
Nostalgia
Kisah Seteru Abdul Muis dan Komunis
Muis berdiskusi mengenai persoalan kolonialisme dan akibatnya.
Oleh FIKRUL HANIF SUFYAN, periset dan pengajar Sejarah. Pernah menjadi dosen tamu dalam visiting scholar di Faculty of Art University of Melbourne
Abdul Muis gelar Sutan Pengulu semasa hidupnya dikenal sebagai sastrawan dan aktivis pergerakan anti kolonial pada dekade awal abad ke-20. Laki-laki kelahiran tanggal 3 Juli 1883 adalah anak dari pasangan Haji Abdul Gani dan Siti Djariah. Abdul Muis adalah cucu dari Abdul Gani merupakan seorang lareh Sungai Puar, Bukittinggi, sekaligus pemilik perusahaan korek api Tuanku Laras Sungai Puar (Nur, 1980).
Meninggalkan Kemapanan, Beralih Menjadi Jurnalis
Lahir dari keluarga yang terpandang, Muis diberikan fasilitas pendidikan yang layak. Pada usia tujuh tahun, Muis dimasukkan ke Europeesche Lagere School (ELS) dan menyelesaikannya pada yang pada 1899. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA)-sekolah kedokteran di Batavia (Foulcher, 2005).
Selama bersekolah di STOVIA, Muis kerap berdiskusi dengan kawan-kawannya mengenai persoalan kolonialisme dan akibatnya. Diskusi yang ia jalin selama di STOVIA telah membangunkan kesadarannya untuk melawan kolonialisme dan memperjuangkan kemerdekaan. Namun, pada 1903 ia memutuskan untuk keluar dari STOVIA. Sebabnya, dirinya tidak tahan melihat darah yang mengalir, setelah berkali-kali melakukan praktik bedah.
Muis pun memilih bekerja di Departemen Onderwijs en Eredienst. Di sana ia mendapatkan tugas pertamanya sebagai seorang juru tulis (Foulcher, 2005: 251). Akan tetapi, pekerjaan ini tidak bertahan lama karena Abdul Muis tidak disukai oleh pegawai-pegawai Belanda. Mereka tidak menyukai Muis yang anti kolonial dan kapitalisme. Akhirnya tahun 1905, Muis resmi keluar dari Departemen Onderwijs en Eredienst.
Selepas keluar dari pekerjaan mapannya, Muis sempat menekuni dunia jurnalistik, sastra, hingga politik. Pada 1905, Muis diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia. Dua tahun bekerja, pada 1907 persnya dikenai Persdelict, memaksa Muis untuk mencari pekerjaan lain.
Pada 1912 Muis mulai bekerja pada surat kabar berbahasa Belanda Preanger Bode di Bandung. Muis ditugasi selaku korektor–mengoreksi naskah agar tidak terjadi salah cetak. Di Preager Bode, Muis kerap membaca artikel orang Belanda, yang menghina pribumi. Amarahnya pun meledak.
Ia pun menyampaika protesnya kepada atasannya, supaya artikel yang bernada menghina itu dibatalkan terbit. Pemilik Preager Bode pun bergeming. Protes Muis tidak ditanggapi, malah artikel itu tetap diterbitkan. Muis mulai melawan dengan menulis artikel yang membalas penghinaan itu. Tulisan-tulisannya tersebut dikirimkan pada surat kabar De Express, milik Douwes Dekker, drTjipto Mangunkusumo, dan Soewardi Suryaningrat.
Hukuman penjara kali pertama dialami Muis, ketika ia dituduh terlibat dalam aksi penyebaran brosur punggawa Indische Partij Soewardji Soerjaningrat berjudul “Als Ik Eens Nederlander Was” – Seandainya saya Nederlaader. Muis ditangkap di kantor administrasi Preanger Bode. Tokoh pers lainnya yang dibui adalah Wigna di Sastra (pimred Kaoem Moeda), Tjipto di kantor redaksi Ekspres, dan Douwes Dekker, serta Soewardi Suryaningrat di rumah masing-masing.
Sepasukan veldpolitie didukung oleh empat patroli infanteri yang masing-masing terdiri dari sepuluh orang terus berpatroli untuk memastikan selebaran itu tidak tersebar luas. Sedangkan Muis, Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantoro, dan Tjiptomangunkusumo diinterogasi langsung oleh residen dan asisten residen (de Sumatra post, 12 Agustus 1913).
Sarekat Islam dan Penangkapan Abdul Muis
Selain di De Ekspress, Abdul Muis juga berkelindan di Kaoem Moeda. Di pers ini, Muis bebas berkreasi. Ia pun mengritik sistem kolonialisme dan kapitalisme Belanda. Vokalnya tulisan Muis memicu ia berjumpa tokoh-tokoh pergerakan yang membawa dirinya terjun ke gelenggang politik pergerakan nasional. Satu di antaranya dengan HOS Tjokroaminoto. Atas ajakannya Tjokro, Muis pun bergabung ke Sarekat Islam pada 1915.
