan untuk meminimalkan, bahkan menghilangkan kebocoran anggaran.
Selain itu, kata dia, kajian dibutuhkan agar KPK dapat memberikan masukan kepada pemerintah terkait perbaikan maupun peningkatan suatu peraturan perundang-undangan, terutama yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi.
Sementara itu, dia menyatakan bahwa KPK merupakan pelaksana UU. Dengan demikian, penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi tidak boleh keluar dari aturan yang ada, termasuk mengenai direksi maupun komisaris BUMN dalam UU BUMN. “Kalau memang saat ini bukan merupakan penyelenggara negara yang bisa ditangani oleh KPK, ya tentu KPK tidak bisa menangani,” jelasnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.