Resonansi | Republika

Resonansi

Alquran, Umat Muslim, dan Kemanusiaan Universal (II)

Oleh Ahmad Syafii Maarif

 

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Sebaliknya Ayoub juga dengan data-data yang kuat sangat berkepentingan untuk membangun masa depan Islam yang telah dikacau oleh sengkarut politik masa awal itu. Kita tidak akan dapat melihat peta politik itu dengan jelas, jika kita tetap saja berdalih karena para sahabat itu telah dijamin masuk surga. Oleh sebab itu, jangan diutik-utik lagi, jangan dikaji ulang. Sikap semacam ini hanyalah akan menyebabkan kita gagal membaca masa lampau.

Tentu kita hormat dengan para sahabat itu karena jasanya yang luar biasa dalam membantu Nabi Muhammad menegakkan dan mengembangkan Islam pada masa-masa yang serbasukar itu. Namun, karena mereka tidak langsung dibimbing wahyu, sebagai manusia biasa pasti tidak luput dari kelemahan dan kesalahan. Di sinilah peran sejarah itu menjadi mutlak agar peta pergumulan politik masa lampau itu bisa direkonstruksi seobjektif mungkin, sekalipun tidak pernah mencapai tingkat kesahihan 100 persen.

Sengkarut ini tidak dikoreksi selama kurun yang panjang sehingga sejarah telah diberhalakan umat Muslim atas nama Tuhan. Ayoub cukup berani mengurai sengkarut ini dalam perspektif ajaran wahyu. Dia telah berusaha membebaskan dirinya dari kecenderungan politik Suni atau politik Syi'i. Baik karya Ayoub maupun karya Madelung sangat perlu dipertimbangkan untuk melihat sampai di mana pemberbalaan sejarah itu telah jauh merasuk ke dalam jiwa Muslim di seluruh jagat sampai hari ini.

Dalam menilai perbelahan umat masa awal itu, sebagai koreksi Ayoub mengutip ayat 92 surah al-Anbiyâ’ (21) yang artinya: “Sesungguhnya umat kamu ini adalah umat yang tunggal (ummatukum ummatan wâhidah) dan Aku adalah Tuhanmu. Oleh sebab itu, sembahlah Aku.” (Hlm. 6). Sebelum mengutip ayat tentang kesatuan umat itu, Ayoub menjelaskan ada empat gerakan sekretarian dalam sejarah Muslim yang mencakup ranah teologi, filosofi, dan pemikiran politik. Keempat gerakan itu adalah: syi’ah, khawarij, mu’tazilah, dan murji’ah yang pengaruhnya dalam memecah kesatuan umat masih belum usai sampai sekarang. (Hlm. 5-6).

Sedikit berbeda dengan Ayoub, sebagai ekor Perang Shiffîn (tahun 657), saya melihat ada tiga gerakan politik yang saling berhadapan: Suni, Syiah, dan Khawarij (sempalan pengikut ‘Ali). Dari sisi manapun kita membacanya, ayat kesatuan umat di atas sudah tidak lagi jadi acuan dalam mencari penyelesaian sengketa di kalangan umat Muslim masa awal itu (dalam Perang Onta (tahun 656) dan dalam Perang Shiffîn). Sebagaimana kita maklumi bahwa surah al-Anbiyâ’ termasuk surah masa akhir periode Makkah. Kita menduga kuat bahwa proses sosialisasi ayat 92 itu sudah berjalan lama dan telah diketahui oleh mereka yang terlibat dalam perbelahan politik itu, tetapi tidak dihiraukan.

Mengenai ayat 92 surah al-Anbiyâ di atas, ada juga mufasir yang menafsirkan ummatukum ummatan wâhidah dengan mengutip Ibn ‘Abbâs sebagai dînukum dînun wâhid agamamu adalah agama yang tunggal. (Lih. Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî, Shafwatu al-Tafâsîr, jilid 2. Beirut: Dâru al-Qur’ân al- Karîm, 1405/1985, hlm. 273. Saya mengikuti tafsiran Ayoub seperti dikutip di atas yang mirip dengan tafsiran Muhammad Asad “this community of yours is one single community” (komunitas kamu ini adalah komunitas yang tunggal.” (Lih. Muhammad Asad, The Message of the Qur’ân. Gibraltar: Dar Al-Andalus, 1980, hlm. 500).    

Slogan faksi Khawarij “Tidaklah ada hukum itu, kecuali  hukum Allah,” (lâ hukma illâ lillâh), berdasarkan surh al-An'âm: 57; Yûsuf: 40 dan 67 ditafsirkan menurut aliran politik masing-masing. Dengan demikian, kebenaran hakiki tidak terjangkau, slogan tinggal slogan. Dengan slogan ini faksi Khawarij ingin membabat habis pihak yang tidak menuruti kehendak mereka. Bagi faksi Khawarij, baik pihak ‘Alî maupun pihak Mu’awiyah dinilai sudah keluar dari hukum Allah. Oleh sebab itu, darahnya jadi halal. Maka tidaklah kita heran pada era modern aliran politik penghalalan darah ini disebut juga sebagai neo-Khawarij. Lagi-lagi, sumber biang kerok gerakan kekerasan kontemporer ini berasal dari etnis Arab yang sedang kehilangan harapan masa depan.

Pada Januari 2016, dalam Resonansi Republika, saya telah menulis tentang “Kotak Suni, Kotak Syiah, Tinggalkan Kotak.” Tujuan artikel itu agar umat Muslim tidak lagi mengurung diri dalam kotak-kotak sempit yang tidak ada kaitannya dengan Alquran dan kenabian. Kotak-kotak itu sepenuhnya buatan sejarah yang kemudian dijadikan ukuran kebenaran. Kita kutip lagi: “Sunisme, syi’isme, plus kharijisme seolah telah menjadi sesembahan baru bagi dunia Islam dengan “memaksa” Tuhan berpihak kepada pada kotak-kotak itu… Umat Islam sedunia selama puluhan abad telah terseret oleh sengketa elite Arab itu.” (Lih. Ahmad Syafii Maarif, Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam. Yogyakarta: Bunyan, 2018, hlm. 33). n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat