
Nasional
Korban Agresi Militer Bisa Gugat Belanda
SURABAYA -- Ketua Departemen Hukum Internasional Universitas Airlangga Surabaya Iman Prihandono menuturkan, permintaan maaf yang disampaikan Raja Belanda Willem Alexander menunjukkan keseriusan penyesalan Belanda terhadap agresi militer di Indonesia. Namun, permintaan maaf ini bukan pertama kalinya dari Belanda.
Iman mengatakan, permintaan maaf sudah dilakukan Pemerintah Belanda sebelumnya setelah putusan pengadilan sipil di Den Haag terkait kasus agresi militer di Rawagede, Karawang, Jawa Barat, beberapa tahun lalu. Iman menyoroti dalam permintaan maaf Willem Alexander terucap excessive violence (kekerasan yang berlebihan). "Dalam peperangan violence itu pasti terjadi, ada orang tertembak, terbunuh, dan lain-lain. Tapi, yang jadi permasalahan kalau violence-nya excessive. Jadi, dalam hukum internasional ini (yang dilakukan (Raja Belanda) sudah benar," ujar Iman kepada Republika, Kamis (12/3).
Ia menambahkan, dalam hukum internasional, apa yang dilakukan Willem Alexander dikenal dengan reparation atau perbaikan. Negara yang melanggar hukum internasional, dalam hal ini excessive violence, maka timbul kewajiban untuk melakukan reparation. Perbaikan ini ada bermacam-macam bentuk, seperti ganti rugi, kompensasi, rehabilitasi, penyesalan, dan ada jaminan untuk tidak mengulangi. Apa yang dilakukan Raja Belanda dalam kasus ini masuk masuk dalam jenis pengungkapan menyesal.
"Ini juga enggak bisa dianggap enteng. Ini penting. Bagian dari reparasi bahwa mereka mengakui terjadi pelanggaran. Pengakuan itu bagi negara yang dilanggar hak-haknya itu kadang kala sudah cukup. Itu penting dan enggak banyak negara mau melakukan itu," katanya.
Menurut Iman, Indonesia bisa saja mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice), jika merasa ada permasalahan-permasalahan yang menyangkut dua negara, yang belum selesai. Namun, dalam kasus ini, kemungkinannya sangat kecil bagi Indonesia mengajukan gugatan. Karena tidak ada kasus yang begitu besar sehingga membuat Indonesia bisa membawa perkara ke Mahkamah Internasional.
"Yang memungkinkan adalah korban. Karena untuk kejahatan perang itu enggak ada batas waktu. Sudah ada dua kasus yang satu sudah diputus yang Rawagede, dan yang Westerling di Sulawesi Selatan," kata Iman.
Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan, Indonesia tak perlu menuntut Belanda atas Agresi Militer I dan II pascaproklamasi. Sebab, sejak zaman Presiden Soeharto, negara telah diberikan kompensasi oleh Belanda berupa pinjaman. Namun, kata dia, korban-korban pembantaian agresi militer Belanda, seperti peristiwa di Rawagede secara pribadi dapat menuntut Belanda.
"Kalau menuntut sih enggak lah, kalau menuntut kan kalau, negara sudah diberikan kompensasi sama Belanda, dulu waktu di zaman Pak Harto dibantu untuk dikasih pinjaman dan sebagainya," ujar Hikmahanto saat dihubungi Republika, Kamis (12/3).
"Tetapi, kalau misalnya pribadi-pribadi kayak di Rawagede ya bisa aja nuntut," kata dia. Hikmahanto mengatakan, permintaan maaf Raja Belanda atas agresi militer pascaproklamasi hanya penyesalan. Sebab, selama ini ini Pemerintah Belanda bersikukuh menyatakan tindakan tentara pada periode 1945-1949 adalah tindakan polisional.
Tindakan itu terjadi pada kasus pembantaian tentara Belanda pimpinan Raymond Westerling dan peristiwa pembantaian Rawagede. Menurut Hikmahanto, pada waktu itu Belanda melakukan tindakan polisional yang berlebihan untuk menumpas para pemberontak. Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia empat tahun kemudian, tepatnya pada 27 Desember 1949. Menurut dia, permintaan maaf Raja Belanda saat ini pun tak memberikan dampak apapun terhadap Indonesia. "Seperti biasa kok. Enggak ada dampaknya, itu cuma dari Raja mengatakan bahwa dia menyesalkan tindakan dari para aparatnya pada waktu itu karena melalukan tindakan yang eksesif," tutur Hikmahanto.
Sebelumnya, pada 2011, pengadilan sipil Den Haag memvonis Pemerintahan Belanda atas kasus pembantaian di Rawagede, Karawang, Jawa Barat. Putusan ini mewajibkan Pemerintah Belanda memberikan kompensasi terhadap keluarga korban dan meminta maaf secara resmi atas kekerasan berlebihan tersebut. n
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.