Kuntowijoyo | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Dimensi Kultural Integrasi Bangsa (Bagian 1)

Sejarah politik kita terpaku pada gejala pemilu pertama.

Oleh KUNTOWIJOYO

Tulisan ini akan dimulai dengan pernyataan yang menyesakkan napas: kita kecewa dengan perjalanan sejarah bangsa. Kita selalu menoleh ke belakang, karena itu budaya politik -- khususnya sistem pengetahuan dan tingkah laku politik -- kita berjalan di tempat, tidak maju-maju. (seterusnya, istilah budaya politik maksudnya ialah sistem pengetahuan dan tingkah lakunya).

Sejarah politik kita terpaku pada gejala pemilu pertama, ketika partai-partai memamerkan ideologi masing-masing: ada ideologi Islam, ada ideologi nasionalis, ada ideologi komunis. Minus Komunisme, keadaan pada Pemilu 1999 sama dengan Pemilu 1955. Perbedaan antara keduanya, seperti ditunjukkan dengan adanya Golkar dan PAN belum mempunyai signifikansi sosial yang meyakinkan. Kekaryaan dan moralitas agama, sebagaimana ditawarkan kedua partai itu, tidak dapat mengubah arus utama budaya politik kita. Pemerintah yang kemudian terbentuk pun, ternyata juga tidak lebih daripada pemerintah yang dulu-dulu.

Pemerintah, seperti dulu-dulu, masih didominasi oleh orang, tidak oleh asisten. Juga bahwa pemerintah lebih banyak menggunakan improvisasi politik daripada arah yang jels. Improvisasi politik pada Presiden I bertema revolusi, Presiden II bertema pembangunan, dan Presiden IV bertema demokrasi. Semuanya hanya retorika. Dulu retorikanya sosialisme Indonesia, nyatanya kediktatoran. Kemudian retorikanya pembangunan, nyatanya konglomerasi. Sekarang retorikanya demokrasi, nyatanya one man show.

Penyebab kita gagal menangkap kesempatan emas sejarah itu terletak dalam budaya politik kita. Kita selalu menolak terobosan-terobosan dalam politik: kita selalu membungkam mereka yang meneriakkan akal sehat, seperti Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi di masa Orla dan Petisi 50 di masa Orba. 

Sejarah politik kita terpaku pada gejala pemilu pertama. 

Kita membungkam dengan agitasi di masa Orla, dan dengan bedil di masa Orba. Akibatnya, kesadaran politik kita berjalan di tempat. Sebenarnya banyak usaha yang dapat kita kerjakan sekarang. Tetapi, kali ini kita akan membicarakan sejumlah usaha dalam budaya politik yang dapat dikerjakan dalam hubungannya dengan integrasi nasional. Kita terpaksa memakai kerangka konseptual lama tentang masyarakat-masyarakat transisional yang telah dibuat oleh Myron Weiner, yaitu ''Political Integration and Political Development'' dengan Harvey G. Kebbschull (ed.), Politics in transitional Societies: The Challenge of Chane in Asia, Africa, and Latin America (New York: Appleton-Century-Croft, 1968), hlm. 263-272.

Secara ringkas, definisi integrasi, menurut Weiner, ialah which holds a society and a political system together. Maka, sebenarnya kita sudah mencapainya 55 tahun yang lalu dalam apa yang disebut Clifford Geertz sebagai ''integrative revolution''. Sayang sejarah kita berjalan tersendat-sendat, sehingga integrasi itu tidak berarti apa-apa bagi masyarakat. Politisi kita pun di masa lalu tidak dapat melawan kecenderungan-kecenderungan sejarah yang menghambat evolusi yang berkelanjutan dari integrasi itu. Mungkin memang tidak punya visi ke depan, mungkin pula karena ada kekuatan penekan yang tak terelakkan.

Politisi kita kebanyakan hanya pandai bermain politik sehari-hari, memobilisasi massa, hanya reaktif, tapi kurang pandai ''membaca'' sejarah. Baru-baru ini seorang anggota DPR dengan jujur mengatakan bahwa sebelumnya ia menjadi pengusaha, dan harus baru terjun ke politik pada 1999, waktu Pemilu. Kecuali integrasi budaya dan sedikit perubahan, tulisan ini mengikuti konsep Weiner. Akan dikemukakan di sini berturut-turut integrasi budaya, integrasi ideologi, integrasi sosial, integrasi nasional, dan integrasi teritorial.

Integrasi budaya

Meskipun budaya bukanlah satu-satunya faktor integrasi dalam sejarah, tetapi inilah salah satu determinan untuk pembentukan Pax Neerlandica Hindia-Belanda yang kemudian dipakai dalam menentukan patokan luasan wilayah waktu Indonesia merdeka. Kebudayaanlah yang menyebabkan Indonesia sudah mempunyai identitas sejak lahir. Misalnya, soal bahasa. Tidak semua negara seberuntung Indonesia yang sudah punya modal persamaan lingua franca. 

Politisi kita kebanyakan hanya pandai bermain politik sehari-hari. 

Di Malaysia, semula tidak semua penduduk berbahasa Melayu, di India bahasa Hindi disebarkan melalui kebijakan kebudayaan, demikian pula di Filipina bahasa Tagalog memerlukan proses yang panjang. Indonesia menerima ''barang jadi''. Kecuali Papua pedalaman, tidak perlu ''indonesianisasi'' lagi. Alangkah mengejutkan, ketika Pemerintah menyatakan bahwa kebudayaan adalah urusan masyarakat. Itu bahkan tidak terjadi di negeri-negeri Eropa dan Amerika. Di sana untuk kebudayaan ada pemerintah nasional, pemerintah, dan pemerintah kota. Ada juga memang kebudayaan yang dikelola melalui donasi swasta.

Peninggalan sejarah, museum, perpustakaan sekolah, universitas, pengembangan ilmu, dan usaha-usaha kebudayaan yang non-profit tidak mungkin sepenuhnya menjadi urusan masyarakat. ''Menjadi urusan masyarakat'' artinya menyerahkan sepenuhnya pada pasar. Identitas nasional terlalu riskan untuk diserahkan pada pasar. Ternyatalah bahwa hanya sektor-sektor tertentu yang dapat diswastanisasi. Itu pun dengan risiko. Swastanisasi pendidikan, misalnya, dapat mengakibatkan kesenjangan antar kelas semakin tajam. hanya anak-anak orang kaya dapat memasuki lembaga-lembaga terbaik, sehingga pendidikan hanya akan melestarikan dominasi kelas.

Sekarang saja di universitas negeri kebanyakan dihuni anak-anak orang kaya. Sebabnya jelas: hanya orang kaya dapat menyediakan nutrisi yang memadai bagi anak untuk dapat meraih prestasi. Itulah sebabnya selalu ada subsidi untuk pendidikan di negara-negara yang paling menghargai kompetisi pun. Walhasil, kita ingin mempersoalkan kebijakan untuk menyerahkan kebudayaan pada masyarakat. Bisa-bisa kita mburu uceng kelangan deleg (memburu yang tak penting, kehilangan yang penting). Suatu improvisasi politik yang tidak memikirkan konsekuensi sosialnya!

Integrasi ideologi

Selama 55 tahun kita sudah punya ideologi nasional bernama Pancasila. Tetapi, ia tidak pernah menjadi kenyataan sejarah. Kita suka memanipulasi ideologi. Kita selalu memakainya untuk menjamin loyalitas vertikal. Artinya, Pancasila kita pakai sebagai cara untuk menakut-nakuti warga negara supaya tunduk pada negara, yaitu terhadap rezim yang sedang berkuasa. Pada zaman Orla namanya indoktrinasi, pada zaman Orba namanya penataran. Dulu kita takut pada partai kalau-kalau dituduh kontra-revolusi. Kemudian kita takut pada tentara kalau-kalau dituduh anti-Pancasila. 

Selama 55 tahun kita sudah punya ideologi nasional bernama Pancasila. Tetapi, ia tidak pernah menjadi kenyataan sejarah. 

Sekarang indoktrinasi dan penataran ditiadakan, tetapi ketakutan tetap lestari. Kita takut pada massa, satgas partai, dan satgas ormas. Sepatutnya, sekarang kita melakukan kritik atas Pancasila. Sila-sila dalam Pancasila tidak pernah integrated. Tidak ada koherensi (keterpaduan) antarsila yang satu dengan lainnya, dan korespondensi (kecocokan) antara sila dengan realitas politik. Sila kebangsaan tidak terpikir mempunyai keterpaduan teoretis dengan kedaulatan rakayt. Dalam praktik politik ''kepentingan yang lebih besar'' menjadi alasan untuk memberangus demokrasi, baik di zaman Orla maupun Orba.

Ada perbedaan antara teori dan praktik yang lebih aneh lagi: Komunisme yang jelas-jelas berdasar materialisme dibiarkan hidup oleh Pancasila yang berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada zaman Orba dan sekarang ini Pancasila dilupakan untuk kepentingan para konglomerat. Sudah waktunya kita melihat Pancasila sebagai ideologi yang radikal. Radikalisasi Pancasila tentu saja bukan terorisme, bukan radikalisasi massa, bukan anarkisme. Radikalisasi Pancasila harus masih dalam kerangka rule of law yang tegas, bukan rule of terror seperti Jacobinisme dalam Revolusi Prancis atau Revolusi Kebudayaan model komunisme di Cina.

Integrasi sosial

Kita juga kehilangan kesempatan untuk meratakan kesejahteraan secara horisontal pada seluruh rakyat, sebagaimana dijanjikan oleh sila ke-5 dari Pancasila. itulah sebabnya orang tega menebangi hutan, menjarah kayunya, dan menjual. Bahwa perbuatan itu akan menyebabkan banjir, tanah longsor, dan hujan yang tak teratur tidak pernah terpikir oleh mereka yang tak kebagian ''kue nasional''. Para penjarah itu akan berkilah, ''kenapa saya harus berpikir tentang nasib orang lain, padahal nasib saya tidak pernah dipikir?'' dengan kata lain, integrasi sosial kita sangat rapuh.

Disadur dari Harian Republika edisi 15 Desember 2000. Kuntowijoyo (1943-2005) adalah guru besar UGM Yogyakarta. Ia salah satu cendekiawan Muslim paling berpengaruh di Indonesia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat