Pekerja menyelesaikan produksi NC212i untuk Ministry of Agriculture (MOAC) Thailand di Hanggar PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Jawa Barat. | ANTARA FOTO

Opini

Peluang Industri Manufaktur

Oleh Fajar Harry Sampurno, Direktur Utama PT Barata Indonesia

 

Cina sebagai negara manufaktur terbesar dunia lumpuh karena virus korona. Langsung, pengamat ekonomi kita meramalkan Indonesia terkena imbasnya, baik dari sisi makro, investasi, maupun sedikit soal impor tanpa pernah bicara tentang manufaktur atau sektor industri.

Pertumbuhan industri manufaktur Indonesia dalam 20 tahun terakhir tidak pernah lebih dari empat persen per tahun, sehingga peran sektor ini dalam PDB anjlok ke angka 19 persen pada 2019 dari 23 persen pada 2014 dan hampir mencapai 30 persen pada 1997.

Perekonomian Indonesia awalnya bertumpu pada ekspor hasil bumi seperti migas, batu bara, karet, dan produk pertanian. Industrialisasi yang dimulai awal 1960-an baru dipacu pada akhir 1970-an dengan mempercepat penguasaan teknologi di sektor industri pengolahan.

Pada 1980-an, Indonesia mulai mengembangkan industri berbasis teknologi, seperti kimia dasar, pengolahan migas, plastik, logam dasar, dan industri permesinan, walaupun terjadi perdebatan soal ini seperti disampaikan Soemitro Djojohadikusumo pada 1985.

Keberhasilan kebijakan tersebut terlihat dengan meningkatnya sumbangan sektor industri dalam PDB dari 8,5 persen pada 1965 menjadi hampir 30 persen pada 1997, yang boleh dikaitkan dengan perubahan titik berat pembangunan nasional sejak Pelita 3.

Salah satu programnya, pengembangan industri melalui "wahana transformasi industri". Mengikuti cara berpikir Habibie (1983), langkah itu ditempuh melalui penguasaan iptek, yang dipercaya akan menjamin pertumbuhan bernilai tambah tinggi serta berkelanjutan.

Konsep ini dikenal dengan istilah begins at the end, ending at the beginnings dan dilakukan industri tertentu untuk menguasai teknologi lewat beberapa tahap. Pertama, pemanfaatan teknologi yang telah ada dalam proses nilai tambah/produksi barang dan jasa.

Kedua, integrasi teknologi untuk menghasilkan barang dan/atau jasa yang baru. Ketiga, pengembangan teknologi melalui inovasi, dan keempat, penemuan teknologi baru melalui pengembangan industri.

Pemilihan industri tertentu sebagai wahana transformasi industri saat itu mempertimbangkan berbagai aspek yang akan menentukan kelangsungan hidup industri itu sendiri, yakni potential demand karena geografis, pergerakan penduduk, perkembangan ekonomi, kebutuhan prasarana dan sarana ekonomi, serta kepentingan keutuhan dan kesatuan wilayah nasional.

Dengan kriteria itu, ditetapkanlah industri aerospace, maritime and shipbuilding, land transportation, energy generating, engineering and construction, agricultural machinery, defense equipment, telecommunication and electronics, related and supporting industries, kemudian dikenal sebagai kelompok industri strategis.

Akibat kebijakan tersebut, terjadi perubahan intensitas faktor produksi. Sebanyak 54 persen output sektor industri pada 1988 masih berasal dari industri yang mengolah hasil bumi, seperti kayu, produk karet, dan komoditas pertanian.

 

 
Sementara itu, produk berteknologi hanya 10,7 persen dari output dan 6,8 persen dari total ekspor. Pada 1995, produk berteknologi meningkat tajam menjadi 14,8 persen dari total ekspor. Strategi tersebut terbukti menjamin pertumbuhan sektor yang sangat tinggi.
   

 

Rata-rata, 13 persen selama 27 tahun sampai 1997 walau disadari hal itu memerlukan investasi yang besar.

UNIDO (1997) melaporkan, pada 1994 pangsa investasi di bidang teknologi tinggi di Malaysia, Singapura, dan Filipina adalah 33,8 persen, 16,7 persen, dan 48,8 persen. Sementara Indonesia hanya sekitar 6,4 persen dari total investasi.

Di Indonesia, usaha meningkatkan penguasaan teknologi secara nasional baru dimulai pada akhir dekade 1970-an melalui BUMN industri tertentu dengan mendorong kegiatan R&D walaupun belum didukung sistem pengembangan industri nasional yang terpadu.

Disadari saat itu era 1980-an, sektor industri menghadapi kurangnya tenaga terampil dan kurang efektifnya manajemen perusahaan yang mengakibatkan rendahnya produktivitas dan sulitnya kegiatan R&D.

Untuk itu, Habibie (1982) melakukan pelatihan pendidikan bidang iptek dengan pengiriman belajar dan magang di industri luar negeri. Selain itu, program link and match yang memberikan kesempatan magang pelajar/mahasiswa di industri dalam negeri.

Menyadari industri-industri ini harus mengikuti ketentuan sebagai badan usaha, pemerintah pada 1989 mendirikan Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang merupakan strategi ?picking winners?.

Peran BPIS adalah menjembatani transformasi industri melalui penguasaan teknologi dengan empat tahapan. Tahap pertama, belajar langsung di berbagai proses produksi dalam industri, seperti pengilangan minyak, pabrik pupuk, semen, dan baja.

Kemampuan mengoperasikan pabrik tanpa technical assistant menjadi indikator keberhasilan tahap ini.

Dalam industri kendaraan bermotor, kapal ataupun pesawat, tahapan pertama alih teknologi dilakukan dengan mempelajari sistem completely built-up, merangkai produk semi-knocked down, merangkai produk dari completely knocked down, dan memproduksi suku cadang serta komponen dari sistem atau produk.

Pada tahap kedua, sasarannya mengurangi ketergantungan pada pemilik teknologi. Tahap ini memunculkan produk ataupun proses baru dengan keterampilan teknologi yang diperoleh dalam tahap pertama.

Kemampuan pemeliharaan dan pengembangan industri pupuk oleh PT Rekayasa Industri atau kerja sama Astra-Toyota memproduksi 'Toyota-Kijang' serta GE-INKA meproduksi Lokomotif CC203 adalah contoh alih teknologi tahap kedua.

Tahapan ketiga ditandai dengan desain produk baru yang dihasilkan dari inovasi teknologi.

Pembangunan pesawat N-250 oleh IPTN dengan teknologi ?fly-by-wire? adalah penguasaan teknologi tahap ketiga setelah pengalaman memproduksi komponen NC212 di tahap pertama dan desain pesawat CN235 di tahap kedua.

Pesawat N250 merupakan hasil inovasi teknologi mulai dari design, engineering, manufacturing sampai marketing putra-putri terbaik bangsa. Tahapan terakhir, riset pengembangan industri yang memastikan munculnya inovasi teknologi baru.

Ini hanya dapat terlaksana dengan kerja sama erat antara lembaga riset termasuk perguruan tinggi dan industri.

Pengembangan pesawat jet N-2130, sebenarnya contoh program nasional yang sempurna, baik dari sisi penyiapan prasarana di Puspiptek (terowongan angin, LAGG, LUK), maupun pelibatan perguruan tinggi dan industri strategis serta pendanaan swasta seperti PT DSTP.

Dalam setiap tahapan penguasaan teknologi, kuncinya adalah pengembangan manusia karena hardware tidak berarti tanpa human capital.

Jika di tahap awal hanya diperlukan operator, tahapan berikutnya memerlukan pendidikan lebih tinggi, seperti insinyur, desainer, orang pemasaran, manajer, akuntan, serta peneliti dan ilmuwan.

Data menunjukkan, pekerja di sektor industri meningkat konsisten sejak akhir 70-an sampai 1997. Secara kualitas, terjadi peningkatan kompetensi. Pekerja dengan pendidikan menengah meningkat dari 11 persen pada 1980 menjadi 19,7 persen pada 1989.

Sedangkan yang berpendidikan tinggi meningkat dari 0,8 persen menjadi 1,1 persen. Ke depan, pengembangan industri manufaktur yang merupakan sokoguru perekonomian Indonesia merupakan keharusan.

Ini hanya dapat dicapai jika masing-masing perusahaan melakukan pembenahan dan ada kebijakan dalam sektor industri yang terpadu serta tegas berpihak pada pemberdayaan industri sehingga tercipta ekosistem yang sehat bagi kebangkitan industri manufaktur.

Pemerintah harus berani menerapkan kebijakan "ofset" dan substitusi impor. Setiap investasi asing diwajibkan memberikan kesempatan kepada industri dalam negeri yang sudah memiliki fasilitas dan SDM.

Pengawasan ketat harus dilakukan, bukan hanya dengan perhitungan TKDN (produk impor) yang sering kali diingkari dengan akal-akalan post audit.

Penerapan kebijakan substitusi impor akan memberikan insentif kepada industri manufaktur dalam negeri untuk meningkatkan kemampuannya sesuai TRL dan MRL. Pada saatnya, ekspor akan terdorong dan menjadi motor penggerak ekonomi.

Heboh soal virus korona, seharusnya disikapi sebagai kesempatan membangun kembali industri manufaktur demi masa depan perekonomian yang sehat dan kuat. Bukan sebaliknya, membuka keran impor yang akan menghancurkan industri dalam negeri. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat