Bagian tembok yang mengelilingi Candi Kedaton di KCBN Candi Muaro Jambi, Muaro Jambi, Jambi. | Republika/Ronggo Astungkoro

Nasional

Candi Muaro Jambi Dulu dan Kini

KCBN Muaro Jambi jadi pusat peradaban yang menyediakan ruang untuk belajar dan penelitian.

Oleh Ronggo Astungkoro

Sudah beberapa kali Agustina melangkahkan kaki di kompleks Candi Muaro Jambi, Muaro Jambi, Jambi. Tapi, baru kali ini dia menyadari ada banyak perubahan di sana. Terakhir kali dirinya berwisata bersama dengan keluarga ke Candi Muaro Jambi tak jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda.

Ketika itu, kawasan tersebut masih berantakan. Banyak reruntuhan candi yang masih tertimbun tanah. Jalan setapak untuk berkeliling pun masih tidak jelas bentuknya. Belum lagi tak tertatanya warga sekitar yang berjualan di sekitar kawasan.

Menurut ibu berusia 54 tahun itu, apa yang dia lihat kala itu sungguh berbeda dengan yang dia lihat saat ini. Drastisnya perubahan yang dia lihat membuat dirinya merasa bangga sebagai salah satu warga masyarakat Jambi asli. Kini, dia merasa keberadaan Candi Muaro Jambi dapat menjadi perhatian di bidang pariwisata, yang kerap menjadi olokan warga masyarakat lain.

photo
Tumpukan batu bata yang diperkirakan berasal dari abad ke-7 hingga ke-8 masehi yang berada di area Candi Kedaton, KCBN Candi Muaro Jambi, Muaro Jambi, Jambi. - (Republika/Ronggo Astungkoro)

“Dulu dibilang, ‘Jambi dak ado apo-apo (tidak ada apa-apa). Terbelakang.’ Sekarang kami bangga dengan adanya kawasan Candi Muaro Jambi ini. Apalagi sudah rapi. Bisa jadi pemasukan untuk daerah juga ke depan kalau seperti ini,” tutur Agustina saat ditemui di kawasan Candi Muaro Jambi, Sabtu (4/2/2024).

Agustina merasa Candi Muaro Jambi kini sudah lebih baik dari terakhir kali dia ke sana karena melihat sejumlah perubahan. Reruntuhan candi yang dia lihat sebelumnya sudah tidak ada, melainkan sudah disusun ulang menjadi candi oleh pengelola Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Candi Muaro Jambi.

Jalan setapak untuk berkeliling yang dulu seadanya, kini sudah lebih rapi. Warung-warung dadakan tempat warga sekitar berjualan kini sudah tidak berada di sana, melainkan dipindah ke satu area khusus sebagai sentra penjualan makanan dan minuman. Penyewaan sepeda, sepeda listrik, hingga homestay pun turut ditata menjadi lebih rapi.

Republika berkesempatan berkeliling dan melihat langsung sejumlah candi yang berada di kawasan Candi Muaro Jambi. Dari 22 candi yang berada di dalam kawasan tersebut, setidaknya Republika melihat enam bangunan candi yang sedang dalam proses revitalisasi maupun yang sudah selesai direvitalisasi.

Sebagai titik awal perjalanan, Republika diajak untuk melihat kondisi candi yang masih dalam proses restrukturasi, yakni Candi Kotomahligai. Area candi tersebut masih dikelilingi oleh seng yang biasa digunakan untuk menutupi suatu proyek. Setelah melalui pintu masuk, Republika melihat apa yang Agustina lihat dulu, yakni reruntuhan candi yang masih tertimbun tanah dan pohon.

Candi Kotomahligai dikelilingi oleh tembok berukuran kurang lebih 97,5x120 meter yang masih dalam proses pembenahan. Selain dipenuhi reruntuhan candi, area tersebut juga ditumbuhi pohon-pohon besar. Tak sedikit pohon yang tumbuh di atas gundukan reruntuhan batu bata yang diperkirakan sudah ada sejak periode abad ketujuh hingga kedelapan masehi itu.

Dari sana, Republika menyusuri jalan setapak untuk menuju Candi Kedaton. Di sepanjang perjalanan seolah membelah hutan, terdapat berbagai jenis pohon yang tumbuh di kiri-kanan jalan setapak. Setidaknya yang jelas terlihat adalah pohon duku dan pohon manggis. Aroma duku begitu menyengat ketika Republika melewati pohon yang buahnya sudah matang dan jatuh ke tanah lalu terinjak.

Perjalanan dengan berjalan kaki menempuh waktu kurang lebih 20 menit karena harus lewat jalan memutar. Kawasan Candi Muaro Jambi yang berada di lahan yang dikelilingi oleh parit sebagai jalur transportasi dan pengendalian banjir menjadi tergenang di sejumlah titik karena Jambi sudah memasuki musim hujan.

Suasana yang berbeda dapat dirasakan ketika kaki melangkah ke area Candi Kedaton berada. Bangunan candi dan bangunan sekelilingnya tampak rapi tertata di atas hamparan luas rumput hijau. Di antara bangunan-bangunan yang sudah kembali tersusun itu terdapat pohon-pohon. Disebutkan, luas area Candi Kedaton itu mencapai 4,6 hektare. Di sana, terdapat sumur yang konon memiliki PH air netral.

photo
Sumur yang berada di area Candi Kedaton di KCBN Candi Muaro Jambi, Muaro Jambi, Jambi. - (Republika/Ronggo Astungkoro)

Dari sana, perjalanan dilanjutkan menuju Candi Paritduku. Dengan menggunakan sepeda listrik, perjalanan memakan waktu kurang lebih lima hingga 10 menit. Sesampainya di sana, Republika hanya bisa melihat dari jauh candi yang masih sama kondisinya dengan Candi Kotomahligai, bedanya di sana tampah dipenuhi pohon duku. Jembatan yang belum diperbaiki tak bisa digunakan untuk menyeberangi parit atau selokan yang mengelilingi candi itu.

Tak lama berada di sana, Republika kembali menyusuri jalan menuju gerbang utama KCBN Candi Muaro Jambi. Sebelum sampai ke sana, Republika melalui dua candi yang sudah diperbaiki. Tak seluas dan sebesar Candi Kedaton, tapi sudah tertata cukup rapi. Kedua candi itu bernama Candi Tinggi dan candi Astano.

Menjelang masuk ke jalan gerbang utama KCBN Muaro Jambi, tampak Candi Gumpung. Candi itulah yang pertama kali menyapa para pengunjung ketika tiba di KCBN Muaro Jambi. Area Candi Gumpung tak kalah luas dengan area Candi Kedaton. Karena merupakan ‘pintu gerbang’ KCBN, lokasi ini pun lebih ramai. Meski begitu, kondisinya sudah seperti yang Agustina katakan, sudah tertata rapi.

Perubahan itu terjadi tidak secara tiba-tiba. Revitalisasi KCBN Candi Muaro Jambi saat ini memang menjadi agenda prioritas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) di bawah naungan Direktorat Jenderal Kebudayaan. KCBN Muaro Jambi telah menjadi fokus pelestarian karena situs ini memiliki bentuk struktur bata yang khas dan nilai historis yang menarik.

Struktur bata yang telah diinventarisasi berjumlah 88 buah, dengan sembilan di antaranya telah dilakukan pemugaran, yaitu Candi Astano, Candi Kembarbatu, Candi Tinggi, Candi Tinggi I, Candi Gumpung, Candi Gumpung I, Candi Gedong I, Candi Gedong II, dan Candi Kedaton. Candi Muarajambi merepresentasikan keunikan yang luar biasa dalam tradisi spiritual dan pendidikan Buddhisme di Asia Tenggara.

Kawasan Candi Muaro Jambi memiliki luas 3.981 hektare dan telah ditetapkan sebagai warisan budaya nasional berdasarkan penetapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 259/M/2013. Pada tahun 2022 telah dilakukan Program Revitalisasi KCBN Muaro Jambi yang meliputi pemugaran, perencanaan pemugaran, normalisasi parit keliling, dan penataan lingkungan.

Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Fitra Arda menerangkan, pada tahun 2024 ini akan dilakukan pembangunan museum, pemugaran Candi Kotomahligai dan Candi Paritduku, perencanaan pemugaran Candi Sialang dan Candi Alun-Alun, dan penataan lingkungan Candi Kotomahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong, dan Candi Astano serta Normalisasi parit dan kolam.

“Pelestarian candi-candi tersebut bertujuan untuk menajamkan akal budi, menguatkan rasa kemanusiaan, serta menyusuri jejak masa lampaunya sebagai poros edukasi Budhisme tertua dengan area terluas di Asia Tenggaram,” jelas Fitra.

Dia menjelaskan, revitalisasi KCBN Muaro Jambi merupakan sebuah tindak lanjut dari Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Ada dua hal yang dituju, yang berkaitan dengan ketahanan budaya serta kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia. Menurut dia, pelestarian KCBN Muaro Jambi tidak hanya berfokus pada cagar budaya, tetapi juga mengembangkan pelindungan alam dan lingkungan.

“Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam revitalisasi di kawasan ini, yaitu menjadikan kawasan ini sebagai pusat pendidikan, penguatan sumbu imajiner dengan menata kawasan candi, penguatan ekosistem melalui ekonomi kerakyatan berbasis kebudayaan takbenda,” jelas Fitra.

photo
Area Candi Kotomahligai yang berada di KCBN Candi Muaro Jambi, Muaro Jambi, Jambi, dalam proses revitalisasi, Sabtu (3/2/2024). - (Republika/Ronggo Astungkoro)

Dia mengatakan, pengembangan kawasan diharapkan tidak menghilangkan esensi pedesaannya dan masyarakat menjadi aktor utama dalam pengelolaannya. Selain itu, pembangunan KCBN Muaro Jambi juga bertujuan untuk mengedukasi masyarakat, kebudayaan bukan sekedar cagar budaya dan seni tari, lebih dari itu, kebudayaan adalah metode dalam pembangunan dan menyiapkan fondasi dasar bagi kemajuan bangsa.

“Saat ini, kebudayaan sudah tidak lagi dianggap sebagai cost, tetapi investasi jangka panjang,” ungkap Fitra.

Investasi kebudayaan berupa pementasan dalam rangka pengenalan budaya, membuka ruang inklusif yang menghubungkan kebhinnekaan, serta membangun ekonomi kerakyatan secara jangka panjang.

Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V Kemendikbudristek Agus Widiatmoko mengatakan KCBN Muaro Jambi jangan hanya dipandang sebagai destinasi pariwisata, melainkan sebagai pusat peradaban yang mencerminkan warisan budaya.

“Kita harus melihat Muaro Jambi sebagai pusat peradaban yang menyediakan ruang untuk belajar dan penelitian yang mendalam,” ucap Agus. Selain itu, peran masyarakat sangat penting untuk menjadi wahana bagi pengembangan ekonomi lokal dan pemajuan pendidikan. 

Menata dengan memberdayakan masyarakat
Apa yang Agustina lihat di KCBN Muaro Jambi saat ini dapat diamini setelah Republika melihat langsung bersihnya kawasan sekitar candi dari pedagang. Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V Agus Widiatmoko Kemendikbudristek mengatakan, kondisi itu tercipta setelah pihaknya melakukan penataan lingkungan pada 2022 lalu. Di mana, penataan dilakukan di tiga zona, yakni Candi Gumpung, Candi Tinggi, dan Kolam Telago Rajo.

“Sebelum ditata, zona ini lumayan crowded. Itu juga jadi tempatnya berdagang. Kemudian jadi semacam terminal ya. Sepeda di situ, bentor (becak motor) di situ. Kemudian bangunan-bangunan juga banyak di situ. Bangunan yang dulu dibangun itu tidak terkendali tanpa perencanaan,” ucap Agus.

Saat hendak melakukan penataan, pertanyaan terbesarnya adalah akan seperti apa nasib pedagang yang merupakan warga sekitar Candi Muaro Jambi. Dari sanalah muncul ide mewadahi mereka dengan Paduka atau Pasar Dusun Karet. pihaknya bekerja sama dengan warga lokal untuk mengembangkan usaha mereka dengan membina mereka menjadi UMKM yang baik.

“Setelah kita latih di suatu tempat pelatihan, tahun kemarin kita bawa studi komparasi di pasar pabingan di Temanggung. Jadi 30 orang ini kita menginap di sana, ikut berdagang, kemudian juga ikut belajar membuat makanan yang secara tradisional tanpa pengawet,” kata Agus.

Pembinaan kepada para pedagang tidak hanya berhenti di situ. Ke depan, tepatnya pada akhir bulan ini, akan ada perwakilan pedagang yang diberangkatkan ke Vietnam untuk melihat kegiatan ekonomi serupa di sekitar candi yang berada di dekat Sungai Mekong.

photo
Perahu-perahu yang dapat disewa pengunjung untuk mengunjungi Pasar Apung di KCBN Muaro Jambi, Muaro Jambi, Jambi. - (Republika/Ronggo Astungkoro)

Dikirimnya mereka ke Vietnam bukan tanpa sebab. Pihaknya melihat banjir kerap terjadi di kawasan itu ketika memasuki musim penghujan. Air sungai Batang Hari naik dan membuat desa-desa di sepanjang sungai terendam banjir, yang membuat Paduka sulit terlaksana. Pihaknya hendak memutarbalikkan situasi dengan memanfaatkan banjir tersebut sebagai tempat usaha. 

“Kita diskusi bagaimana pandangan kita balik, banjir ini supaya menyenangkan, mendatangkan rezeki. Orang-orang senang kesini. Nah itulah kemudian lahirlah Paduka ini jadi pasar apung. Jadi masyarakat yang punya perahu kita kumpulin, kemudian kita coba jualan di atas perahu,” kata dia.

Proses yang baru berjalan sejak awal tahun ini tersebut membuahkan hasil cukup signifikan. Pada mulanya pedagang di pasar apung hanya meraup Rp 450 ribu per hari. Dari sana, dengan bantuan media dan media sosial, pendapatan mereka terus meningkat hingga saat ini bisa mencapai Rp 16 juta per hari.

“Bisa untuk meningkatkan ekonomi masyarakatnya. Yang tadinya terpinggirkan. Nah sekarang mereka mulai bahagia ya, senang bahwa ‘oh ternyata nilai-nilai budaya kita itu juga laku loh. Juga bisa membuat orang senang,’” jelas Agus.

Lokasi Agus berbicara itu tak jauh dari lokasi pasar apung berada. Warga yang hendak menaiki perahu dan jajan di pasar apung tampak terus berdatangan, terutama menjelang sore hari. Mereka yang menyewa perahu mendayung perahunya menuju ke perahu-perahu penjual jajanan tradisional di sana atau sekadar berfoto-foto di atas perahu.

Sebagai koordinator, Dian Ropiah sedang mengarahkan pengunjung menuju perahu sewaan ketika ditemui. Dia merupakan seorang ibu rumah tangga sebelum terjun aktif berjualan dan menyewakan perahu. Dari yang hanya menunggu uang dari suami, kini dia bisa mendapatkan uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah.

“Mencukupilah. Harapannya terus ada ini jangan sampai tutup,” kata wanita berusia 48 tahun itu.

 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat