Anggota Tim Medis mengenakan atribut lengkap saat mengecek kesiapan alat di Tenda Isolasi Virus Corona (COVID-19), RS dr Bratanata, Denkesyah 02.04.02, Korem 042/Garuda Putih, Jambi, Senin (16/3/2020). | ANTARA FOTO

Opini

Status Quo Darurat Negara

 

Idul Rishan, Pengajar Departemen HTN, Universitas Islam Indonesia

Setelah World Health Organization (WHO) menetapkan corona virus disease (Covid-19) sebagai wabah pandemik, Presiden Jokowi mengimbau agar seluruh masyarakat tetap tenang dan tidak panik. "Saatnya kerja dari rumah, belajar dari rumah, dan ibadah di rumah".

Meskipun telah dinyatakan pandemik, Presiden belum menetapkan negara dalam keadaan darurat. Opsi ini memantik sebagian reaksi publik yang memupuk kekhawatiran mendalam atas ganasnya Covid-19.

Bagi sebagian kalangan, intervensi negara sangat dibutuhkan guna mencegah penularan virus secara masif.

Mulai dari seruan social distancing (menghindari keramaian) yang diwacanakan para pegiat kesehatan masyarakat, sampai dengan desakan kepada pemerintah untuk melakukan lockdown (membatasi akses keluar masuk kota).

Bahkan, tak sedikit pemerhati hukum dan kebijakan publik mendorong Presiden untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) sebagai unifikasi hukum pencegahan dan pengendalian Covid-19 secara terpadu.

Langkah ini disinyalir akan mempermudah koordinasi pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Tulisan singkat ini, memberikan preskripsi analitis pentingkah perppu dikeluarkan dan seberapa relevan dengan status darurat negara?

Keadaan negara

Dalam aturan dasar bernegara (dalam hal ini UUDN RI), terdapat dua bangunan pasal yang sama sekali tidak mengalami fase perubahan pada era transisi politik (99-02).

Menariknya, masing-masing pasal tersebut memberikan kuasa kepada Presiden secara subjektif untuk menetapkan ?keadaan? negara. Pasal 12 mengatur negara dalam keadaan bahaya, kemudian Pasal 22 mengatur negara dalam keadaan genting yang memaksa.

Masing-masing pasal merujuk pada intensi yang sama, tetapi berbeda dari segi peruntukannya. Pasal 12 merupakan kewenangan Presiden sebagai kepala negara untuk menanggulangi keadaan darurat.

Sementara itu, Pasal 22 merupakan kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan untuk membentuk hukum positif secara cepat.

Dalam konteks penanggulangan penyebaran Covid-19, perppu menjadi relevan jika hukum positif dianggap tidak memadai atau hukum positif sudah tidak lagi mampu merespons kebutuhan di masyarakat.

Dengan membaca situasi saat ini, ada tiga undang-undang sektoral yang terkait sebagai dasar pencegahan dan penanggulangan pandemik korona. Beberapa undang-undang a quo meliputi Perppu Keadaan Bahaya, UU Kesehatan, dan UU Penanggulangan Bencana.

Keadaan bahaya

Kembali pada soal pengaturan keadaan bahaya. Pasal 12 UUD menyatakan, "Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang".

Dalam dogma kenegaraan, keadaan negara diinterpretasikan dalam dua bentuk, yaitu negara dalam keadaan normal dan negara dalam keadaan darurat (Jimly Asshiddiqie: 2007).

Dalam penalaran awam, bila negara tidak dapat berjalan dengan normal, dibutuhkan suatu kekuasaan yang bersifat melekat untuk menegakkan hukum di tengah situasi yang mengancam kelangsungan bernegara (John Armitage: 2002).

Status keadaan bahaya itu bisa disebabkan kerusuhan, bencana alam, wabah pandemik, ataupun peperangan. Laiknya sebuah rekayasa sosial di masyarakat, Perppu Keadaan Bahaya yang masih berlaku saat ini kenyataannya masih menyisahkan lubang yang terus menganga.

Maklum, perppu ini merupakan produk politik usang Sukarno pada tahun 1959. Intensi pembentukannya lebih ditujukan untuk mengamankan kebijakan-kebijakan Presiden terhadap hal-hal yang mengancam ideologi negara saat itu.

Tak heran jika pendekatan militeristik dalam perppu ini tampak begitu kuat sebagai langkah antisipatif keadaan bahaya.

Opsi perppu

Dengan sifat usang dan daya jangkau yang lemah, Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tampak cukup sulit merespons kebutuhan masyarakat saat ini. Perdebatan itu menguat seputar kedudukan bencana non-alam laiknya wabah pandemik dalam perppu ini.

Tak ada elaborasi detail yang memberikan penjelasan lebih lanjut. Apakah wabah pandemik masih masuk dalam kategori hal yang menyebabkan status negara darurat?

Sebab dalam hukum positif, ada dua undang-undang sektoral lainnya yang mengatur tentang ketentuan penanggulangan wabah pandemik (dalam hal ini UU Kesehatan dan UU Penanggulangan Bencana).

Disadari atau tidak, pemerintah perlu melakukan ijtihad. Tegasnya, pilihan itu akan melahirkan konsekuensi yang tidak tunggal.

Jika pandemik Covid-19 diinterpretasikan tunduk pada Perppu Nomor 23/59, Presiden memegang kontrol penuh atas penetapan status darurat negara beserta segala konsekuensi kebijakan turunannya.

Namun, jika meletakkannya dalam UU Penanggulangan Bencana dan UU Kesehatan, pencegahan dan penanggulangan Covid-19 didasarkan pada pembagian kewenangan (power sharing) antara pusat dan daerah.

Laiknya upaya yang saat ini telah dilakukan. Kebijakan ditetapkan secara asimetris oleh kepala daerah berdasarkan kondisi di masing-masing wilayah.

Melihat bentangan dualisme norma di atas, Presiden Jokowi seolah kehilangan tumpuan dalam memberlakukan Pasal 12 UUDN RI, khususnya dalam hal menetapkan status keadaan darurat.

Membaca kecenderungan norma di atas, opsi dikeluarkannya perppu menjadi laik untuk dipertimbangkan. Setidaknya ada tiga alasan yang mendasari. Pertama, hukum positif saat ini diasumsikan tidak lagi mampu menyesuaikan kebutuhan yang ada di masyarakat.

Kedua, intervensi negara melalui kewenangan Presiden dibutuhkan secara cepat dan efektif dalam mencegah meluasnya Covid-19. Ketiga, penanggulangan tidak dapat dilakukan dengan cara biasa, tetapi dengan cara yang luar biasa.

Melalui perppu, Presiden dapat menutupi beberapa kelemahan pengaturan dalam keadaan bahaya sebagaimana telah diatur pada 1959. Dengan alternatif itu, Presiden memiliki basis legitimasi dalam menetapkan pandemik Covid-19 sebagai darurat negara.

Termasuk implikasi turunannya atas kemungkinan menetapkan opsi lockdown. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat