Peserta pameran menunjukan tas yang terbuat dari daur ulang limbah fesyen saat acara Langkah Membumi Festival (LMF) 2023 di SCBD Park, Jakarta Selatan, Sabtu (25/11/2023). Gelaran LMF tahun kedua yang mengusung tema besar ‘One Action, One Earth’, itu menj | Republika/Putra M. Akbar

Gaya Hidup

Bergaya Namun Tetap Bertanggung Jawab pada Alam

Sustainable fashion sebetulnya sudah mendarah daging di Indonesia.

Industri fashion bertanggung jawab atas 10 persen emisi karbon global tahunan. Jumlah ini lebih besar daripada gabungan seluruh penerbangan internasional dan pelayaran laut, demikian menurut Program Lingkungan PBB (UNEP).

Dengan laju seperti ini, emisi gas rumah kaca industri fashion diprediksi akan melonjak lebih dari 50 persen pada 2030. Atas dasar itulah, praktik slow fashion atau sustainable fashion kini dinilai sebagai kebutuhan mendesak untuk menjaga Bumi tetap lestari.

Faktanya, praktik slow fashion atau sustainable fashion ternyata telah lama eksis di Indonesia. Co-founder Setali Indonesia, Intan Anggita Pratiwie, mengatakan, sustainable fashion sebetulnya sudah mendarah daging di Indonesia.

photo
Co Founder Setali Indonesia Intan Anggita Pratiwi - (Republika/Thoudy Badai)
 

Hanya saja, seiring perkembangan zaman, praktik slow fashion itu kerap terlupakan. “Jadi, emang maknanya aku bikin Setali juga untuk mengenali dan kembali ke akar. Karena kalau kita ngomongin slow fashion, sustainable fashion, itu masyarakat Indonesia sejak lama sudah melakukan praktik itu. Hanya saja, memang mereka enggak pernah mem-branding itu sebagai slow fashion,” kata Intan saat diwawancarai Republika di kantor Setali, Jakarta Selatan, Senin (11/12/2023).

Intan mengungkapkan, beberapa praktik sustainable fashion, seperti penggunaan pewarna alami, bahkan hingga saat ini masih digunakan oleh para pengrajin tenun di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Pewarna alami bersifat biodegradable, tidak beracun, dan non-alergi sehingga umumnya lebih baik bagi lingkungan dan untuk digunakan sekitar manusia.

“Tapi, yang bikin menjadi berantakan adalah ada orang-orang, dulu ya pas zaman kolonialisme, mereka masukin pewarna sintetis agar estetikanya lebih dapet katanya. Padahal warna-warna bumi itu lebih ramah lingkungan, karena tidak merusak tanah dan lingkungan itu sendiri dan tidak menjadi polusi,” ujar Intan.

photo
Co Founder Setali Indonesia Intan Anggita Pratiwi - (Republika/Thoudy Badai)

Karena itu, praktik sustainable fashion itu tidak mustahil diterapkan pada era modern. Hanya saja, menurut Intan, itu akan kembali lagi pada pola pikir dan mentalitas masing-masing individu dan perusahaan. Jika kesadarannya sudah mencakup purpose, people, planet, profit, mereka akan memilih untuk mencari bahan-bahan yang lebih ramah lingkungan.

“Tapi, kalau mereka cuma mikirin profit aja, pasti mereka akan kembali ke pewarna buatan karena dianggap lebih murah, lebih cepat, dan lebih mudah, meskipun ya dampaknya itu sangat buruk pada alam dan lingkungan,” kata Intan.

Co Founder Setali Indonesia Intan Anggita Pratiwi - (Republika/Thoudy Badai)

 

Sejak 2018, bersama Setali Indonesia, Intan juga terus melakukan edukasi dan kampanye tentang sustainable fashion. Termasuk melakukan workshop recycling secara rutin. Melalui workshop tersebut, Intan berbagi ilmu terkait bagaimana cara merombak dan menata ulang baju bekas agar kembali layak pakai.

“Kami di Setali selalu mengampanyekan bagaimana sustainable fashion itu suppose to be inklusif bukan eksklusif. Jadi, kami juga merangkul mereka yang masih di tahap pencarian karakter untuk bisa terbuka dengan praktik fashion berkelanjutan,” ujar Intan.

Dari Lemari Sendiri

photo
Co Founder Setali Indonesia Intan Anggita Pratiwi - (Republika/Thoudy Badai)

Dari 100 miliar pakaian yang diproduksi setiap tahun, 92 juta ton berakhir di tempat pembuangan akhir, demikian menurut Ellen Macarthur Foundation. Sebagai gambaran, ini berarti setara dengan satu truk sampah yang penuh dengan pakaian yang berakhir di tempat pembuangan akhir setiap detiknya.

Jika tren ini terus berlanjut, jumlah sampah fast fashion diperkirakan akan melonjak hingga 134 juta ton per tahun pada akhir dekade ini. Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi limbah fashion?

Salah satu cara termudah adalah dengan memulainya dari lemari kita. Menurut Intan, setiap orang bisa mulai berkontribusi menekan limbah fashion dengan memilah pakaian yang sekiranya sudah tidak terpakai untuk kemudian didaur atau recycling. “Jadi, aksi paling sederhana untuk memulai adalah melihat isi lemari kamu, lihat baju mana yang sebenarnya sudah tidak terpakai, itu bisa dicoba untuk didaur daripada nantinya jadi limbah,” kata Intan.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by TINKERLUST (@tinkerlustid)

Ketika sudah memilah pakaian lama yang akan didaur, langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah merancang desain untuk menciptakan tampilan yang segar dan terasa baru. Menurut Intan, saat ini sudah ada banyak ide-ide recycle di media sosial termasuk di laman Setali Indonesia, yang bisa dijadikan referensi.

“Jadi, kalian tinggal cari referensi, terus belajar untuk mendaurnya. Kalau ada waktu yang agak banyak, kalian juga mulai belajar menjahit kembali dan mulai memberanikan diri kalian untuk mencoba recycle,” kata Intan.

Selain melakukan recycle, cara lain untuk menekan limbah fashion adalah dengan merawat pakaian yang telah dibeli agar tidak mudah kusam atau rusak. Perawatan yang bisa dilakukan pun tidak muluk-muluk, misalnya, dengan mencuci pakaian dengan tangan, agar pakaian bisa lebih tahan lama. Kemudian saat dijemur dan disetrika, pakaian pun harus dibalik.

Ia juga menyarankan agar tidak mengenakan pakaian kerja atau pakaian terbaik untuk tidur. Menurut dia, ketika pakaian sudah dipakai untuk tidur, pakaian tersebut akan lebih cepat lecek dan warnanya memudar.

"Nah, kalian juga bisa melakukan perbaikan kalau semisal bajunya bolong atau robek. Kalau bisa jahit ya jahit sendiri, tapi kalau enggak bisa, kalian bisa menggunakan jasa vermak atau tukang jahit keliling. Dengan cara-cara seperti ini, kita bisa berkontribusi menekan limbah fashion,” kata Intan.

 

 

 
Kalau cuma mikirin profit aja, pasti mereka akan kembali ke pewarna buatan karena dianggap lebih murah. 
 
INTAN ANGGITA PRATIWIE, Co-founder Setali Indonesia. 
 
 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Inspirasi Baju untuk Tampil Tetap Gaya Ketika Bekerja

Ada banyak gaya pakaian kantor wanita yang bisa dicoba atau dipadupadankan.

SELENGKAPNYA

Jangan Buru-buru Beli Baru, Perbaiki Dulu Baju Lama Kita

Pelanggan kini bisa mendapatkan layanan kustomisasi melalui embroidery.

SELENGKAPNYA

Mengolah Limbah Plastik Menjadi Wayang

Wayang Tavip mengampanyekan dan memanfaatkan limbah sebagai produk bernilai ekonomi.

SELENGKAPNYA