Ilustrasi sidang perceraian | Republika

Newswrap

Catatan untuk yang Memilih Jalan Perceraian

Perceraian jangan sampai mengabaikan masa depan anak

Berusia 23 tahun dan memutuskan menikah boleh jadi merupakan pilihan terbesar bagi seorang perempuan bernama Cynthia Rozali. Belum lagi, dia harus menjaga kesehatannya dengan perhatian penuh karena penyakit autoimun yang dideritanya. Dia harus bisa mengatasi stres jika tidak ingin penyakitnya kambuh.

Saat menjalani pernikahan, keduanya belum juga dikaruniai buah hati. Meski begitu, Cynthia mendapat amanah untuk mengurus seorang keponakannya. Tak hanya urusan buah hati, pasangan ini juga mendapat cobaan yang lain ketika mereka kehilangan pekerjaan. Saat sang suami tak bekerja, Cynthia pun sudah lama tak bekerja karena kondisinya yang tak memungkinkan.

"Aku memang punya penyakit autoimun. Penyakitnya hampir serupa leukimia, tapi nggak separah itu. Aku nggak boleh stres, capek, begadang, atau makan sembarangan. Kalau kambuh, aku bisa vertigo sampai pingsan," kata Cynthia kepada Republika.

Ketika tidak bekerja, suaminya meminta izin untuk membuka usaha yang sebenarnya tidak begitu disetujuinya. Ia mulai merasa kalut dan memutuskan untuk tinggal sementara dengan orang tua. Ia ingin suaminya bekerja seperti dahulu karena bagi dia usaha sendiri belum bisa dipastikan.

Rupanya inilah puncak konflik mereka. Pernikahan yang baru berusia 1,5 tahun pun guncang karena pandangan yang dilontarkan selalu berbenturan. Keduanya keras, sementara tidak ada orang ketiga yang mau berusaha untuk melunakkan pemikiran mereka.

"Akhirnya dua pekan lalu, kita memutuskan untuk berpisah. Berat memang, apalagi keponakan aku sudah begitu sayang dengan suamiku itu. Kita memang belum punya anak, tapi aku pun merasa sedih dan kecewa dengan kegagalan kita," ujar Cynthia lagi.

Tentu keponakan yang ia rawat tetap tinggal bersama Cynthia karena orang tuanya tinggal jauh di pelosok Pandeglang dan bukan keluarga mampu. Usianya sudah masuk usia sekolah dasar. Ia juga memilih untuk hidup bahagia dan berjuang melawan penyakitnya yang kambuh ketika masa-masa pertikaian terjadi.

Anak jadi korban

Psikolog Ine Indriani mengatakan, bila perceraian sudah terjadi, Anda juga harus melihat kesehatan mental Anda. Kalau memang benar-benar parah, cobalah untuk konseling. Jangan sampai Anda merasa diri Anda paling teraniaya atau terpuruk sendiri. Karena saat ini orang bercerai itu banyak sekali. Carilah komunitas untuk penguatan atau lebih banyak sharing supaya tidak lebih banyak bersedih.

"Kadang orang tidak berpikir, bila mantan pasangan menikah duluan, dia sendiri tidak siap. Selain itu, ternyata uangnya tidak cukup untuk membiayai hidup. Dan bila Anda mempunyai pasangan baru, ternyata anak Anda tidak siap. Anda juga mungkin tidak berpikir, anak yang orang tua bercerai mungkin saja depresi," kata Ine memaparkan.

Selain itu, lanjut Ine, terkadang pasangan yang bercerai juga tidak siap menghadapi itu semua. Karena itu, Anda harus bisa mempertahankan diri Anda, Anda harus bisa menghadapi diri Anda. Anda harus bisa menjalankan peran ganda. "Rata-rata pengasuhan anak bercerai jatuh pada ibunya. Dia perlu double job. Menjadi pencari nafkah, pengasuh, menjadi ibu, dan menjadi seorang ayah. Dia harus siap. Dia perlu menjaga emosi, finansial, tempat tinggal, dan lainnya," ujarnya.

