Buya Abdul Malik Ahmad, foto saat sebagai anggota Konstituante mewakili Masyumi Sumatra Barat. | DOK WIKIPEDIA

Mujadid

Sosok Penjaga Tauhid di Muhammadiyah

Peran Buya Abdul Malik Ahmad di era Orde Baru membuatnya dijuluki sebagai sang penjaga tauhid.

Buya Abdul Malik Ahmad lahir pada 7 Juli 1912. Tokoh Muhammadiyah ini berasal dari Nagari Sumanik, Kelarasan Tanah Datar (Sumatra Barat). Wakil ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 1971-1985 itu masyhur sebagai pribadi yang teguh memegang prinsip.

Ayahandanya, Haji Ahmad bin Abdul Murid (1883-1928), termasuk sosok pembaru Islam di Minangkabau, dan pernah menimba ilmu di Haramain di bawah bimbingan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916). Sang syekh pernah pula mengajar pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan (1868-1923).

Abdul Malik Ahmad mendapatkan pendidikan formal pertamanya di Sekolah Rakjat Sungai Tarab. Begitu lulus dari sekolah, ia meneruskan pendidikan di Sumatra Thawalib Parabek. Setelah satu tahun di sana, ia pindah ke Sumatra Thawalib Padang Panjang, yang waktu itu terkenal dengan metode pengajaran tafsir Alquran. Seorang gurunya selama di Padang Panjang ialah Inyiak Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul (1879-1945), ayahanda Buya Hamka (1908-1981).

Ia melewati masa muda dengan banyak membaca, termasuk karya-karya para pengusung modernisme Islam, semisal Muhammad Abduh (1849-1905), Rasyid Ridha (1865-1935), dan Jamaluddin al-Afghani (1838-1897). Pada 1928 atau setahun sebelum kelulusannya dari Sumatra Thawalib, remaja tersebut aktif di Muhammadiyah Padang Panjang.

photo
Buya Abdul Malik Ahmad - (dok wikipedia)

Menurut Fikrul Hanif Sufyan dalam Sang Penjaga Tauhid (2014), Abdul Malik mengikuti kaderisasi yang diterapkan Ahmad Rasyid Sutan Mansur (1895-1985). Sosok yang dijuluki Buya Tuo itu belakangan turut membentuk karakternya yang tegas dan konsisten dalam berprinsip.

Tamat dari Sumatra Thawalib, Abdul Malik meneruskan sekolah di Tabligh School Muhammadiyah—akhirnya berubah nama menjadi Kulliyatul Muballighin Muhammadiyah. Pada 1936, ia lulus dan tak lama kemudian direkrut sebagai staf pengajar di sana. Pada tahun yang sama, ia menikah dengan Rohana, gadis asal Bukittinggi.

Pada 17 Agustus 1945, kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan di Jakarta. Para pemimpin dan rakyat bersatu padu mempertahankan negeri. Di Sumatra Barat, ulama dan pemuda pun saling bahu-membahu. Pemerintah mengakomodasi para tokoh lokal. Pada 1947, Abdul Malik dilantik menjadi wakil kepala Jawatan Sosial Sumatra Tengah, mendampingi Bagindo Moh Thahar.

Ketika Belanda melancarkan agresi militer kedua, pusat kendali Republik pun bergeser ke Sumatra Barat melalui pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dalam periode ini, Abdul Malik bertanggung jawab terkait urusan pengungsi. Ia juga ikut mengawal Ketua PDRI Syafruddin Prawiranegara dan para pejabat yang bersembunyi di hutan belantara demi menghindari serangan Belanda.

Dukung PRRI

Desember 1949, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI. Abdul Malik Ahmad sejak itu mengepalai Kantor Jawatan Sosial Sumatra Tengah di Padang.

Di Muhammadiyah, dirinya tetap aktif. Namanya juga terdaftar sebagai kader Masyumi. Usai Pemilihan Umum (Pemilu) 1955, Abdul Malik Ahmad terpilih menjadi satu dari 10 anggota Konstituante yang mewakili partai tersebut.

Beberapa tahun usai Pemilu 1955, situasi nasional cenderung “memanas.” Presiden Sukarno mulai bertindak inkonstitusional, umpamanya, dengan melantik dirinya sendiri sebagai formatur kabinet. Sementara itu, daerah-daerah menunjukkan ketidakpuasan karena berbagai kemajuan terkesan hanya berlangsung di pusat. Bagi umat Islam, kondisi lebih suram karena rezim semakin mesra dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Puncak ketakpuasan itu adalah peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Meski terkonsentrasi di Sumatra Tengah (kala itu mencakup Provinsi Sumatra Barat, Riau, dan Jambi kini), pergolakan juga meliputi Sumatra Utara, Sumatra Selatan, dan Sulawesi Utara.

photo
Bekas bangunan masjid yang terbengkalai di Desa Kurai Taji, Pariaman, Sumatra Barat, yang terbengkalai pasca-PRRI. - (DOK WIKIPEDIA)

Sebelum bergabung dengan PRRI, dewan-dewan bercorak militer telah dibentuk di tiap daerah tersebut. Semuanya menyuarakan ketidakpuasan terhadap ketidakadilan yang dipertontonkan pemerintah pusat.

Di Sumatra Tengah, Letkol Ahmad Husein mengomandoi Dewan Banteng. Di Sungai Dareh, 10 Februrari 1958, tentara Angkatan Darat itu bersama sejumlah tokoh mengumumkan ultimatum. Isinya, antara lain, menuntut pembubaran Kabinet Djuanda; mendorong Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX agar membentuk “zakenkabinet” hingga pemilu berikutnya; serta mendesak Sukarno agar kembali menjadi presiden yang konstitusional.

Apabila dalam tempo lima hari poin-poin itu tak dipenuhi, mereka akan membentuk pemerintahan sendiri yang menolak taat pada pusat. Rapat pimpinan Muhammadiyah Sumatra Tengah, yang dipimpin Abdul Malik Ahmad, menyita perhatian publik nasional setelah menyatakan dukungan terhadap gerakan Dewan Banteng, pada Juli 1958. Alasannya, mengutip Fikrul Hanif, Dewan Banteng dianggap telah “menyalurkan hati nurani rakyat.”

PRRI akhirnya terjadi. Tokoh Masyumi Syafruddin Prawiranegara didaulat menjadi ketuanya. Abdul Malik Ahmad pun turut bergabung. Namun, pemerintah pusat kemudian berhasil meredam gejolak itu melalui pendekatan militer. Sesudah itu, banyak simpatisan PRRI yang dipenjara. Abdul Malik sendiri sampai menjalani tahanan rumah di Cisarua, Bogor.

Setahun setelah masa penahanannya berakhir, tokoh Muhammadiyah itu memboyong keluarganya ke Jakarta. Hingga 1963, dirinya masih dikenai wajib lapor. Sementara, Sukarno pada tiga tahun sebelumnya telah membubarkan paksa Masyumi.

Orde Lama pun rubuh seiring gagalnya kudeta PKI pada 1965. Pada Orde Baru, rehabilitasi Masyumi ditolak rezim Soeharto. Alhasil, Abdul Malik dan banyak figur Muhammadiyah memilih berkutat pada dakwah dan amal di ormas tersebut.

photo
ILUSTRASI Pancasila - (dok rep yogi ardhi)

Menolak Asas Tunggal

Fikrul Hanif Sufyan dalam Sang Penjaga Tauhid (2014) menjelaskan, wacana Asas Tunggal bermula dari bentrok fisik antara massa pendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta. Pemerintah Orde Baru yang waktu itu didukung Golkar melihat partai yang berhaluan kanan (agama) itu sebagai sesuatu yang patut diwaspadai. Maka, dirancanglah tafsiran bahwa Pancasila—artinya, bukan agama—harus dijadikan asas satu-satunya dalam berorganisasi.

Rezim kala itu berdalih, Asas Tunggal diterapkan demi melindungi Pancasila dari rongrongan ekstrem kiri-kanan. Melalui penerapan Asas Tunggal, pemerintah yakin, konflik ideologi dapat dihilangkan sehingga pembangunan nasional tak terganggu.

Sejak munculnya wacana Asas Tunggal, PP Muhammadiyah merespons dengan hati-hati. Malahan, persyarikatan cenderung “terbelah” dalam menyikapinya.

Buya Abdul Malik Ahmad menjadi suara paling nyaring dari kubu anti-Asas Tunggal. Ia gigih mempertahankan agar Persyarikatan tetap berasas agama Islam. Fikrul Hanif mengatakan, berbagai strategi dilakukan tokoh asal Sumatra Barat itu untuk menyuarakan argumentasinya. Mulai dari kuliah tauhid, rapat pimpinan Muhammadiyah, kaderisasi, hingga selebaran-selebaran yang bertajuk “Menuju Shiratan Mustaqiima”, yang diedarkan beberapa bulan menjelang Muktamar ke-41 di Solo, Jawa Tengah.

Namun, perjuangannya tak berhasil. Dalam sidang pleno Muktamar ke-41 tanggal 11 Desember 1985, Muhammadiyah akhirnya menerima Asas Tunggal. Hegemoni Presiden Soeharto—yang sempat datang membuka pertemuan akbar itu—memang diakui besar.

Ketua PP Muhammadiyah AR Fachruddin memakai diplomasi “helm”. Yakni, Asas Tunggal diibaratkannya sebagai helm, yang wajib dipakai seorang pengemudi sepeda motor. Akan tetapi, helm itu sendiri tak mengubah apa pun dari jati diri sang pengemudi. Misalnya, ketika masuk masjid, ia dapat melepas helm itu.

 
Suara Buya Abdul Malik bukan berarti tak diindahkan sama sekali. Sebagai contoh, usulannya bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus dimaknai sebagai tauhid diterima secara aklamasi.

Suara Buya Abdul Malik bukan berarti tak diindahkan sama sekali. Sebagai contoh, usulannya bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus dimaknai sebagai tauhid diterima secara aklamasi oleh peserta muktamar. Fikrul Hanif merangkum pandangan para tokoh Muhammadiyah era Orde Baru hingga Reformasi, seperti Amien Rais, AM Fatwa, Rusjdi Hamka, Goodwill Zubir, dan lain-lain. Mereka semua mengamini, Buya Abdul Malik pantas dijuluki sebagai “sang penjaga tauhid” di organisasi modernis ini, utamanya sepanjang era 1970-an hingga 1990-an.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Perubahan Iklim, Alkohol, dan Lonjakan Pencandu Narkoba

Badai atau banjir dapat menghancurkan kehidupan dalam semalam.

SELENGKAPNYA

Rapat Paripurna DPR RI Sahkan Penetapan Calon Panglima TNI

Jenderal TNI Agus Subiyanto menggantikan Laksamana TNI Yudo Margono sebagai Panglima TNI.

SELENGKAPNYA

Aksi Boikot Menjalar ke Minimarket

Aksi boikot akan terus dilakukan sepanjang konflik antara Israel dan Palestina masih terjadi.

SELENGKAPNYA