Sejumlah tim medis mengevakuasi seorang pasien menuju Ruang Isolasi Khusus Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Kariadi saat simulasi penanganan wabah virus novel Coronavirus (nCoV) di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (30/1/2020). ANTARA FOTO/Aji Styawan/aww. | ANTARA FOTO/Aji Styawan/aww.

Opini

Covid 19 dan Respons Bencana 

Hadiki Habib dan Yogi Prabowo, Relawan Medical Emergency Rescue Committee (MER-C)

Sejak akhir Desember 2019, infeksi virus yang disebut dengan Covid-19 menjadi isu krusial di masyarakat dan dunia kesehatan. 

Meskipun saat ini di Wuhan dan daerah sekitarnya yang menjadi episentrum epidemi jumlah kasus barunya makin menurun, di negara-negara lain akselerasi penyebaran infeksi masih terus terjadi, seperti di Italia, Iran, dan Singapura.

Awal Maret 2020, pemerintah mengumumkan ada dua kasus positif Covid-19 yang penularannya terjadi di wilayah Indonesia dan menjadi tanda epidemi telah sampai negara kita. 

Menghadapi epidemi pada era keterbukaan informasi dan politik post truth diperlukan strategi dari perspektif big picture yang tidak hanya melibatkan aspek klinis dan kesehatan masyarakat. Namun, diperlukan juga wawasan manajemen bencana dengan mengacu pada UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan pertimbangan ketahanan nasional. Sikap kita sebagai warga negara juga harus jelas, tetap waspada, mengambil informasi dari sumber yang kredibel, tetapi tidak perlu panik.

Setidaknya ada tiga tantangan utama yang perlu dihadapi. Pertama, tantangan kedokteran berbasis bukti. Tidak dapat dimungkiri, virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19 masih diteliti perilakunya baik di lingkungan maupun dalam tubuh manusia serta efeknya terhadap kesehatan. 

Insiden dan tingkat kematian akibat Covid-19 yang berbeda-beda di berbagai wilayah di dunia menghasilkan banyak interpretasi, mulai dari virus yang terus bermutasi sehingga sifatnya tak bisa diprediksi sampai faktor perbedaan kesanggupan negara-negara mendeteksi dan menangani penyakit. 

Artinya, angka kematian rendah mungkin terjadi karena tata laksana medis yang dikerjakan adekuat sehingga mampu mencegah kematian, dan angka infeksi tinggi mungkin karena perbedaan cara surveillance untuk menemukan kasus. 

Praktisi bidang kesehatan di Indonesia saat ini masih terus mengumpukan informasi berbasis bukti sambil terus berusaha memberikan edukasi dan advokasi kepada masyarakat, memotong informasi yang simpang siur di media sosial. 

Kedua adalah tantangan alur pelayanan kesehatan. Orang dalam pemantauan dan pasien dalam pengawasan perlu dipertegas alur pelayanannya di sistem kesehatan. Alur yang dibuat harus sederhana, mampu laksana, dengan mempertimbangkan beban layanan kesehatan sehari-hari. 

Alur yang tidak jelas dapat menyebabkan bencana dalam rumah sakit. Unit gawat darurat bisa penuh sesak, ruang isolasi penuh oleh pasien-pasien dalam pengawasan, layanan rutin pasien sehari-hari bisa terganggu, kinerja petugas akan turun karena rasa cemas saat bekerja.

Kondisi ini perlu dijawab dengan menambah jumlah laboratorium yang diberi izin melakukan pemeriksaan RT-PCR. Indonesia memiliki kemampuan sumber daya manusia dan alat-alat untuk melakukan pemeriksaan ini. 

Menegakkan diagnosis laboratoris dengan ringkas dan cepat akan mempermudah para klinisi membuat keputusan pada pasien dalam pengawasan, menurunkan waktu isolasi dalam rumah sakit, menurunkan keramaian di rumah sakit, dan dapat menjadi sumber data epidemiologi untuk mengambil kebijakan. 

 
Layanan kesehatan prarumah sakit telah tersedia di berbagai provinsi di Indonesia yang disebut dengan public safety center (PSC) perlu diintegrasikan dengan puskesmas dan rumah sakit. 
   

Tujuannya agar dapat membentuk pusat-pusat konsultasi, mengunjungi orang-orang yang mengalami keluhan untuk diperiksa dan diambil sampel di tempat tinggal masing-masing, serta menggunakan ambulans untuk merujuk pasien yang kondisinya butuh rawat inap. 

Selain itu, agar layanan ini terkoordinasi dengan baik, perlu ada medical director yang memiliki dasar ilmu di bidang kedokteran gawat darurat. 

Bila jumlah kasus terus bertambah, perlu disiapkan tidak hanya ruang isolasi, tapi juga rumah sakit isolasi, khusus untuk mengobservasi pasien-pasien dalam pengawasan, sementara pasien-pasien reguler di diversi ke rumah sakit lain. 

Rumah sakit rujukan di masing-masing daerah tidak boleh menjadi pilihan pertama karena merupakan tulang punggung layanan rujukan sehari-hari, jangan sampai fungsi utama ini lumpuh.

Tantangan ketiga adalah menghadapi bencana sosial. Bencana ini terjadi karena rasa takut terbentuk di alam pikiran masyarakat karena banyak cerita disebarkan melalui media sosial yang tidak jelas yang mana fakta dan mana opini. 

Manifestasi rasa takut adalah kepada perilaku curiga, antipati dengan sumber-sumber informasi formal, panic buying, dan akhirnya akan memengaruhi stabilitas harga-harga di pasar.   

Untuk menghadapi tantangan ketiga, diharapkan determinasi yang tinggi dari pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan jaminan kecukupan kebutuhan pokok, menjamin kelancaran akses administrasi dan pembiayaan di fasilitas kesehatan, dan menindak penimbun yang mengganggu ketersediaan barang-barang penting di pasar, seperti masker bedah, masker N95, dan cairan pencuci tangan.

Pendekatan komprehensif diharapkan dapat mengurangi bahaya dan menurunkan tingkat kerentanan masyarakat dalam menghadapi dampak bencana. Semoga kita semua makin sadar bahwa kesehatan merupakan salah satu pilar utama ketahanan nasional dan menjadi tolok ukur muruah sebuah bangsa. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat