Puisi Rongga Ephedra | Daan Yahya/Republika

Sastra

Tanah Hening

Puisi-puisi Rakha Swastara

Oleh RAKHA SWASTARA

Rongga Ephedra

 

Tak ada suara dari batu

hanya retak yang mengendap

di sela daging waktu

 

Saat kuusap bayang di tanah asin

rerumput tak bernama itu

menunduk,

tanpa sebab

 

Debu berbisik pada angin

dan aku tak mampu membalasnya

 

Kau ingat, cahaya bisa berlalu

bahkan sebelum kita sempat berkedip

 

Atau dingin yang tumbuh dari pergelangan

ketika tubuh diam, terlalu lama

menyimak tanah

 

Tapi kita terus di sini

membaca bentuk dari retakan

mencoba menangkap air

dalam pori yang merapat

 

Sampai sesuatu menyerupai akhir

datang

tanpa gemuruh

tanpa peluit

 

hanya sejenis sunyi

yang tidak menanyakan apa pun.

 

2025

***

 

Belantara Koya

 

Pernah ada seseorang berbicara

dari balik kabin kayu yang basah:

waktu tidak pernah mengalir — hanya berdenyut

seperti serat di dalam perut ikan,

dan kami hanyalah percikan dari denyut itu.

 

Tapi di utara,

di mana lumut tumbuh bahkan pada besi,

kami mengenali waktu sebagai barang berat:

terbuat dari suhu tubuh,

atau gesekan di antara lampu dan debu,

jadi apakah sebenarnya

kami ini, penghuni koya?

Apakah benar ada tepi di dalam udara ini?

 

Aku masih mendengar bunyi jari

menyentuh sisi cangkir,

dan bau air tanah yang belum dijelaskan.

 

Bila semuanya adalah bagian dari benda yang sama,

siapa yang pertama kali

menamai retak di dalamnya?

 

2025

***

 

Benang Mengapung di Udara

 

Mungkin pagi itu

belum sepenuhnya utuh,

ketika kain basah tergantung di ambang

dan kau menunduk

tanpa maksud apapun.

Ada benang halus

tercabut diam-diam

terbang

menyilang di antara cahaya dan nafasmu

tak ada angin.

tapi sesuatu berpindah.

perlahan

seperti waktu yang jatuh dari siku.

 

Kau sempat berpikir:

bukankah ini hanya serat,

tanpa makna,

tanpa sebab?

Tapi tanganmu—

sudah terulur,

juga tubuhmu

yang tiba-tiba menjadi lebih ringan.

Seseorang

entah siapa

mungkin pernah

menjahit bayangan itu

di balik bantal tidurmu.

 

Kini kau melihat

segumpal debu

bergerak naik

melintasi cahaya jendela,

dan kau merasa

itu cukup.

Untuk hari ini,

itu saja.

 

2025

***

 

Aeron, Menara Ingatan

 

Pada reruntuhan dok baja,

sebuah sirene berdenyut pelan;

udara mengandung bau logam,

dan seseorang menyalakan lampu

di ruang penyimpanan data.

 

Seekor burung buatan

mengibaskan sayap kaca

di atas meja hitam,

seolah ingin kembali

ke udara asal

yang tak pernah dimilikinya.

 

Ratusan tahun lalu,

seorang penjelajah orbit

menyusuri awan-awan terarsip,

membaca debu bintang

seperti membaca surat tak terkirim

dari tubuhnya sendiri.

 

Dan kini,

setiap menara ialah nadi,

setiap denyut ialah sandi,

dikirim diam-diam

dari mimpi para perakit waktu.

 

2025

***

 

Tanah Hening

 

Bayangan tak bisa

kaugantungkan

pada langit basah.

 

Ia rebah

di antara tanah retak

dan bau hujan pertama.

 

Sebelum kau menyentuh

daun dan mengira

itu tubuhmu sendiri,

 

Kau telah menjadi

sehelai suara,

atau batu yang ingat.

 

2025

Rakha Swastara, lahir 16 Agustus, tinggal di Jakarta Selatan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat