KH Hasyim Muzadi | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Ladang Kesedihan

Penting bagi kita untuk selalu menaruh penyedih di dalam hati.

Oleh KH HASYIM MUZADI

Bahwa dunia adalah ladang untuk beramal, kita sudah mafhum. Bahwa setelah kehidupan dunia akan segera disusul dengan kehidupan akhirat, kita juga meyakininya. Begitu panjangnya masa penantian menuju kehidupan akhirat, Allah telah menyiapkan proses. Proses-proses ini, dapat kita temukan dalam firman-firman-Nya atau melalui Sunnah Nabi-Nya, Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW. Kehidupan dunia melesat seperti kilat. Tak lama setelah kelahiran, kita sudah berada di ujung maut.

Setiap saat maut mengepakkan sayapnya di atas kepala kita. Begitu sampai waktunya, benteng sekokoh apa pun tak akan mampu menolak datangnya maut. Setinggi apa pun jabatan seseorang, tak akan berdaya untuk membelokkan saat tibanya kematian. Semulia apa pun derajat seseorang, hanya akan bisa bertekuk lutut di bawah pedang kematian.

Bahkan nabi dan rasul, pun malaikat pencabut nyawa, bila waktunya telah tiba, tak akan mampu mengelak dari takdir kematian. Kematian adalah sebuah halte. Dari halte inilah kita akan menuju “pul” akhir kehidupan. Untuk itulah, kehidupan dunia sejatinya hanyalah ladang kesedihan. Kehidupan yang demikian singkat, harus disikapi secara proporsional. Proporsionalitas kehidupan dunia semata berada pada ranah “la tansa” (jangan lupakan).

Dengan logika sederhana karena berbagai keterbatasannya, manusia tanpa kecuali pada saat tertentu akan terjebak oleh “lupa”. Dalam dunia “lupa”, hukum tidak berjalan efektif. Orang lupa tidak bisa dihukumi. Dan karenanya, siapa pun boleh “lupa” karena lupa adalah karunia.

 

 
Bahkan nabi dan rasul, pun malaikat pencabut nyawa, bila waktunya telah tiba, tak akan mampu mengelak dari takdir kematian.
   

 

Nah, kehidupan dunia hanya berada dalam ranah ini. Sebatas kalau Anda dan kita ingat saja. Kalau lupa terhadap nikmat sesaat kehidupan dunia, ya tidak apa-apa. Namun, terhadap kehidupan akhirat, maka hukumnya adalah “wabtaghi-dan ikhtiarkanlah” harus selalu berada di puncak maksimalitas kita dalam beribadah kepada Allah dan dalam beramal untuk alam semesta.

Tentu akan begitu banyak tafsir yang bisa kita sodorkan untuk memahami ayat 77 surah al-Qashash ini. Akan tetapi, untuk menjaga tingkat kehati-hatian kita agar tetap tekun beramal, penting bagi kita menimbang segi proporsionalitas tadi.

Lihatlah, bagaimana mereka yang telah berada di maqam tertentu dalam dunia eskatologis. Mereka sudah terbiasa melupakan nikmatnya kehidupan dunia yang menipu dan memanfaatkannya secara maksimal untuk menyambut kehidupan akhirat.

Karena gandrungnya akan janji pertemuan dengan Allah, kerap kita temukan kisah-kisah para sufi yang rela mengabaikan kehidupan dunia dan menukarkannya dengan kehidupan yang lebih kekal. Menangis adalah kebiasaan mereka, sedangkan tertawa hal yang amat jarang mereka lakukan. Inilah ladang kesedihan. Inilah dunia kesedihan.

Untuk itu, terkait dengan persiapan menuju gerbang Kerajaan Allah, para hamba sudah seharusnya datang dengan hati yang salim. Situasi ini akan terasa berat bagi mereka yang datang dengan keadaan hatinya mati.

 
Menangis adalah kebiasaan mereka, sedangkan tertawa hal yang amat jarang mereka lakukan. Inilah ladang kesedihan.
   

Hati mati diakibatkan oleh telah terabaikannya kesempatkan untuk melakukan amal kebajikan. Hati akan terus menyala-nyala jika seseorang tidak melewatkan waktu-waktunya untuk selalu berbuat amal kebajikan. Terlebih manusia diciptakan memang untuk saling menanam kebajikan.

Kebajikan, hanya mungkin ditananam jika ada pihak yang bersedia menerima kebaikan. Demikian sebaliknya, kejahatan hanya mungkin muncul jika ada interaksi kita dengan sekitar.

Untuk memastikan kita berada di jalan yang tepat, penting kita simak nasihat allamah Ibnu 'Athaillah. Min 'alamati mautil qalbi 'adamul huzni 'ala ma fataka minal muwafiqat wa tarkun nadami 'ala ma fa'altahu Min wujudiz zallat (Di antara tanda matinya hati adalah tidak adanya perasaan sedih atas kesempatan beramal yang engkau lewatkan dan tidak adanya penyesalan atas pelanggaran yang engkau lakukan).

Syekh Fadhlallah Haeri menyebut ada beberapa penyebab utama matinya hati, di antaranya cinta kepada dunia, kurang dalam hal kehati-hatian, serta memperturutkan hawa nafsu. Cinta kepada dunia adalah pangkal utama yang menyebabkan seseorang mengabaikan kehidupan akhirat.

Kegemaran yang begitu dalam akan dunia, menyebabkan seseorang menaruh hati kepadanya sehingga ia akan menjadi tawanannya. Bersikap sederhana adalah langkah penting yang harus dilakukan agar kita bisa melepaskan diri jerat kehidupan dunia. Berlebih-lebihan adalah kebalikan bersikap sederhana.

 
Kegemaran yang begitu dalam akan dunia, menyebabkan seseorang menaruh hati kepadanya sehingga ia akan menjadi tawanannya.
   

Demikian pula, hilangnya sikap hati-hati dan terperangkapnya kita oleh hawa nafsu, akan semakin mempercepat proses kematian hati kita. Hati yang mati akan sulit tersentuh oleh situasi yang menyakitkan sekalipun. Karena sulit tertentuh, akan sulit pula seseorang memiliki empati terhadap manusia di sekitarnya.

Kalau tidak memiliki empati, akan terasa sulit pula bagi seseorang untuk bergiat dalam amal saleh. Hanya dengan amal saleh, hati seseorang bisa terus dihidup-hidupkan sebelum tiba waktu “atallaha biqalbin salim” (datang menemuni Allah dengan hati yang salim).

Penting bagi kita untuk selalu menaruh penyedih di dalam hati. Penyedih akan berfungsi sebagai timbangan dan alat ukur. Dalam Taurat, Allah berfirman, “Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan menempatkan penyedih dalam hatinya. Jika Dia membenci seorang hamba, Allah akan menempatkan seruling alias pembuai di dalam hatinya.”

Setiap ditimpa kesedihan, sufi besar Daud At-Tho'y akan berdoa pada malam hari. “Kerinduanku kepada-Mu membuat diriku gelisah dan sedih.” Allah menjawab, “Bagaimana mungkin bagi seseorang yang penderitaannya diperbarui setiap saat, akan mencari penghiburan dari kesedihan.” Wallahu a'lam bish-shawab.

Disadur dari Harian Republika edisi 11 November 2012. KH Hasyim Muzadi (1943-2017) adalah ketua umum PBNU periode 2000-2010.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Sosok Teladan dari Nurul Jadid

Putra pendiri Ponpes Nurul Jadid Probolinggo, KH Hasyim Zaini mengikuti jejak ayahanda dalam membimbing umat.

SELENGKAPNYA

Raih Hidayah Usai Berdebat

Sejak menjadi Muslim, Michael Barnes alias Khallid Shabazz berkomitmen dalam dunia dakwah.

SELENGKAPNYA

Mengikis Kesombongan

Setiap kita sangat dianjurkan untuk membersihkan diri dari sifat sombong.

SELENGKAPNYA