
Ekonomi
Dunia Sulit Tinggalkan Bahan Bakar Fosil
Bahan bakar fosil akan masih mendominasi hingga 2050.
LONDON — Laporan terbaru McKinsey & Company memprediksi bahan bakar fosil masih akan mendominasi pasokan energi global bahkan setelah tahun 2050. Lambatnya transisi energi dinilai tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaan listrik dunia yang melonjak tajam.
“Ini mungkin perubahan pola pikir terbesar kami mengenai evolusi sistem energi,” ujar Partner McKinsey, Diego Hernandez Diaz, Jumat (17/10/2025).
Menurut McKinsey, permintaan minyak global baru akan mencapai puncaknya sekitar 2030. Setelah itu, meski energi terbarukan terus berkembang, bahan bakar fosil seperti minyak, gas, dan batu bara, diperkirakan tetap menyumbang 41 hingga 55 persen konsumsi energi dunia pada 2050. Angka ini memang turun dari 64 persen saat ini, tetapi masih lebih tinggi dibandingkan perkiraan sebelumnya.
Kenaikan permintaan listrik sebagian besar dipicu sektor industri dan bangunan yang diperkirakan tumbuh antara 20 hingga 40 persen. McKinsey menyoroti pusat-pusat data di Amerika Utara sebagai penyumbang terbesar lonjakan kebutuhan energi.
Di Amerika Serikat, konsumsi listrik dari pusat data diprediksi melonjak hampir 25 persen per tahun hingga 2030, sedangkan rata-rata global mencapai 17 persen per tahun.
Laporan itu juga menyebutkan, meski kapasitas energi terbarukan seperti surya dan angin akan meningkat signifikan, penggunaan batu bara dan gas alam masih akan bertahan karena kebutuhan pasokan listrik yang stabil. McKinsey menilai bahan bakar alternatif seperti hidrogen hijau dan biofuel belum akan diadopsi luas sebelum 2040, kecuali ada dorongan kuat dari regulasi pemerintah.
“Permintaan energi yang tumbuh lebih cepat dari kapasitas transisi menjadi tantangan besar bagi dekarbonisasi global,” tulis McKinsey dalam laporannya.
Perusahaan itu juga menyoroti risiko geopolitik, potensi resesi energi, tarif, dan lambatnya inovasi teknologi sebagai faktor yang memperlambat pergeseran dari bahan bakar fosil.
Meski demikian, McKinsey memperkirakan energi terbarukan akan menyumbang 61 hingga 67 persen dari bauran listrik global pada 2050. Namun, banyak negara dinilai masih menempatkan ketahanan dan keterjangkauan energi di atas ambisi emisi nol bersih yang tertuang dalam Perjanjian Paris.
Industri pelayaran
Sementara itu, upaya menekan emisi dari industri pelayaran kembali tersendat. Organisasi Maritim Internasional (IMO) memutuskan menunda pembahasan tarif karbon bagi sektor perkapalan setelah gagal mencapai konsensus dalam sidang di London pekan ini.
Penundaan ini menjadi kemunduran besar bagi Uni Eropa dan sejumlah negara seperti Brasil yang mendorong penerapan mekanisme dekarbonisasi di sektor maritim. Dua produsen minyak terbesar dunia, Amerika Serikat dan Arab Saudi, menolak keras kebijakan tarif karbon tersebut.
Setelah negosiasi berlarut-larut tanpa hasil, Arab Saudi akhirnya mengajukan mosi untuk menunda pembahasan selama satu tahun, yang kemudian disetujui oleh 57 negara, sementara 49 negara menolak dan mendorong agar perundingan dilanjutkan.
Cina, Yunani, Siprus, Jepang, dan Korea Selatan yang sebelumnya mendukung penerapan tarif karbon pada April tahun depan, kini tampak lebih berhati-hati. Dalam pemungutan suara Jumat (18/10/2025), Cina mendukung penundaan, sementara beberapa negara lain memilih abstain. Belum jelas apakah skema tarif karbon bisa diterapkan tepat waktu bahkan jika pembahasan kembali dimulai tahun depan.
IMO sebelumnya menargetkan industri pelayaran mulai membayar emisi mereka pada 2028. Namun, arah kebijakan menjadi kabur setelah Presiden AS Donald Trump menegaskan penolakannya terhadap pajak karbon global.
“(Washington) tidak akan menerima pajak penipuan hijau global terhadap pelayaran ini dan tidak akan mematuhinya dalam bentuk apa pun,” tulis Trump di Truth Social.
Sikap ini memperlihatkan langkah agresif pemerintahan Trump untuk memperluas pengaruh di sektor pelayaran internasional, setelah sebelumnya menggunakan tarif sebagai alat tawar dalam kesepakatan dagang. Padahal, banyak pihak di industri berharap adanya kejelasan regulasi agar investasi pada kapal rendah emisi dan bahan bakar alternatif bisa berkembang.
Perusahaan pelayaran Denmark, Maersk, menyebut keputusan IMO sebagai kemunduran dalam upaya dekarbonisasi industri. “Penundaan ini membuat sektor pelayaran terombang-ambing dalam ketidakpastian,” kata Direktur Divisi Pelayaran Transport & Environment, Faig Abbasov.
IMO, yang beranggotakan 176 negara, bertanggung jawab mengatur keselamatan dan pencegahan pencemaran laut. Sektor pelayaran global menyumbang hampir 3 persen emisi karbon dioksida dunia, sementara 90 persen perdagangan global bergantung pada transportasi laut. Tanpa kebijakan tegas, emisi sektor ini diperkirakan akan terus meningkat.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.