Ia langsung didaulat menjadi wakil ketua Sarekat Islam Cabang Bandung, dengan ketuanya Wignjadisastra dan sekretarisnya adalah Suwardi Suryaningrat. Karena Muis seorang orator ulung dan dan cerdas posisinya langsung terpelanting sebagai Wakil Presiden Central Sarekat Islam (CSI).
Kehadirannya segera memberi pengaruh besar dalam Kongres SI pertama di Surabaya (1916). Muis mengusulkan untuk mendirikan sekolah, untuk mendidik pemuda-pemuda calon pemimpin bangsa. Usulannya segera ditindaklanjuti dengan berdirinya sekolah yang menampung murid sebanyak 300 orang.
Di Kongres Sarekat Islam II, Muis mengusulkan agar SI bergabung dengan Volksraad – guna membuka kesempatan SI menyampaikan berbagai masalah dan membela hak-hak rakyat. Usulnya pun ditolak oleh Semaun yang pada saat tersebut berbeda pandangan dengan Muis.
Meskipun demikian, pada akhirnya kongres memutuskan bahwa SI akan bergabung dengan volksraad. Pada 1918, Tjokroaminoto diangkat langsung sebagai anggota oleh pemerintah, sementara Muis masuk melalui pemilihan (Ricklefs, 1998).
Pada 1919 Sarekat Islam mencapai puncak kejayaannya. Jumlah anggotanya ditengarai mencapai dua juta orang. Setelah pelaksanaan Kongres Sarekat Nasional keempat di Surabaya, Sarekat Islam memutuskan untuk mengintensifkan kerja serikat buruhnya. Di Volksraad, Tjokroaminoto dan Muis memperjuangkan dewan rakyat dan mengkritik kebijakan pemerintah.
Pada kongres SI tahun 1921 di Surabaya, Muis dan Haji Agus Salim mengajukan pertanyaan mengenai disiplin partai dan penegakannya dalam hal keanggotaan. Pendapat Salim dan Muis ini kemudian ditentang Semaun, Tan Malaka, dan rekan-rekannya. Hingga akhirnya, pada Kongres SI di Madiun pada Februari 1923, memutuskan disiplin persyarikatan ini ditegaskan kembali. Hal ini kemudian menyebabkan kelompok komunis menarik diri dari Sarekat Islam, dan mereka mulai berdiri sendiri (Sufyan, 2017).
Seteru Abadi: Muis versus Kuminih
Buntut kisruh Muis dan dengan kelompok Komunis rupanya merembet hingga ke Openbare vereniging Sarekat Rakyat di Onderafdeling Padang Panjang. Kisahnya dimilai pada 4 November 1923 dilaksanakan rapat umum di gedung bioskop Padang Panjang. Acara ini bertepatan dengan deklarasi Sarekat Rakyat.
Agenda lainnya membicarakan politik kooperatif dan menjaring calon Volksraad. Natar Zainuddin, Kaharuddin, A Wahab, dan HSS Perpatih yang hadir saat itu, menolak Abdul Muis sebagai calon Volksraad. Mereka yang tidak puas meninggalkan ruang sambil menyerukan,”Ayo saudara-saudara kita keluar saja!”.
Mendengar seruan ini, sekitar 200an peserta yang berumur 18 tahun bergegas meninggalkan ruangan. Menurut versi Nota den Adviseur tanggal 30 Juli 1925, bahwa mereka (baca: peserta yang berjumlah 200an) ikut berteriak dan berkumpul di luar gedung bioskop adalah siswa dan guru Thawalib (Nota den Adviseur tanggal 30 Juli 1925).
Mengapa peserta dan pimpinan dari kalangan ‘kiri’ tiba-tiba meninggalkan ruangan bioskop? Apakah semata-mata karena menolak Abdul Muis sebagai calon anggota Volksraad?, Atau adakah sentimen lain yang membuat pimpinan merah itu geram? Tiga koran dalam waktu pemberitaan yang berbeda, mengulas sebab-sebab terjadinya aksi walk out peserta rapat umum.
Pertama, versi Djago! Djago! memberitakan, sebab-sebab Abdul Muis tidak memberi waktu tokoh Sarekat Rakyat dan PKI bicara di depan forum. Abdul Muis sebagai pembicara utama terkesan membosankan sudah menyita waktu (Djago! Djago! tanggal 10 November 1923).
Sebelum rapat umum dilaksanakan, rencana pertemuan akbar membicarakan kooperatif, Volksraad, Raad Minangkabau, Kerapatan Minangkabau, dan calon Volksraad. Fadhilah menanyakan alasan hadirnya Marah Sutan, Sulaiman Effendi, dan Abdul Muis dalam rapat umum itu (Djago! Djago! tanggal 10 November 1923).
Marah Sutan atau Muhammad Thaher merupakan Sekretaris Sarekat Oesaha dan anggota NIP. Dalam sebuah pertemuan bahasa, Marah Sutan mengaku ia bukan orang politik, namun tiba-tiba muncul dalam pertemuan. Setengah menyindir, Fadhilah mengatakan, mungkin saja Marah Sutan sudah menjadi ahli politik setelah training politik yang digelar Abdul Muis. Kapasitas Sulaiman Effendi juga dipertanyakan.
Tokoh terakhir yang dikritisi Fadhilah adalah Abdul Muis. Kebencian tokoh Sarekat Rakyat dan PKI terhadap sosok Ketua CSI ini, memang sudah ke ubun-ubun. Kenapa tidak?, keinginan mereka untuk menginfiltrasi SI dari dalam pun gagal, sejak pimpinan tertinggi CSI tidak membolehkan anggota berstatus ganda. Fadhilah menuduh Abdul Muis gagal meyakinkan Residen Sumatra Barat untuk menunda pelaksanaan pajak tanah (landrente) yang diterapkan tahun 1924.
Selain itu, dalam sambutannya, Ketua CSI Abdul Muis menegaskan, tokoh dari Sarekat Rakyat tidak berhak mengeluarkan pendapat, karena hadir dalam kapasitas pribadi, bukan mewakili organisasi.
Muis menunjuk, beberapa tokoh masyarakat seperti penghulu-penghulu yang menghadiri peresmian Sarekat Rakyat Padang Panjang, seharusnya tidak boleh mengeluarkan pernyataan yang mewakili organisasi (Djago! Djago! tanggal 10 November 1923).
Kontan saja perkataan Muis,menyulut protes Arif Fadhilah. Redaktur Djago! Djago! itu menegaskan, bahwa pidato Muis telah menghina seluruh peserta. Panjangnya pidato Ketua CSI itu, telah membatasi hak Magas, A Wahab, Kaharudin, Natar Zainuddin, HSS Perpatih untuk bicara di depan forum. Fadhilah menyindir, Muis tidak adil dan menghina tokoh-tokoh Sarekat Rakyat.
Kedua, versi Pemandangan Islam mengurai rapat besar tanggal 4 November 1923. Menurut Pemandangan Islam, tokoh-tokoh yang menghadiri pertemuan itu berasal dari pimpinan Pemandangan Islam, Djago! Djago!, Kebenaran, Sinar Sumatra, Warta Hindia, Neratja, Oetoesan Melajoe, dan Peroebahan.
Selain itu, hadir wakil Sarekat Rakyat, PKI, Medan Musyawarah, Kadaster Bond, Serikat Persekutuan, Persekutuan Dagang Koto Anau, Sumatra Thawalib Padang Panjang, Koto Lawas, Agam, PMDS afdeeling Painan, Medan Agama Solok, Studie fonds Koto Gadang, Sarekat Djago! Djago!, Sarekat Setia, dan beberapa orang datuk. Bisa dibayangkan dalam rapat umum yang mengundang banyak tamu itu, tentu saja memadati ruangan bioskop Padang Panjang (Pemandangan Islam tanggal 15 November 1923).
Pada awal rapat, Abdul Muis mengurai sejarah adat Minangkabau. Ia setuju memperkuat adat dan meresmikan Kerapatan Minangkabau. Setelah peresmian itu, dilanjutkan dengan tampilnya Sutan Sinaro untuk membicarakan politik kooperatif. Sutan Sinaro setuju dengan gerakan NIP yang non kooperatif, terutama menolak terlibat dalam parlemen. Namun sejak pemerintah mengutamakan Volksraad, tidak tepat bila gerakan non kooperatif dilakukan, karena berlawanan dengan maksud dan tujuan berdirinya Volksraad.
Abdul Muis sebagai voorzitter rupanya memberi waktu panjang pada Sutan Sinaro, kondisi berbeda justru diterima tokoh PKI, Sarekat Rakyat, dan pers yang diberikan waktu lima menit. Magas, perwakilan dari Padang tampil menerangkan asal kata non kooperatif dan ia setuju dengan sikap politik itu.
Penegasan Magas disambut tepuk tangan seluruh massa pendukung ‘merah’. Kesempatan berikutnya tampil Natar Zainuddin, H.S.S Perpatih yang meminta hadirin memilih, ‘Apa perlu kita dengan non cooperatie yang berhubungan dengan pemerintah, atau pada non cooperatie yang tidak ada hubungannya dengan pemerintah?’. Pertanyaan Perpatih itu kontan disambut gegap gempita peserta rapat.
Sejak saat itu keadaan tidak terkendali. Seluruh perwakilan berebut untuk mengeluarkan pernyataan mengenai sikap politik Volksraad. Abdul Muis bingung mengambil sikap. Sehingga Datuk Majolelo tampil mengambil alih sidang. Ia tidak mengizinkan perdebatan yang panjang.
Ketidaktegasan Abdul Muis menguasai sidang, menyebabkan peserta minta nama tokoh 10 organisasi dan pers yang hadir dalam ruangan itu dihapus. Setelah itu, hampir tiga per empat peserta meninggalkan ruangan karena geram dengan Abdul Muis (Doenia Achirat tanggal 16 November 1923).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.