Produk Galeri Ridaka | Republika/ Tahta Aidilla

Safari

Ridaka yang Menebar Manfaat

Sentra kerajinan ini juga mempekerjakan 200 orang lebih mitra binaan.

Bangunan itu kami temukan setelah menyusuri sebuah gang kecil di pinggir Jl Agus Salim, Kota Pekalongan. Plakat bertuliskan “Ridaka Weaving & Handicraft” yang terpampang di depannya menyambut kedatangan saya dan Tahta, siang itu.

Di dalam bangunan tersebut, bermacam-macam barang kerajinan unik dipajang secara apik. Ada tas yang dibuat dari pelepah pohon pisang, karpet anyaman eceng gondok, rompi dari kertas koran, handuk bermotif batik, kain tenunan berbahan serat daun nanas, dan masih banyak lagi. Semuanya adalah hasil karya tangan-tangan kreatif di tempat ini.

Di bagian belakang workshop itu, terdapat ruang tempat para perajin menenun kain. Bunyi alat-alat tenun kayu tradisional terdengar sahut-menyahut kala kami menginjakkan kaki di sana.

photo
Ridaka Gallery Serat Nanas - (Republika/ Tahta Aidilla)

Kata ‘ridaka’ sebenarnya bentuk kebalikan dari ‘a kadir’ alias ‘Abdul Kadir’, nama perintis kerajinan kreatif tersebut. Pria kelahiran 91 tahun silam itu mulai menjalankan usahanya pada 1940. Kini, industri rumah tangga ini dikelola oleh putra-putri Abdul Kadir.

Awalnya, Abdul Kadir hanya memproduksi handuk di workshop miliknya itu. Perhatiannya kepada industri kreatif justru baru dimulai setelah usahanya berjalan dua dekade. Kala itu, ia mencoba mengembangkan beragam barang kerajinan dari bambu dan lidi.

Pada 1980, ia memperoleh informasi seputar Waduk Jatiluhur dan Saguling lewat pemberitaan sejumlah media. Setiap tahunnya, bendungan-bendungan itu selalu menghasilkan eceng gondok dalam jumlah besar. Populasinya yang kian meledak dianggap mengganggu, sehingga tumbuhan itu pun dibuang begitu saja, kemudian dimusnahkan dengan cara dibakar. Biaya yang dikeluarkan untuk pemusnahan eceng gondok ini pun tidak bisa dibilang kecil untuk ukuran saat itu.

photo
Pekerja sedang menyerut daun nanas di Galeri Ridaka, Pekalongan, Jawa Tengah. - (Republika/ Tahta Aidilla)

“Sejak itu, bapak mulai memikirkan bagaimana caranya agar tumbuhan ini bisa diolah menjadi sesuatu yang berguna. Karena dia yakin, setiap ciptaan Allah pasti punya nilai manfaat,” tutur Thuraya A Kadir (57 tahun), putri keenam Abdul Kadir yang kini memimpin usaha kerajinan Ridaka.

 

Tenun serat nanas

Abdul Kadir melakukan “eksperimen” pertamanya terhadap eceng gondok pada awal 1984. Setelah dikeringkan, tumbuhan yang dianggap sebagai pengganggu ini ternyata dapat diolah menjadi berbagai macam produk fashion dan interior yang elegan. Beberapa di antaranya berupa baju, topi, sandal, anyaman untuk perabot, karpet, keranjang, tirai, dan perlengkapan rumah tangga lainnya. Pada tahun yang sama, laki-laki itu juga berhasil memanfaatkan pelepah pohon pisang sebagai bahan baku industrinya.

Seperti tak pernah kehabisan ide kreatif, Abdul Kadir terus melakukan percobaan terhadap bahan-bahan sisa organik lainnya. Satu tahun berikutnya, ia sukses membuat inovasi lagi, yakni “menyulap” daun nanas menjadi pakaian. Bagaimana caranya? Pertama, daun nanas dikerok menggunakan sepotong bilah bambu untuk diambil seratnya, setelah itu dibersihkan dan dijemur hingga kering. Selanjutnya, benang-benang serat tadi disambung, baru kemudian ditenun menjadi kain. Dari proses pembuatan serat hingga menjadi sepotong kain, membutuhkan waktu satu pekan sampai sepuluh hari.

photo
Pekerja sedang menyerut daun nanas di Galeri Ridaka, Pekalongan, Jawa tengah. - (Republika/ Tahta Aidilla)

“Ada beribu-ribu hektare kebun nanas di negeri ini, namun yang diambil cuma buahnya. Nah, dari situ Bapak melihat peluang untuk mengolah daunnya menjadi benang, sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku busana,” kata perempuan yang akrab dipanggil Aya itu.

Hanya saja, kata Aya, mengikat atau menyambung serat demi serat menjadi sehelai benang yang cukup panjang buat ditenun bukanlah pekerjaan mudah. Tak sedikit yang “menyerah” saat mengerjakan proses ini. “Akibatnya, saya sering nolak order karena bahan bakunya enggak ada,” ungkapnya.

Ada sebelas orang tukang tenun di Ridaka. Tapi, yang mempunyai keahlian menenun serat daun nanas ini jumlahnya hanya empat orang. “Panjang kain yang mampu ditenun maksimal hanya 30-50 cm per hari,” ujar salah satu putra Abdul Kadir, Nazie A Kadir.

photo
Ridaka Gallery Serat Nanas - (Republika/ Tahta Aidilla)

Kain tenun berbahan serat nanas dengan benang lungsin sutra berukuran 100 x 120 cm dibanderol seharga Rp 195 ribu. Sementara, satu potong kain serat nanas dengan benang lungsing katun dihargai Rp 175 ribu untuk ukuran yang sama. Peminatnya tak hanya konsumen dari kalangan lokal, tapi juga mancanegara.

Selain tukang tenun, sentra kerajinan ini juga mempekerjakan 200 orang lebih mitra binaan yang bekerja di rumah masing-masing. Mereka membuat berbagai macam produk kerajinan unik dari bahan-bahan yang disediakan Ridaka. Biasanya, mereka menjadi sangat sibuk tatkala industri rumah tangga ini kebanjiran order.

Abdul Kadir yang juga kerap disapa Ridaka tutup usia pada 22 Juni 2009.

Disadur dari Harian Republika edisi 31 Maret 2013 dengan reportase Ahmad Islamy Djamil  dan foto-foto Tahta Aidilla.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Teater Alam dari Karangsambung

Karangsambung ibarat sebuah teater alam dengan batu-batuan tua.

SELENGKAPNYA

Sungai Luk Ulo, Surga Batu Mulia

Pencarian batu mulia biasanya dilakukan dengan menelusuri arus sungai.

SELENGKAPNYA