Pertimbangkan pula masalah kesehatan anak. Jangan sampai orang tua yang bercerai bertengkar di hadapan anak. Atau mencari dukungan dari anak sehingga anak membenci pasangannya. Bila membutuhkan bantuan cari komunitas, konseling atau teman untuk meluapkan karena kita butuh adaptasi.

Tak ayal, saat suami istri berpisah, anaklah yang menjadi korban. Anak berada di antara dua pihak. Selain itu, anak juga bisa saja dirundung teman sekolah atau teman di lingkungan. Bila itu terjadi, orang tua perlu informasikan ke sekolah atau wali kelas supaya tidak terjadi perundungan. "Bila bully-nya terlalu besar, perlu pengenalan, bercerai itu masalah orang dewasa bukan salah anaknya," ujar Ine.

Selanjutnya, harus ada penguatan dari orang tua yang bercerai kepada anaknya. "Tekankan pada anak, kalian bercerai bukan salah anak. Yang perlu ada support dari orang tuanya, supaya anak merasa tetap bisa kuat menghadapi lingkungan di sekolah kalau ternyata ada bullying," ujarnya.

Ine mengatakan, walaupun sudah bercerai, anak sebenarnya masih tanggung jawab kedua orang tuanya. Namun, pada kenyataannya hanya orang tua yang tinggal bersama anak yang bertanggung jawab. "Yang bercerai kan orang tuanya, tidak ada perceraian orang tua dana anak. Sebaiknya bila ada acara apa pun atau acara keluarga, lebih baik tetap ada bersama. Jadi, anaknya merasa tetap mendapat dukungan kedua orang tuanya," ujarnya.

 

Ketika maut memisahkan

Di belahan bumi lainnya ada sosok bapak paruh baya berusia 60 tahun. Namanya Refi Halim. Kini, dia pun seorang diri karena istri tercintanya telah meninggal dunia sekitar lima tahun lalu.

Penyakit hipertensi yang sudah dideritanya sejak beberapa tahun sebelumnya merenggut nyawa belahan jiwa Refi.

Sejatinya dia memiliki tiga anak yang sudah mulai beranjak dewasa. Sayangnya, akibat kesibukan bekerja karena lebih sering berada di luar kota atau luar negeri, Refi merasa tak dekat dengan anak-anaknya sendiri. Jadi, ketika sang ibu meninggal, anak-anaknya merasa sangat kehilangan sosok ibu yang mereka anggap orang tua tunggal mereka. "Saya sudah berupaya untuk mengajak mereka ngobrol bersama. Rasanya memang canggung, tapi saya terus menyadarkan mereka bahwa saya juga ayah mereka," kata Refi.

Satu tahun pertama setelah kepergian istri adalah saat terberat dalam keluarga tersebut. Pertengkaran hebat sering kali terjadi karena sang ayah merasa tak sepaham dengan anak-anaknya, begitu juga sebaliknya. Sifat-sifat yang tidak diketahui Refi tentang anak-anaknya baru terbaca lebih jelas setelah istrinya meninggal, walaupun mereka sudah amat lama hidup bersama.

Beruntung anak sulungnya yang juga perempuan kerap mencoba menengahi pertengkaran. Ia seperti mencoba menggantikan peran ibu dan istri dalam keluarga itu. Perlahan, keluarga Refi membaik. Dan ia merasa, ternyata ia telah berhasil mendidik anak yang cukup baik dan kompak karena kedua adiknya sangat manut kepada sang sulung.

Banyak sekali permasalahan yang terjadi pada seorang single parent setelah berpisah. Entah itu berpisah karena bercerai atau ditinggal meninggal. Namun, para single parent di luar sana memilih untuk bertahan dan mencari solusi untuk memecahkan masalah yang datang.

Bagi mereka, kebaikan Tuhan sangat terlihat pada masa sulit itu. Mereka percaya, Tuhan hadir dalam kehidupan mereka ketika mereka memang sangat membutuhkan kasih sayang-Nya.

 

Pertimbangan sebelum berpisah

Pernikahan terkadang tidak selalu berhasil. Ada kalanya pasangan suami istri terpaksa harus berpisah meski sudah mempunyai anak. Akhirnya yang menjadi korban, bukan hanya diri mereka sendiri, melainkan juga anak mereka, bila mereka memiliki keturunan.

Psikolog Ine Indriani mengatakan, sebelum berpisah atau bercerai, sebaiknya pasangan mempertimbangkan beberapa hal terutama jika sudah memiliki buah hati. Apa sajakah itu?

1. Pertimbangkan kesehatan mental pasangan dan buah hati

"Berpisah atau lanjut, mana yang lebih bagus terjadinya. Makanya sebaiknya tidak mengambil keputusan saat kondisi emosi. Karena supaya lebih mempertimbangkan masa depan," kata Ine ketika dihubungi Republika.

Cobalah memandang dalam jangka panjang. Misalkan Anda berpisah dengan pasangan apakah akan lebih bisa bertahan. Jika pasangan memiliki pasangan lain secara mental bagaimana perasaannya. ?Itu juga perlu dia pertimbangkan,? tambahnya. Selain itu, kesehatan mental masing-masing pasangan yang berpisah, kesehatan mental anak-anak juga harus dipikirkan.

2. Finansial

Bila berpisah, kira-kira finansial seperti apa. Jangan sampai Anda yang ingin berpisah, tapi tidak bekerja. Ini secara finansial tidak baik. Apalagi jika sudah mempunyai anak, akan ada biaya hidup, biaya sekolah, dan biaya lainnya. Kalau bercerai, siapa yang akan tinggal di rumah yang sekarang dihuni bersama. Karena itu rumah berdua, apakah akan dibagi dua atau bagaimana. ?Berarti finansial dan akomodasi atau harta gono-gini juga harus dipertimbangkan,? ujarnya.

3. Sistem pendukung dan keseharian

Pertanyaan berikutnya adalah siapa yang akan antar jemput anak sekolah. Bila ia bekerja, bagaimana cara membagi waktunya. "Entah itu ke pasar atau daily activity, seperti makan dan lain sebagainya itu bagaimana," ujarnya. Selain itu, Ine juga mengingatkan untuk Anda yang berencana berpisah memikirkan tempat tinggal, jauh dari sekolah atau tidak, sekolah harus pindah atau tidak.

4.Telaah lebih lanjut masalah pemicu perceraian

Sebelum berpisah, Ine mengatakan, ada baiknya menelaah lebih lanjut pemicu masalah perceraian. Apakah sangat urgen atau hanya karena masalah sesaat. Tak jarang ada pasangan yang membutuhkan konseling pernikahan sebelum mengambil keputusan besar dalam kehidupan mereka. Kecuali, memang harus harus segera cerai karena ada kekerasan yang bisa mengarah pada tindak kriminal. Itu memang sangat darurat. "Namun, untuk hal yang tidak darurat, pertimbangannya banyak banget. Bibit, bebet, dan bobot sehingga perlu banyak pertimbangan. Dan perlu adanya mediasi dari orang ketiga, psikolog, dan sebagainya," katanya memaparkan.

5. Cari dukungan keluarga dan orang terdekat

Kalau perlu, Anda diskusi dahulu, jangan sampai mengambil keputusan. Namun, apakah keluarga menjadi provokator atau justru memberi //support//, itu juga perlu dipertimbangkan. "Perlu konsultasi agama, ke tokoh agama. Kalau keluarga //support//, terkadang keluarga terbawa emosi. Ada keluarga yang bisa mediasi atau justru ada yang terbawa. Secara umum, di keluarga perlu didiskusikan, biasanya menikah di Indonesia budaya diskusi masih kental," ujarnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat