Febby Lissa Ayu Aryanti | Riga Nurul Iman/Republika

X-Kisah

Sang Pelukis Berbakat yang tak Sekolah

 

Sosok remaja asal Desa Bojongjengkol, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, menjadi perbincangan warga di dunia maya dan nyata dalam beberapa hari terakhir. Remaja tersebut adalah Febby Lissa Ayu Aryanti (17 tahun) yang putus sekolah sejak tingkat SMP dan tidak melanjutkan ke SMA karena ketiadaan biaya.

Berita Febi menyebar dan viral melalui media sosial (medsos) karena kemampuannya menggambar sketsa dan hasil karyanya dijual untuk bisa melanjutkan sekolah. Saat ini, dengan menggambar sketsa tersebut, Febi bisa membeli alat lukis dan kebutuhan belajar meskipun hingga kini belum bersekolah lagi.

Febi kini tinggal bersama dengan ibu kandungnya, Yani Hendrayani (38), dan ayah tirinya, Aden Sobandi (50), serta neneknya, Pipih (60), dan dua adik perempuan di Kampung Cirendeu RT 15 RW 04, Desa Bojongjengkol. Mereka tinggal di rumah kurang layak huni dan dijadikan tempat usaha jualan kopi dan makanan ringan.

“Sehari-hari bantuin ibu di warung dan mengurus nenek yang sakit,” ujar Febi ditemui di rumahnya, Kamis (5/3). Sebab, sejak lulus MTs atau SMP pada 2019 lalu, orang tuanya tidak mampu membiayainya melanjutkan ke jenjang SMA.

Febi awalnya bersekolah di SDN Bojonglopang, Jampang Tengah. Selanjutnya, bersekolah di SMP Jampang tengah dan pindah ke MTs Tanah Abang Jakarta dan pindah kembali ke MTs Sofa Marwah pada kelas tiga hingga akhirnya lulus.

Selain membantu ibunya di warung, Febi juga pintar menggambar sketsa dan anime. Sejak kecil, ia memang hobi menggambar dengan belajar sendiri atau autodidak seperti menggambar di dinding rumahnya. “Sketsa dijual Rp 20 ribu kalau anak sekolah dan tergantung gambarnya,” ujar Febi.

Uang hasil jualan sketsa, kata Febi, digunakan untuk membeli alat melukis dan kebutuhan belajar atau menabung untuk melanjutkan menggambar. Namun, diakuinya, saat ini ijazah dan rapor di MTs masih ditahan sekolah karena tidak ada biaya menebus biaya kelulusan.

Awalnya, pihak sekolah meminta Rp 1 juta, tapi diberi keringanan menjadi Rp 700 ribu. Besaran uang tersebut belum juga bisa dibayarkan karena orang tuanya hanya berjualan di warung dan bapak tirinya hanya tukang ojek pangkalan.

Selain bisa melukis, Febi juga pandai bahasa Inggris untuk keseharian. “Saya ingin bisa melanjutkan sekolah seperti anak yang lain,” kata dia.

Ibu kandung Febi, Yani Andriyani, mengatakan, Febi merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. “Tidak ada biaya untuk membiayai sekolah, makan //aja// susah,” ujar dia.

Dari hasil jualan di warung per hari, ia hanya bisa mendapatkan Rp 100 ribu dan suaminya dari ojek hanya Rp 50 ribu. Sementara, di rumah tersebut tinggal tujuh anggota keluarga. Bahkan, nenek Febi, Pipih, mengalami struk sejak enam tahun lalu. Febi kini juga membantu merawat neneknya tersebut.

“Saya sebagai orang tua ingin anak sekolah lagi dan sukses karena punya bakat,” imbuh dia.

Yani melihat, bakat Febi sejak anak kecil, yakni umur empat tahun melukis di dinding rumah dan SD makin bisa menggambar. Kini, orang tua hanya bisa berdoa agar anaknya tersebut bisa meneruskan pendidikan seperti anak yang lain.

Kepala Desa Bojongjengkol Dadan Sutisna mengatakan, keluarga Febi memang berasal dari kalangan tidak mampu dan belum mendapatkan bantuan pemerintah, seperti program keluarga harapan (PKH) dan lainnya. Namun, ke depan, pemerintah desa berupaya memberikan bantuan. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat