Oni Sahroni | Daan Yahya | Republika

Konsultasi Syariah

Fikih Mahram dalam Safar Wanita

Bagaimana ketentuan fikih wanita yang melakukan perjalanan tanpa mahram?

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb.

Apakah benar bahwa seorang wanita dilarang melakukan perjalanan tanpa mahram? Bagaimana ketentuan fikihnya? Mohon penjelasan Ustaz. -- Yanti, Depok

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Pertama-tama, perlu dijelaskan bahwa safar yang dimaksud adalah perjalanan yang menurut tradisi itu harus didampingi oleh mahram atau sejenisnya.

Jika merujuk kepada perjalanan panjang dan pendek diukur dengan qashar dan jamak, maka perjalanan yang diharuskan ada pendampingan itu perjalanan yang dibolehkan shalat qashar, yang menurut mazhab Syafi’i minimal perjalanan 85 kilometer.

Sesungguhnya ada perbedaan pendapat di antara ahli fikih terkait saat wanita ingin melakukan perjalanan tetapi tanpa mahram yang menyertai, dan kondisi perjalanan aman.

Pertama, harus ada mahram yang menyertainya. Jadi tidak boleh melakukan perjalanan tanpa disertai mahram. Ketentuan ini berlaku untuk seluruh perjalanan, baik wajib ataupun lainnya.

Hal ini didasarkan pada teks (zahir) hadis-hadis berikut. Dari Ibnu ‘Abbas RA berkata, Nabi SAW bersabda, "Janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya dan janganlah seorang laki-laki menemui seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya." (HR Bukhari).

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan sehari semalam kecuali bersama dengan mahramnya.” (HR Malik, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Dari Abu Said RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Seorang perempuan tidak bepergian dalam perjalanan dua hari tanpa disertai suami atau mahramnya." (HR Bukhari Muslim).

Dari Ibnu Umar, Nabi SAW bersabda, "Seorang wanita tidak bepergian tiga malam kecuali disertai oleh mahramnya." (Muttafaq ‘alaih).

Hadis-hadis tersebut menegaskan bahwa pada saat wanita melakukan perjalanan harus disertai oleh mahram.

Al-Qardhawi menjelaskan bahwa safar yang dimaksud dalam hadis itu bersifat umum, baik perjalanan yang dikategorikan wajib menurut syariah atau sunnah ataupun mubah.

Pemberlakuan mahram bukan su’udzan kepada wanita, tetapi sebagai bentuk perlindungan terhadap wanita dari setiap bahaya fisik atau marwahnya.

Kedua, harus ada mahram yang menyertainya kecuali wanita lanjut usia boleh tanpa mahram. Sebagaimana yang dinukil dari al-Qadhi Abi al-Walid al-Baji (ulama Malikiyah).

Ketiga, tidak wajib ada mahram, tetapi cukup disertai beberapa wanita yang dipercaya. Bahkan tidak harus beberapa wanita, tetapi cukup seorang wanita yang dipercaya.

Sebagaimana diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab telah mengizinkan para istri Rasulullah SAW untuk menunaikan ibadah haji dengan disertai oleh ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf.

Keempat, Syekh ‘Athiyah Saqr memilah kondisi wajib atau tidaknya seorang wanita saat ingin melakukan perjalanan atau safar apakah harus disertai mahram atau tidak.

(1) Jika perjalanan yang dilakukannya itu bersifat wajib seperti menunaikan ibadah haji atau berobat dan aktivitas sejenis yang sifatnya mandatori dan harus dilakukan, maka kehadiran mahram seperti suami itu tidak harus. Bisa dengan teman yang bisa mengayomi atau pengawasan dari otoritas ataupun lainnya sejenis.

(2) Tetapi jika perjalanannya untuk tujuan aktivitas atau kebutuhan yang tidak wajib, maka kehadiran mahram seperti suami atau teman-teman yang bisa memitigasi risiko fitnah itu harus dilakukan.

Menurutnya, saat seorang wanita ke luar negeri untuk tujuan pendidikan, maka aktivitas pendidikan itu bukan kewajiban fardhu 'ain tetapi fardhu kifayah. Saat ada wanita lain yang menunaikannya, maka kewajibannya menjadi gugur.

Saat bukan kewajiban, maka kembali kepada hukum di atas, ia harus disertai dengan mahram. (Syekh ‘Athiyah Saqr, Fatawa li asy-Syabab, 159-160).

Kelima, tidak wajib ada mahram, tetapi cukup dengan memastikan perjalanannya aman itu terpenuhi.

Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah sebagaimana disebutkan Ibnu Muflih dalam kitab Al-Furu’. Ia mengatakan, "Setiap wanita itu boleh melakukan perjalanan haji dalam kondisi perjalanan yang aman." (Lihat kitab Al-Furu’, 3/236).

Pendapat kelima ini juga yang dipilih Al-Qardhawi yang menjelaskan bahwa wanita boleh melakukan perjalanan sendiri tanpa disertai mahram selama perjalanan yang dilakukan itu aman dari risiko. (Lihat; Fatawa Mu’ashirah, al-Qardhawi).

Wallahu a’lam.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Mari Bicara Kakus

Satu dari 10 orang di dunia tak ada pilihan untuk membuang hajat di alam terbuka.

SELENGKAPNYA

Menggali Inspirasi dari Gerakan Islah

Imam al-Ghazali memotori reformasi besar untuk kebangkitan umat Islam dari keterpurukan.

SELENGKAPNYA

Pahlawan tak Dikenal

Mengembalikan ingatan kita pada sosok pahlawan yang terlupakan.

SELENGKAPNYA

MUI: Haram Beli Produk yang Mendukung Agresi Israel

Unilever masuk dalam daftar boikot yang tersebar di berbagai platform media sosial, termasuk di Indonesia.

SELENGKAPNYA