Cerpen Siung Buaya | Daan Yahya/Republika

Sastra

Siung Buaya

Cerpen Syabaharza

Oleh SYABAHARZA

Suasana sore itu di desa Pulut mendadak ramai. Puluhan orang, dari yang kecil sampai yang lanjut usia berlarian ke arah sungai desa itu. Sungai kecil yang mengarah ke sungai besar di pusat kota. Sungai itu menjadi sumber kehidupan warga desa Pulut saat itu. Di sungai itulah warga desa melakukan aktivitas MCK nya. Sehingga ketika warganya mempunyai hajat setelah terlalu banyak makan sambal, maka sungai itu akan menjadi sasaran.

“Ada anak yang hilang di sungai” teriak salah seorang warga sambil berlari ke arah sungai.

Dalam sekejap saja lokasi tempat anak yang hilang tadi sudah dikerumuni warga. Di sana hanya tertinggal handuk dan tempat sabun dari plastik kepunyaan si anak. Keadaan air sungai yang keruh tampak tenang, tidak ada tanda-tanda keanehan. 

“Tadi anak itu mandi sendirian di sini” celetuk salah seorang warga yang mengenakan celana pendek bertelanjang dada.

“Coba cari di bawah jembatan ini” salah seorang lagi menyambung sambil menunjuk jembatan yang terbuat dari kayu tempat mandi si anak.

“Iya, siapa tahu masih berada di sekitar sini” sahut seluruh warga yang hadir dengan kompak.

Optimisme warga yang hadir saat itu masih ada. Setidaknya karena kejadian baru beberapa menit jadi masih ada harapan si anak bisa ditemukan.

Tanpa basa basi dua orang langsung terjun ke sungai dan menyelam. Setelah beberapa lama menyelam keduanya kembali menyembulkan kepala ke permukaan sungai. Dengan gestur menggelengkan kepala mereka memberi isyarat kepada warga yang hadir di sana. 

Gelengan kepala dari penyelam itu membuat rasa optimis warga yang hadir menjadi berkurang bahkan mungkin hilang. Harapan mereka untuk bisa menyelamatkan atau setidaknya menemukan si anak dalam keadaan apapun seakan sirna. 

“Anakku….mana anakku?” tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita dari arah belakang kerumunan.

Ternyata Wanita itu adalah ibu dari anak yang hilang tadi. Wanita itu meraung-raung mengeluarkan seluruh suaranya. Sambil ia melihat ke arah warga yang ada di situ. Tatapannya penuh harap kepada warga yang hadir. Seolah ia memohon kepada warga agar tidak mengibarkan bendera putih dalam ikhtiar mencari anaknya.

Namun harapan wanita itu hanya menghasilkan kekecewaan, karena warga tidak mau lagi melanjutkan pencarian. Di samping karena tadi sudah dicari dengan menyelami lokasi sekitar hilangnya si anak, juga karena hari sudah menjelang magrib, sehingga jika dilakukan pencarian pun hasilnya akan nihil.

Warga pun kembali ke rumah masing-masing meninggalkan sang ibu yang masih sesenggukan menatap ke arah sungai yang mulai pasang. Tatapannya tajam penuh dendam dan kebencian. Ia dendam dan benci dengan dirinya sendiri, kenapa tadi tidak mengawasi anaknya mandi.

Cerita tentang hilangnya anak saat sedang mandi sebenarnya sudah sering terjadi di desa Pulut. Penyebab hilangnya terkadang dihubungkan dengan peristiwa mistis. Jika ada anak yang hilang ketika mandi, maka warga desa menganggap itu diambil oleh penunggu sungai.

 

***

 

“Kita harus menyiapkan kembali ayam jago hitam, bambu temu ruas, dan tiga sisir pisang mas” ujar salah seorang yang sudah cukup tua berjanggut putih kepada kepala desa dan jajarannya, ketika musyawarah di balai desa.

Orang yang berjanggut itu sering dipanggil tetua desa. Selain memang usianya yang sudah lanjut, lelaki itu juga sering membantu warga yang kesulitan, terutama dalam hal mistis, sehingga ia salah satu orang yang dihormati selain kepala desa di desa itu. Musyawarah sambil lesehan itu selalu dilaksanakan jika ada musibah menimpah desa, termasuk musibah anak hilang kemarin.

“Untuk kali ini ayamnya kita potong di pinggir sungai, setelah itu bambu temu ruas dan pisang masnya kita lemparkan ke sungai setelah dicampur dengan darah ayam” tetuah desa terus memberikan arahan sambil merubah posisi duduknya.

Jajaran kepala desa manggut-manggut tanpa berani untuk bertanya apalagi membantah. Mereka percaya dengan tetua desa itu, karena memang sudah terbukti selama ini tetuah desa itu selalu berhasil melaksanakan misinya. Walaupun untuk kali ini syarat yang diminta sedikit berbeda dengan sebelumnya. Sementara sang kepala desa menampakkan ekspresi datar.

“Untuk kasus yang satu ini, lebih berat dengan sebelumnya” ujar tetua desa, seakan mengetahui isi hati jajaran kepala desa.

Jajaran kepala desa saling berpandangan, walaupun mereka tidak mengucapkan sepatah kata, namun raut muka mereka sudah mewakili kekaguman mereka terhadap tetua desa yang bisa membaca pikiran mereka.

Tetua desa memutarkan badannya menghadap ke arah Barat, kemudian menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada, lalu mulutnya komat-kamit seperti sedang berdiskusi. Setelah sekitar satu menit, sang tetua desa selesai dengan urusannya.

“Hari Jumat besok kita lakukan ritualnya” tetua desa kembali berbicara kepada kepala desa dan jajarannya.

“Untuk hari ini kita bubar” tetua desa mengajak kepala desa dan jajarannya.

Setelah musyawarah selesai dan tetua desa sudah pergi. Sang kepala desa membagi tugas kepada jajarannya untuk menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan pada upacara pencarian anak yang hilang.

“Apakah anak itu juga kena siung buaya ya pak?” tanya salah seorang jajaran desa kepada kepala desa.

“Mungkin juga” dengan mimik muka kurang yakin, kepala desa menjawab sekenanya.

 

***

 

Siung buaya adalah suatu peristiwa yang sering terjadi di desa Pulut. Dimana jika seseorang diminati oleh binatang buaya maka dia akan ditandai oleh buaya tersebut. Yang ditandai kebanyakan anak-anak, walaupun sebenarnya ada juga orang dewasa, namun persentasenya lebih banyak anak-anak. Warga desa Pulut percaya buaya yang menandai itu adalah buaya jadi-jadian. Makanya warga percaya bahwa jika ada yang hilang di sungai pasti diambil oleh buaya jadi-jadian itu. 

Namun, keanehannya adalah orang yang diambil itu tubuhnya tetap utuh dan biasanya hanya bisa ditemukan dengan adanya ritual yang dilaksanakan oleh tetua desa. Warga juga percaya metode menandai sang buaya jadi-jadian dilakukan ketika seseorang mandi di sungai, makanya bagi warga desa Pulut bagai buah simalakama, tidak mandi takut terkena penyakit kulit, namun jika mandi pasti harus ke sungai, karena itu adalah tempat satu-satunya untuk mandi. 

Konon jika seseorang sudah ditandai maka akan ada perbedaan pada tubuhnya, namun perubahan itu hanya bisa dilihat oleh sang tetua desa. Tetua desa akan melihat perubahan pada diri orang yang ditandai sesuai dengan keparahannya. Misal orang yang baru ditandai akan dilihat perubahan hanya pada kaki sampai lehernya, seperti monyet. Jika masih seperti itu maka orang itu masih bisa diselamatkan, Namun jika sudah berubah seluruh tubuhnya, maka tinggal menunggu waktu saja untuk diambil sang buaya.

 

***

 

Sore itu, seluruh warga desa Pulut sudah berkumpul di sebuah jembatan pinggir sungai. Semua ingin menyaksikan ritual pencarian anak yang hilang tempo hari. Semua perlengkapan yang diminta pun sudah disiapkan pihak desa. 

Kepala desa dan jajarannya sudah standby semenjak pukul tiga sore tadi. Sementara tetua desa belum tampak batang hidungnya. 

Semua warga sudah gelisah menunggu ritual yang dianggap suci itu. Mereka ingin menjadi saksi sejarah tentang kesaktian sang tetua desa. Mereka ingin membuktikan kembali bahwa untuk kesekian kalinya sang tetua desa berhasil menuntaskan tugasnya. 

Hari sudah menunjukkan pukul 17.00, tetapi sang tetua desa belum juga muncul. Warga yang sedari tadi menunggu tampak sudah tidak sabar. Bahkan ada sebagian yang memutuskan untuk pulang karena ada keperluan. Tidak seperti biasanya tetua desa terlambat seperti itu. Biasanya beliau selalu datang tepat waktu. 

“Sepertinya tetua desa mengalami kesulitan untuk kasus yang satu ini” bisik kepala desa kepada jajarannya.

Namun, belum sempat jajarannya merespon pernyataan sang kepala desa. Tiba-tiba dari kejauhan tampak sang tetua desa berjalan menuju lokasi ritual. Dengan pakaian seluruhnya berwarna hitam dan ikat kepala juga berwarna hitam, petuah desa memasuki kerumunan warga. Sambil mengusap janggutnya yang sudah memutih, ia memperhatikan satu persatu warga yang hadir termasuk juga kepala desa dan jajarannya.

“bawa kesini ayamnya” perintah tetua desa kepada kepala desa dan jajarannya.

Kepala desa memerintahkan jajarannya untuk membawa ayam jago hitam dan perlengkapan lainnya ke depan tetua desa. 

Sang tetua desa kemudian mengeluarkan sebilah pisau kecil dari pinggangnya, kemudian menghunusnya dan memutar-mutarnya sebentar, seolah ingin memperlihatkan kepada warga bahwa pisau yang dipegangnya mempunyai kesaktian. Dan dalam hitungan detik ayam jago hitam itu dipenggal lehernya oleh sang tetua desa. 

Darah segar mengalir dari leher ayam jago hitam itu. Dengan gerakan cepat tetuah desa mengambil pisang mas dan bambu temu ruas, kemudian dibalurkan dengan darah ayam jago hitam tadi. Setelah dirasa cukup, lalu ayam jago yang masih menggelepar menjemput sakaratul maut dilemparkan bersama pisang mas dan bambu ke sungai.

“kita tunggu satu jam lagi, pasti anak itu akan dikembalikan” ujar tetua desa dengan sangat optimis.

Semua warga manut saja apa yang diperintahkan sang tetua desa, karena memang selama ini seperti itulah prosesnya. Dan selama ini ucapan tetua desa selalu terbukti. 

Waktu sore itu begitu cepat berlalu. Tidak terasa sudah satu jam berlalu. Azan magrib sudah bergema dari masjid. Namun belum juga ada tanda-tanda anak yang hilang itu dikembalikan. Warga yang hadir mulai gelisah. Sang tetua desa tampak panik. Tidak biasanya kejadian seperti itu. Biasanya jika ritual sudah dilaksanakan, maka korban akan dikembalikan di sekitar lokasi dengan cara ditimbulkan kembali. Sang tetua desa berpikir kemungkinan ada yang sabotase ritualnya.

 

***

 

“apa yang saya pikirkan selama ini ternyata benar” kata kepala desa kepada jajarannya.

“tentang apa pak?” salah seorang jajarannya bertanya.

“dari dulu saya tidak percaya kalau tetuah desa itu mempunyai keahlian” jawab sang kepala desa.

“selama ini keberhasilannya itu hanya kebetulan saja” sang kepala desa melanjutkan, kali ini diiringi senyum penuh kemenangan dari bibirnya.

Jajarannya masih belum memberikan statemen apapun. Hanya menganggukkan kepala berusaha untuk mencerna maksud dari sang kepala desa.

“Selama ini, saya yakin semua yang terjadi di desa kita ini memang takdir dari Tuhan, tidak ada hubungannya dengan buaya jadi-jadian itu” sang kepala desa terus meracau.

“Jadi, selama ini saya hanya tidak enak saja dengan tetua desa itu, sehingga saya menurut saja ketika ia akan mengadakan ritual gila itu” sang kepala desa belum mau berhenti berbicara.

“Buktinya kemarin, dia tidak berhasil kan?” kepala desa itu melanjutkan dengan nada bertanya.

Jajarannya yang hadir hanya bisa diam. Jajarannya tampaknya mulai terpengaruh dengan analisa sang kepala desa. Mereka kini mulai berpihak kepada sang kepala desa. Ditambah mereka juga takut jika membantah akan dipecat oleh sang kepala desa.

Beberapa saat kemudian, percakapan kepala desa dan jajarannya terhenti oleh teriakan seseorang dari arah sungai.

“Ada mayat….ada mayat…ada mayat anak di sungai”

Demi mendengar teriakan itu, raut muka kepala desa dan jajaranya berubah. Sang kepala desa yang tadinya tersenyum lebar kini menjadi masam. Sementara jajarannya hanya bisa saling menoleh. Teriakan itu bagaikan sebuah bom yang meledakkan dan menghancurkan keyakinan sang kepala desa. Keyakinan yang baru saja diumbarnya kepada jajarannya seakan hancur berkeping-keping.

 

Syabaharza adalah nama pena dari Syamsul Bahri Arza. Ia adalah seorang guru di MTs Al-Hidayah. Putra asli Pelabuhan Dalam Pemulutan ini sekarang berdiam di Desa Keposang Kecamatan Toboali Bangka Selatan, Kepulauan Bangka Belitung. Ia bisa dihubungi di syamsulpemulutan81@gmail.com

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat