
Refleksi
Agenda Umat Islam (Bagian 2/Habis)
Seni yang kaffah. Kita bergembira karena umat sudah berubah.
Oleh KUNTOWIJOYO
Mobilitas sosial di masa lalu berjalan begitu saja tanpa rekayasa. Tetapi, kiranya sekarang perlu ada rekayasa. Sebagai wujud dari kesadaran sejarah umat Islam kita ingin merencanakan masa depan kita. Mobilitas Sosial Jadi, mobilitas sosial itu mempunyai dua sub-agenda, yaitu (1) evolusi sejarah yang terarah, dan (2) perbaikan citra umat Islam sebagai khaira ummah. Evolusi terarah. Pada Gelombang ke-1 perubahan sosial di Indonesia dengan industrialisasi awal dan komersialisasi umat survive dengan adanya kelas menengah komersial kota. Merekalah yang mendirikan Sarekat Islam (SI) pada 1911 (atau 1909 dan 1905) dan Muhammadiyah pada 1912.
Merekalah yang berhasil mengalami mobilitas sosial sesudah kemerdekaan 1945. Mereka juga yang pada 1950-an -- menurut penelitian Clifford Geertz -- mengubah bazaar economy menjadi ekonomi firma. Umat bukan saja menyintas, tapi malah berada di garis depan, meskipun berjalan tanpa rencana. Pada gelombang ke-2 dari perubahan sosial ada sedikit rencana, meskipun tidak disadari. Sekolah-sekolah Islam dan universitas-universitas didirikan. Gelombang ke-2 ini ditandai dengan industrialisasi. Umat pun mampu menghasilkan kelas menengah industrial kota, yaitu profesional, eksekutif, dan akademisi. Merekalah yang mendirikan ICMI pada 1990. Dalam gelombang ini umat mulai keteteran, banyak golongan lain yang juga berevolusi, misalnya eks-abangan, 'non-pri', dan agama-agama lain.
Seperti diketahui, bukan saja kaum Orientalis, bahkan Max Weber menyebut Islam sebagai warrior religion (agama serdadu). Selain itu Presiden mau-tidak-mau, suka-tidak-suka sebenarnya mewakili umat Islam. Bagaimanapun, ia akan dianggap oleh non-Muslim sebagai contoh kinerja umat. Maka kalau ada KKN baru, otoritarianisme berkedok demokrasi, ketiadaan etika politik, semuanya akan dianggap orang berasal dari latar belakang sosial santrinya. Siapa lagi santri sejati kalau bukan Presiden?
Umat bukan saja menyintas, tapi malah berada di garis depan, meskipun berjalan tanpa rencana.
Kita takut, kalau-kalau di depannya nampak Presiden disanjung-sanjung oleh non-Muslim sebagai jagoan pluralisme, tetapi di belakangnya mereka menertawakan, karena mereka pun tidak akan sampai hati menjelek- jelekkan umat sendiri. Maka apapun keberhasilan umat, salah-salah bisa disapu habis oleh ulah Presiden, inner circle-nya, dan semua orang dekatnya yang dianggap mewakili umat. Kalau itu terjadi, maka citra baik Islam yang dibangun dengan susah-payah dari generasi ke generasi bisa-bisa hilang begitu saja.
Mobilitas budaya
Sekarang ini tidak seorang pun sangsi akan keberadaan simbol-simbol seni umat Islam. Musik pop, musik keagamaan, kaligrafi, MTQ, seni lukis, teater, sinetron, sastra, dan sebagainya, semuanya sudah berbau Islam. Tetapi, semua itu timbul begitu saja, tanpa arah yang jelas. Selain itu, dalam budaya ada keperluan untuk mengangkat ke atas permukaan ilmu-ilmu Islam, terutama ilmu sosial. Karenanya, ada dua hal yang diperlukan dalam mobilitas budaya, yaitu (1) seni yang kaffah dan (2) kebangkitan kembali ilmu-ilmu sosial Islam.
Seni yang kaffah. Kita bergembira karena umat sudah berubah. Semula umat hanyalah konsumen kesenian, sekarang ini umat menjadi produsen. Dulu gambaran tentang seni Islam adalah pesantren, kasidah, barzanji, dan ormas-ormas Islam. Sekarang umat mulai lebih kreatif, simbol-simbol kesenian Islam ada di mana-mana: mal, TV, radio, galeri, sanggar, rumah-pribadi, dan sekolah. Akan tetapi, sama seperti pergerakan Islam umumnya tekanan dari kesenian Islam hanyalah moral dan ibadah -- dengan satu-dua pengecualian. Itu transendensi, dan bukan Islam yang kaffah.
'Amar ma'ruf, nahi munkar, yu'minuuna billaah' diredusir jadi hanya moral-ibadah. Kita inginkan seni Islam yang dilengkapi dengan tema-tema yang konkret dari advokasi dan liberasi. Dengan kata lain, seni Islam dengan etika profetik. Ilmu-ilmu Islam. Di atas sudah kita sebutkan bahwa dalam Gelombang ke-3, masyarakat pasca-industri, umat harus kembali jadi pelopor. Dengan apa kepeloporan itu dimungkinkan? Dengan membangkitkan kembali ilmu-ilmu sosial Islam. Dalam ilmu-ilmu alam (teknologi, kedokteran, angkasa luar) jelas umat akan hanya jadi konsumen.
Rasanya terlalu ngayawara untuk melampaui dunia Barat dalam ilmu-ilmu alam. Karenanya, lupakan saja 'impian' itu. Memang masih ada kemungkinannya meskipun bagian kita akan kecil saja, seperti kedokteran alternatif, kosmetika, dan herbal medicine. Selebihnya, terima saja kedudukan sebagai konsumen. Orang Barat sudah mengenal lebih dulu the idea of progress, yaitu sejak abad ke-18, sedangkan kita baru mengenalnya pada awal abad ke-20.
Selama ini perkembangan ilmu-ilmu Islam hanyalah berupa dekodifikasi (penjabaran, penafsiran, sistematisasi) dari teks-teks Alquran dan Hadits, seperti tafsir, fikih, dan tasawuf. Teks-teks di-dekodifikasi menjadi teks baru, yaitu ilmu-ilmu Islam. Dengan kata lain, dekodifikasi berangkat dari teks menuju ke teks yang baru. Gampangnya, dekodifikasi adalah gerak dari teks ke teks. Sementara itu ada perkembangan baru yang populer mulai 1980-an, yaitu gagasan islamisasi ilmu. Ilmu-ilmu yang sudah ada (ilmu-ilmu alam, sosial, humaniora) 'diislamkan' dengan mengembalikannya pada teks-teks Islam. Dengan kata lain, sudah ada konteksnya berupa macam-macam ilmu, dan dirujukkan dengan teks ke-Islaman. Islamisasi ilmu adalah gerak dari konteks ke teks.
Kita ingin adanya perkembangan yang lebih baru lagi, yaitu timbulnya ilmu-ilmu sosial yang mencoba menerjemahkan teks-teks Islam (Alquran, Hadits, tafs, fikih, tasawuf) dalam dunia nyata, dalam hidup sehari-hari, dalam gejala. Jadi, dari teks ke konteks. Untuk mudahnya, kita sebut dengan demistifikasi Islam (mistifikasi artinya membuat serba misterius, jadi 'demistifikasi Islam' ialah membuat Islam tak misterius, Islam menjadi ilmu yang jelas). Demistifikasi Islam sudah mulai menjadi kenyataan. Ilmu Ekonomi Islam, misalnya, sudah jadi ilmu yang mandiri, bahkan sudah menjadi praktik. Bank-bank syariah muncul dari teori dan metode Ilmu Ekonomi Islam. Sudah nampak pula adanya Psikologi Islam. Diharapkan dengan demistifikasi Islam, umat akan kembali jadi pelopor pada Gelombang ke-3 dari perubahan sosial.
Penutup
Dengan menjalankan agenda yang dipilih sendiri, umat tidak usah khawatir kalau dipojokkan, dipinggirkan, atau disingkirkan. Pertama, sudah terbukti dalam sejarah bahwa 'jika engkau menolong (agama) Allah, pasti Dia akan menolongmu' (Muhammad, 47: 7). Tidak pernah ada politik Islam sejak Hindia-Belanda, Jepang, Orla, dan Orba yang berhasil sebagaimana dikehendaki oleh perencananya. Contohnya, Orba yang melakukan marjinalisasi terhadap umat malah menghasilkan kelas menengah profesional, eksekutif, dan akademisi.
Kedua, ada continuum dalam sejarah Islam antara 'yang di bawah permukaan' dengan 'yang di atas permukaan'. Muhammadiyah dan NU adalah melulu gerakan sosial-ibadah, tapi keduanya menjadi persemaian nasionalisme. Jenderal Soedirman lahir dari Muhammadiyah, dan Resolusi Jihad 1945 lahir dari NU. Kerjakan agenda sendiri, 'hitung-hitunglah dirimu, sebelum engkau dihitung'. Menanam padi panen setahun dua kali, tapi gabah cepat rusak, harganya bisa turun-naik, dan habis dikonsumsi. Menanam jati panen rayanya menunggu puluhan tahun, tapi lebih awet, keras, dan kokoh. Tanamlah jati, insya Allah lebih berhasil-guna.
Disadur dari Harian Republika edisi 16 Mei 2000. Kuntowijoyo (1943-2005) adalah guru besar UGM Yogyakarta. Ia salah satu cendekiawan Muslim paling berpengaruh di Indonesia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Agenda Umat Islam (Bagian I)
Kita harus meniru para nabi, dengan kata lain, mempunyai etika profetik.
SELENGKAPNYA