Petugas keamanan berjaga di depan ruang isolasi Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta, Senin (27/1/2020). | ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA FOTO

Narasi

Di Balik Nama RS Sulianti Saroso , WHO, dan Korona

Selain Korona, RS Sulianti Saroso juga menjadi rujukan utama penyakit infeksi lainnya.

 

Merebaknya virus SARS-CoV2 (Covid-19) atau Korona di Tanah Air akhir-akhir ini membuat pemerintah harus menyiapkan rumah sakit (RS) rujukan untuk menanganinya. Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) Prof Dr Sulianti Saroso, Jakarta Utara, pun muncul sebagai basis utama. Teruatama setelah pemerintah menjadikan RS tersebut sebagai perawatan pasien yang dinyatakan positif terinfeksi virus ini.

Tak hanya soal korona, RS ini juga menjadi rujukan utama rumah sakit akibat penyakit infeksi lainnya, seperti severe acute respiratory syndrome (SARS) hingga flu burung. Namun, tahukah Anda bahwa Sulianti Saroso bukan nama sembarangan? Dua kata itu adalah nama pahlawan kemanusiaan yang berkiprah di bidang kesehatan Indonesia. Bahkan, selain namanya diabadikan menjadi tempat rumah sakit, ia juga diganjar penghargaan tertinggi Mahaputra.

Anindita Suroso, anak kandung Sulianti Saroso mengungkap kisah ibunya yang lahir pada 1917 lalu. Meski tak tahu persis semua kisah ibunya, ia mengenang almarhumah yang telah tiada sejak 1991 itu aktif bergerak ke kantong gerilya di daerah Tambun, Gresik, Demak, hingga Yogyakarta untuk mengusahakan obat-obatan dan makanan. Namun, aksi pahlawan yang dilakukan Syul, panggilan akrab Sulianti, malah membuatnya ditahan oleh Pemerintah Kolonial Belanda selama dua bulan di Yogyakarta.

"Almarhumah juga aktif dalam organisasi Pemuda Putri Indonesia (PPI). Bersama dengan teman-temannya, ibu membentuk Laskar Wanita yang diberi nama Wanita Pembantu Perjuangan (WAPP)," ujarnya kepada Republika, Senin (23/3).

Ibunya bersama dengan Utami Suryadarma dan Sukaptinah, kemudian menjadi delegasi Indonesia di Kongres Wanita di India. Saat itu, ketiganya menumpang sebuah pesawat terbang milik industrialis Patnaik yang pada masa itu menjadi blockade runner.

Dita menceritakan, kakeknya yang juga dokter kemudian menasehati ibunya kalau perempuan berat menjadi seorang insinyur. Ibunya pun bersekolah di Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoge School) di Batavia pada 1942.

Setelah tamat, Syul bekerja di bagian penyakit dalam Centrale Burgelijke Ziekenhuis, yang kini dikenal sebagai Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Berhenti dari RSCM, Syul kemudian bekerja di bagian penyakit anak RS Bethesda, Yogyakarta. Di sana, ia mendapatkan beasiswa dari UNICEF untuk memperdalam pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat dan kesejahteraan ibu dan anak (KIA) di Inggris, Skandinavia, Amerika Serikat, dan Malaysia.

Setelah tamat, Dita menceritakan, ibunya memulai karier di Kementerian Kesehatan dan menduduki berbagai macam jabatan. Pada 1967, Syul menjabat sebagai direktur jenderal Pencegahan Pemberantasan dan Pembasmian Penyakit Menular (P4M) hingga 1975.

Dengan jabatan ini, Syul berhasil meyakinkan komisi internasional Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bidang pemberantasan penyakit cacar bahwa Indonesia terbebas dari wabah penyakit itu. Kemudian pada 1975, Syul mengundurkan diri dari jabatanya dan diangkat sebagai kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan. Setelah tiga tahun mengemban jabatan tersebut, Syul memutuskan mengundurkan diri.

Usai pensiun pada 13 Desember 1978, Syul menjadi staf ahli menteri kesehatan. Karena dedikasinya di dunia kesehatan, pada 1978 Syul diangkat menjadi anggota badan eksekutif dan ketua Health Assembly (Majelis Kesehatan). Dalam 25 tahun WHO berjalan, ia menyebutkan hanya ada dua orang perempuan yang terpilih sebagai presiden Majelis Kesehatan Dunia, yaitu Rajkumari Amrit Kaur dari India dan Julie Sulianti Saroso.

Sebagai anak, ia merasa beruntung ibundanya yang berhasil membagi peran sebagai seorang yang berkontribusi di bidang kesehatan dan menyabet berbagai penghargaan, tapi tetap berhasil mendidik anak-anaknya. "Ibu saya sendiri bilang beliau berhasil karena menjalani pernikahan bahagia dengan suami dan anak-anaknya menjadi keluarga bahagia. Saya ingat banyak waktu untuk saya dan adik saya. Kami dibesarkan dengan cukup perhatian meski ibu saya sibuk, pulang pergi ke luar negeri untuk urusan kovensi WHO," katanya.

Ia mengatakan, Syul meninggal pada 29 April 1991 di usia 73 tahun. Sejak kepergiannya itu, ia mengakui, pejabat Kementerian Kesehatan sempat meminta izin kepada dirinya untuk mengabadikan nama ibunya sebagai nama rumah sakit. Akhirnya, dia melanjutkan, nama Syul diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr Sulianti Saroso.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat